Selasa, 15 Desember 2015

Rintihan Rindu Pohon Kurma



حدثنا عفان، أخبرنا حماد، عن عمار بن أبي عمار، عن ابن عباس: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، كان  يخطب إلى جذع قبل أن يتخذ المنبر، فلما اتخذ المنبر وتحول إليه، حن عليه، فأتاه فاحتضنه فسكن، قال: " لو لم أحتضنه، لحن إلى يوم القيامة

Telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah mengabarkan kepada kami Hammad, dari Ammar bin Abu Ammar, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah dengan bersandar pada batang kurma sebelum beliau membuat mimbar, setelah membuat mimbar beliau berpindah kepadanya, tetapi (batang kurma) itu merintih, maka beliau menghampirinya dan menenangkannya. Beliau pun bersabda: ""Seandainya aku tidak menenangkannya tentulah ia akan terus merintih hingga hari kiamat."

حدثنا عفان، حدثنا حماد، عن ثابت، عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم، مثله

Telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Tsabit, dari Anas, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (dengan redaksi) seperti itu.

(HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya)

Riwayat Hadis semisal yang pertama juga dikeluarkan oleh  ad-Darimi, Ibnu Majah, at-Thobaroni dan al-Baihaqi.
Adapun semisal yang kedua juga dikeluarkan oleh ad-Darimi, Ibnu Majah, dan Abu Ya'la.

Ketika mengomentari ini, Imam Syafii berkata:
عن عمرو بن سواد عن الشافعي ما أعطى الله نبيا ما أعطى محمدا فقلت أعطى عيسى إحياء الموتى قال أعطى محمدا حنين الجذع حتى سمع صوته فهذا أكبر من ذلك

Dari 'Amr bin Sawad dari Imam Syafii:
Allah tidak memberikan (mukjizat) pada seorang Nabi pun mukjizat yang diberikan pada Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wasallam.
Lantas, Aku berkata pada beliau: Allah memberikan Nabi Isa mukjizat menghidupkan orang yang mati.
Beliau pun menjawab: Allah memberikan mukjizat Nabi Muhammad berupa rintihan pohon kurma hingga terdengar suaranya. Tentu mukjizat yang ini lebih besar dari mukjizat yang diberikan pada Nabi Isa.
(Fathul Bari 6/603, perhatikan juga Dalilul Falihin 8/654, al-Bidayah wan Nihayah 6/145, 6/289, 6/308, Dalailun nubuwah 6/68, dsb masih banyaklagi)

Begitu pula Imam al-Hasan al-Bashri ketika menceritakan hadis ini beliau menangis, dan berkata:

يا معشر المسلمين الخشبة تحن إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شوقا إلى لقائه، وأنتم أحق أن تشتاقوا إليه.
Wahai kaum muslimin, pohon kurma saja merintih karena rindu untuk bertemu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam. Tentunya kalian lebih berhak untuk merindukan beliau.

(Mu'jamul ausath 2/108, Dalailun nubuwah 2/559, al-Ahaadits al-Mukhtaroh 5/230, al-Bidayah wan Nihayah 3/266, Fathul Bari 6/602, Dalilul Falihin 8/654)

Wallahu a'lam

Senin, 14 Desember 2015

Apa hukum merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam?

Dewan Fatwa Darul Ifta al-Mishriyyah menjawab:

Kelahiran Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam merupakan rahmat Allah yang terus mengalir bagi seluruh manusia. Alquran menggambarkan keberadaan Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam sebagai "rahmatan lil 'alamîn" (rahmat bagi semesta alam). Beliau merupakan
rahmat tak bertepi yang mencakup semua sisi kehidupan, baik tarbiyah (pendidikan), tazkiyah (penyucian hati), pengajaran dan pemberian hidayah bagi manusia kepada jalan yang lurus. Semua itu mencakup aspek materi dan immateri dalam kehidupan manusia. Rahmat ini juga tidak terbatas pada manusia di zaman beliau saja, akan tetapi juga terus berkelanjutan kepada seluruh manusia sepanjang masa. Allah berfirman:

وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا۟ بِهِمْ ۚ

"Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka." (Al-Jumu'ah: 3).

Merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam –sang penghulu dua alam; alam nyata dan alam ghaib, penutup para nabi dan rasul, nabi pembawa rahmat dan penolong umat— adalah salah satu amalan yang paling baik dan ibadah yang paling agung. Karena, perayaan ini merupakan ungkapan rasa gembira dan cinta kepada beliau, dan kecintaan kepada beliau merupakan salah satu pondasi dari keimanan.

Diriwayatkan dalam hadis shahih bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ﻻَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻛُﻮْﻥَ ﺃَﺣَﺐَّ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻭَﺍﻟِﺪِﻩِ ﻭَﻭَﻟِﺪِﻩِ ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﺟْﻤَﻌِﻴْﻦَ

"Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga menjadikan diriku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia ." (HR. Bukhari).

Ibnu Rajab berkata, "Mencintai Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam adalah salah satu pondasi keimanan. Kecintaan itu berjalan beriringan dengan kecintaan kepada Allah 'azza wa jalla. Allah telah menyebutkan kecintaan kepada Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam berbarengan dengan kecintaan kepada-Nya. Allah pun mengancam orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada segala sesuatu yang dicintainya secara alami — seperti keluarga, harta, tanah air dan lain sebagainya— dari kecintaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ ﴿٢٤﴾

"Katakanlah: "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya ." (At-Taubah: 24).

Ketika Umar berkata kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih saya cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku." Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya,
ﻻَ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﻔْﺴِﻲْ ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻛُﻮْﻥَ ﺃَﺣَﺐَّ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻚَ
"Tidak. Demi Allah, sampai engkau menjadikan diriku lebih kau cintai dari pada dirimu sendiri ."
Maka Umar pun berkata, "Demi Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih saya cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi saw. pun bersabda kepadanya, "Sekarang engkau telah mengetahuinya wahai Umar ." (HR. Bukhari).

Memperingati maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam merupakan bentuk penghormatan kepada beliau. Dan menghormati Nabi shollallahu 'alaihi wasallam merupakan amalan yang mutlak dianjurkan, karena ia merupakan pondasi dan asas utama dalam akidah Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui derajat kemuliaan Nabi-Nya, sehingga Dia memberitahukan kepada seluruh alam mengenai namanya, pengutusannya serta derajat dan martabatnya. Seluruh
semesta pun senantiasa bergembira dan berbahagia dengan keberadaan beliau sebagai cahaya, kelapangan, hujjah serta nikmat bagi seluruh makhluk Allah.

Para salaf saleh kita, sejak abad keempat dan kelima hijriyah, telah memberi contoh untuk merayakan peringatan maulid Nabi saw.. Mereka menghidupkan malam maulidnya dengan berbagai macam bentuk ibadah, seperti memberi jamuan makan, melantunkan ayat-ayat Alquran, membaca zikir serta mendendangkan syair-syair dan bait-bait pujian untuk beliau. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh banyak ahli sejarah, seperti al-Hafiz Ibnu Jauzi, al-Hafiz Ibnu Katsir, al-Hafiz
Ibnu Dihyah al-Andalusi, al-Hafiz Ibnu Hajar dan penutup para huffâzh , al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuti rahimahumullah .
Bahkan, beberapa orang ulama dan ahli fikih telah menyusun kitab-kitab mengenai anjuran memperingati maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dengan menyebutkan dalil-dalilnya yang shahih. Sehingga dalam diri orang yang mempunyai akal, pemahaman dan pikiran yang jernih, tidak akan ada sikap pengingkaran terhadap perayaan maulid yang telah dilakukan oleh para salaf saleh kita itu.

Ibnu al-Hajj, dalam kitabnya al-Madkhal , secara panjang lebar menyebutkan keutamaan perayaan maulid Nabi ini. Dia memberikan penjelasan yang membuat lega hati kaum muslimin. Padahal, bukunya itu dia tulis dengan tujuan
menyebutkan perbuatan-perbuatan bid'ah tercela yang tidak masuk dalam kerangka umum dalil-dalil syariat. Imam Suyuthi juga menulis sebuah risalah dalam masalah ini dengan judul Husnul Maqshid fî 'Amalil Maulid.

Kata ihtifâl (merayakan), dalam bahasa Arab, berasal dari kata hafala, yahfilu haflan, wa hufulan yang artinya berkumpul. Seperti dalam kalimat hafala al-labanu fi adh-dhar' (air susu terkumpul di ambing susu binatang). Sedangkan kata kerja tahaffala dan i htafala berarti ijtama'a (berkumpul). Kata kerja hafala masuk dalam bab kata kerja dharaba. Ihtafalû berarti ijtama'û wa ihtasyadû (mereka berkumpul). Kalimat: "Wa'indahu hafl min an-nâs ", maksudnya terdapat
sekelompok orang di tempatnya. Asal kata ihtifâl ini adalah berbentuk nomina (mashdar ). Mahfil al-qaum berarti tempat perayaan dan berkumpulnya suatu kaum.

Kalimat hafalahu, berarti mengajaknya sehingga dia ikut berpesta dan merayakan. Kalimat hafala al-amra , berarti memperhatikan suatu perkara. Disebutkan juga:
laa tahfil bihi, "jangan mempedulikannya".
Sedangkan maksud ihtifâl (perayaan) dalam konteks ini tidak jauh berbeda dengan makna bahasanya. Karena maksud dari perayaan maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam adalah berkumpulnya orang-orang untuk berzikir, mendendangkan nasyid pujian untuknya, membuat jamuan makan sebagai sedekah karena Allah, mengungkapkan rasa kecintaan kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam serta menyatakan rasa bahagia dan gembira kita dengan hari kelahirannya.

Masuk juga dalam hal ini kebiasaan masyarakat yang membeli makanan ringan dan menghadiahkannya kepada orang-orang ketika Maulid Nabi. Saling memberi hadiah sendiri merupakan perbuatan yang dibolehkan, tidak ada dalil yang melarang untuk melakukannya dalam waktu-waktu tertentu. Maka jika ia dibarengi dengan maksud mulia, seperti membuat gembira keluarga dan menyambung tali silatruahmi dengan kerabat, maka perbuatan tersebut menjadi dianjurkan dan disunahkan. Lalu jika hal itu merupakan ungkapan rasa bahagia karena kelahiran Nabi saw., maka hal itu lebih dimasyru'kan dan dianjurkan, karena (wasilah ) sarana mempunyai hukum tujuan. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya merupakan bentuk sikap keras kepala yang tercela.

Ada suatu hal yang membuat sebagian orang menjadi ragu-ragu untuk merayakan peringatan maulid ini, yaitu ketiadaan perayaan semacam ini pada masa-masa awal Islam yang istimewa (al-qurûn al-ûlâ al-mufadhdhalah ). Argumen ini, demi Allah, bukanlah alasan yang tepat untuk melarang perayaan itu. Karena, tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaan mereka radhiyallahu 'anhum terhadap Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Namun, kecintaan ini mempunyai cara dan bentuk pengungkapan yang bermacam-macam. Dan cara-cara yang berbeda-beda itu sama sekali tidak dilarang untuk dilakukan. Karena, cara-cara tersebut bukanlah suatu bentuk ibadah jika dilihat dari inti pelaksanaannya. Berbahagia dan bergembira dengan adanya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam merupakan ibadah, tapi cara pengungkapan kebahagiaan itu hanya merupakan wasilah (sarana) yang diperbolehkan untuk digunakan. Setiap orang dapat memilih cara yang paling sesuai dengan dirinya untuk mengungkapkan hal itu.

Dalam Sunnah Nabi juga terdapat riwayat yang menunjukkan perayaan para sahabat terhadap Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dengan adanya iqrâr (persetujuan) dan izin dari beliau langsung. Diriwayatkan dari Buraidah Radhiyallahu 'anh, dia berkata, "Pada suatu ketika Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam pergi berperang. Lalu ketika pulang, seorang budak wanita hitam mendatangi beliau lalu berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah bernazar jika Allah membawamu pulang ke Madinah dalam keadaan selamat maka saya akan memainkan rebana dan bernyanyi di hadapanmu. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Jika engkau memang telah bernazar untuk memainkan rebana, maka lakukanlah. Namun jika engkau tidak bernazar untuk melakukannya, maka engkau tidak perlu melakukannya". Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, dan dia berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih gharib". Jika memainkan rebana sebagai ungkapan rasa bahagia karena kedatangan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dari peperangan merupakan hal yang dimasyru'kan yang diakui oleh Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan beliau mengizinkan orang yang bernazar dengannya untuk melakukannya, maka mengungkapkan rasa bahagia karena kedatangan beliau ke dunia –dengan rebana atau hal lain yang dibolehkan— tentu lebih dimasyru'kan dan lebih dianjurkan.

Jika Allah saja meringankan azab Abu Lahab di neraka dengan memberinya minuman dari lubang kecil di telapak tangannya setiap hari Senin karena kegembiraannya atas kelahiran manusia terbaik –yaitu dengan memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah karena telah menyampaikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, padahal Abu Lahab adalah orang yang paling kafir, sering menentang dan memerangi Allah dan Rasul-Nya—, maka sudah barang tentu kaum mukminin lebih berhak mendapatkan pahala karena kegembiraan mereka atas kelahiran beliau sebagai cahaya yang menyinari semesta. Rasulullah saw. sendiri telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara bersyukur kepada Allah atas kelahirannya itu. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallamberpuasa pada hari Senin dan bersabda,
ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﻮْﻡٌ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻓِﻴْﻪِ
"Itu adalah hari dimana aku dilahirkan."
(HR. Muslim, dari hadis Abu Qatadah).

Ini merupakan bentuk rasa syukur beliau atas karunia Allah kepadanya dan kepada umatnya. Sehingga, sudah sepatutnya umat ini juga mengikuti beliau untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas karunia dan nikmat diutusnya beliau dengan segala bentuk cara bersyukur. Bentuk bersyukur itu dapat diungkapkan dengan memberikan jamuan makan, mendendangkan pujian-pujian, berkumpul untuk berzikir, berpuasa, melakukan salat dan lain sebagainya.

Ash-Shalihi, dalam kitab sejarahnya, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd fî Hadyi Khair al-'Ibâd , menukil dari seorang saleh pada zamannya, bahwa dia bermimpi bertemu dengan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Orang itu mengadu kepada beliau bahwa ada sebagian orang yang mengaku berilmu mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam adalah bid'ah. Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Barang siapa yang bergembira karena kami, maka kami akan bergembira karenanya."

Demikian juga hukum merayakan kelahiran para Ahlul Bait dan para wali Allah, serta menghidupkan perayaan mengenang mereka dengan melakukan berbagai ketaatan. Sesunggunya semua itu adalah hal yang dianjurkan secara syarak, karena acara-acara tersebut mengandung upaya untuk meniru dan menauladani mereka. Terdapat perintah syarak untuk senantiasa mengingat dan mengenang para nabi dan para orang saleh. Allah berfirman,
وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِبْرَٰهِيمَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا ﴿٤١﴾

"Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Alquran) ini ." (Maryam: 41).

Dan firman Allah,

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ مُوسَىٰٓ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا ﴿٥١﴾

"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Alquran) ini ." (Maryam: 51).

Perintah ini tidak terdatas untuk mengenang para nabi, namun masuk di dalamnya juga orang-orang saleh. Hal ini karena Allah berfirman,
وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ مَرْيَمَ إِذِ ٱنتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا ﴿١٦﴾
"Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran ." (Maryam: 16).

Karena merupakan kesepakatan muhaqqiqin, Maryam As. bukanlah seorang nabi melainkan seorang shiddiqah. Demikian pula terdapat perintah untuk mengingatkan hari-hari Allah, yaitu dalam firman-Nya,
 وَذَكِّرْهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِ
"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah ". (Ibrahim: 5).

Termasuk hari-hari Allah adalah hari kelahiran dan termasuk hari-hari Allah adalah hari-hari kelahiran dan hari-hari kemenangan. Oleh karena itu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari Senin setiap minggunya sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmat penciptaan juga sebagai perayaan bagi hari kelahiran beliau, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Qatadah al-Anshari dalam shahih Muslim. Sebagaimana Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam juga berpuasa pada hari Asyura (tanggal 10 Muharram) dan memerintahkan umat beliau untuk berpuasa sebagai rasa syukur, bahagia dan perayaan terhadap keselamatan Nabi Musa 'Alaihis Salam. Dan Allah telah memuliakan hari kelahiran di dalam Kitab-Nya dan melalui ucapan para nabi-Nya. Allah berfirman,
وَسَلَٰمٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ
"Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan." (Maryam: 15).

Dan Allah berfirman melalui ucapan Isa al-Masih alaihis salam,
وَٱلسَّلَٰمُ عَلَىَّ يَوْمَ وُلِدتُّ
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan ." (Maryam: 33).

Hal ini karena dalam hari kelahiran terwujud kenikmatan penciptaan yang merupakan sebab dari diperolehnya semua nikmat yang diperoleh manusia setelahnya.

Oleh karena itu, mengenang hari kelahiran dan mengingatkan orang lain tentang hari kelahiran merupakan pintu bagi orang-orang untuk bersyukur kepada nikmat Allah. Maka tidak apa-apa menentukan hari tertentu guna mengadakan mengingat para wali Allah.

Kemasyru'iatan acara semacam ini tidak rusak karena terjadinya hal-hal yang diharamkan. Akan tetapi acara-acara seperti ini tetap dilaksanakan dengan menolak terjadinya kemungkaran-kemungkaran. Orang-orang yang merayakannya juga perlu diingatkan bahwa kemungkaran-kemungkaran tersebut bertentangan dengan tujuan utama acara-acara mulia tersebut.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Senin, 09 November 2015

Perbedaan al-massu (memegang) dan al-lamsu (menyentuh)

Perbedaan al-massu (memegang) dan al-lamsu (menyentuh)

1. Al-Massu: orang yang memegang, batal wudhunya, sedangkan orang yang dipegang tidak batal wudhunya.

Al-Lamsu: Baik orang yang menyentuh maupun orang yang disentuh batal wudhunya

2. Al-Massu: Redaksi ini khusus digunakan untuk memegang dengan batin (bagian dalam) telapak tangan, dan batin jari-jemari.

Al-Lamsu: Membatalkan dengan persentuhan seluruh kulit

3. Al-Massu: Tidak disyaratkan adanya perbedaan jenis kelamin.

Al-Lamsu: Disyaratkan adanya perbedaan jenis kelamin.

4. Al-Massu: Tidak disyaratkan sampainya batas usia yang dapat menimbulkan syahwat.

Al-Lamsu: Disyaratkan sampainya batas usia yang dapat menimbulkan syahwat.

5. Al-Massu: Tidak disyaratkan adanya hubungan non-mahram

Al-Lamsu: Disyaratkan adanya hubungan non-mahram

6. Al-Massu: Anggota (kelamin) yang terpisah dapat membatalkan wudhu, jika masih tetap sebutannya.

Al-Lamsu: Tidak disyaratkan tetapnya nama menurut Ibnu Hajar, namun disyaratkan menurut Imam Romli.

7. Al-Massu: Dapat terjadi meski dilakukan oleh seorang diri.

Al-Lamsu: Dapat terjadi hanya jika dilakukan oleh minimal dua orang.

8. Al-Massu: Khusus berkaitan dengan farji (Qubul dan dubur)

Al-Lamsu: Tidak khusus berkaitan dengan farji.

Demikian dari kitab at-Taqriirootus Sadiidah.

Sabtu, 07 November 2015

Keshahihan Atsar Imam Thawus dan Fatwa Ulama

Riwayat Pertama
فَائِدَة رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ صَحِيْح وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ (الديباج على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
“Ahmad meriwayatkan dalam kitab Zuhud dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa ‘sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut’. Sanad riwayat ini sahih dan berstatus hadis marfu’.” (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)
Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa atsar tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama Ahli Hadis:
(المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم الاصبهاني ج 4 / 11  وصفة الصفوة لأبي الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20 والبداية والنهاية لابن كثير 9 / 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني 12 / 277)

 (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya’ IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu Katsir (murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah IX/270, Ibnu Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)

Sejauh yang saya ketahui belum ditemukan penilaian dlaif dari para ulama tersebut, kecuali dari segelintir orang belakangan ini.

Riwayat Kedua
 وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْح أَيْضًا (الديباج على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
“Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab al-Mushannaf dari Ubaid bin Amir bahwa ‘orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari, dan orang munafik selama 40 hari’. Sanadnya juga sahih.” (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)

Siapakah Ubaid diatas? Al-Hafidz as-Suyuthi menjelaskan:
قَالَ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ صَاحِبُ الصَّحِيْحِ إِنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غَيْرُهُ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَى هَذَا يَكُوْنُ صَحَابِيًّا (الحاوي للفتاوي للسيوطي – ج 3 / ص 267)
“Muslim bin Hajjaj pengarang kitab Sahih berkata bahwa Ubaid bin Umair dilahirkan di masa Nabi Saw. Yang lain berkata bahwa Ubaid melihat Rasulullah Saw. Dengan demikian Ubaid adalah seorang sahabat” (al-Hawi li al-Fatawi 3/267)

Riwayat Ketiga
وَقَدْ رُوِىَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ الْمَوْتَى كَانُوْا يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامَ (أهوال القبور – ج 1 / ص 19)
“Sungguh telah diriwayatkan dari Mujahid bahwa sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut” (al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali, Ahwal al-Qubur 1/19)

Riwayat Atsar diatas telah dikaji oleh ulama Madzhab Syafii yang bernama Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, beliau menilai sahih dan menfatwakannya. Berikut fatwa beliau:

( وَسُئِلَ ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ أَيْ يُسْأَلُونَ كَمَا أَطْبَقَ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هَلْ لَهُ أَصْلٌ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ أَصِيلٌ فَقَدْ أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عَنْ طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْ طَاوُسِ فِي التَّابِعِينَ بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ وَمُجَاهِدٍ وَحُكْمُ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ مَا لَا يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا جَاءَ عَنْ تَابِعِيٍّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ وَكَذَا عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ وَقَدْ اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ بِالْمُرْسَلَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ كَانَ مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِقَوْلِهِ الْآتِي عَنْ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إلَخْ لِمَا يَأْتِي أَنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ وَفِي بَعْضِ تِلْكَ الرِّوَايَاتِ زِيَادَةُ إنَّ الْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ عَنْ طَاوُسِ أَيْضًا أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ وَهَذَا مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِيِّ كَانُوا يَفْعَلُونَ وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِ : أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَيْضًا مِنْ بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ بَابِ الْعَزْوِ إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى هَذَا قِيلَ إنَّهُ إخْبَارٌ عَنْ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ فَيَكُونُ نَقْلًا لِلْإِجْمَاعِ وَقِيلَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَقَالَ الرَّافِعِيُّ مِثْلُ هَذَا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ كَانَ مَشْهُورًا فِي ذَلِكَ الْعَهْدِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ ثُمَّ مَا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ عَنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْفِتْنَةِ سُؤَالُ الْمَلَكَيْنِ صَحِيحٌ .
 فَإِنْ قُلْت لِمَ كَرَّرَ الْإِطْعَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ دُونَ التَّلْقِينِ قُلْت لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْإِطْعَامِ مُتَعَدِّيَةٌ وَفَائِدَتُهُ لِلْمَيِّتِ أَعْلَى إذْ الْإِطْعَامُ عَنْ الْمَيِّتِ صَدَقَةٌ وَهِيَ تُسَنُّ عَنْهُ إجْمَاعًا وَالتَّلْقِينُ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ عِنْدَنَا خِلَافَهُ لِمَجِيءِ الْحَدِيثِ بِهِ وَالضَّعِيفُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ . (الفتاوى الفقهية الكبرى  – ج 3 / ص 193)

“Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami ditanya, semoga Allah melapangkannya semasa hidupnya, dengan sebuah pertanyaan bahwa: Orang-orang yang mati mendapat ujian di alam kuburnya, yaitu mereka ditanya sebagaimana dikatakan oleh para ulama, selama 7 hari. Apakah hal tersebut memiliki dasar?
Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami menjawab: “Ya, hal itu memiliki dasar yang kuat. Sebab segolongan ulama telah meriwayatkan dari Thawus dengan sanad yang sahih dan Ubaid bin Umair dengan sanda yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Abdil Barr, Ubaid lebih senior daripada Thawus dalam Tabiin, bahkan dikatakan bahwa Ubaid adalah sahabat, karena Ubaid dilahirkan di masa Nabi Saw dan di sebagian masa Umar di Makkah, dan riwayat dari Mujahid. Hukum ketiga riwayat (Thawus, Ubaid bin Umair dan Mujahid) tersebut adalah Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Sebab jika ada sesuatu yang bukan berdasarkan pendapat jika disampaikan oleh seorang Tabiin maka berstatus hukum Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw, seperti yang disampaikan oleh para imam di bidang hadis. Sedangkan riwayat Mursal adalah hujjah menurut 3 imam (Hanafi, Maliki dan Hanbali), juga menurut kita (Syafiiyah) jika dikuatkan riwayat lain. Dan sungguh riwayat Thawus ini dikuatkan oleh 2 riwayat mursal lainnya (Ubaid bin Umair dan Mujahid). Bahkan jika kita berpendapat dengan keabsahan status sahabat Ubaid bin Umair maka riwayat tersebut bersambung kepada Rasulullah Saw, dan dengan perkataannya berikut dari sahabat: “Mereka senang….” Disebabkan bahwa hukum riwayat tersebut adalah Marfu’, dengan terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam sebagian riwayat ada tambahan “Orang munafiq diuji selama 40 pagi hari”. Oleh karena itu telah sah dari Thawus pula bahwa mereka menganjurkan memberi sedekah makanan dari mayit selama 7 hari tersebut. Ini adalah ucapan seorang Tabiin “Mereka melakukan”, di dalamnya ada 2 pendapat menurut ahli hadis dan Ushul Fikh: Pertama sebagai riwayat Marfu’ yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Maksudnya para sahabat melakukan hal itu di masa Rasulullah Saw, Nabi mengetahuinya dan menyetujuinya. Kedua, dinisbatkan pada sahabat, tidak sampai hingga Rasulullah Saw. Menurut pendapat kedua ini maka yang disampaikan Thawus adalah informasi dari semua sahabat. Maka Thawus mengutip Ijma’ para sahabat. Ada yang mengatakan dari sebagian sahabat, seperti dikuatkan oleh an-Nawawi dalam Syarah Muslim. Ar-Rafii berkata: Riwayat seperti ini sudah popular di masa itu tanpa pengingkaran. Kemudian apa yang disebut dalam ujian dari para ulama, yang dimaksud dengan soal adalah pertanyaan malaikat, adalah sahih…. Jika ada yang mengatakan mengapa yang diulang-ulang adalah sedekah makanan 7 hari bukan Talqin? Saya menjawab: Sebab kemaslahatan memberi sedekah makanan berdampak lebih luas, dan manfaatnya bagi mayit lebih tinggi. Sebab memberi makan untuk mayit adalah sedekah, dan sedekah atas nama mayit adalah sunah, sesuai ijma’ ulama. Sedangkan Talqin menurut kebanyakan ulama adalah bid’ah, meski pendapat yang lebih kuat menurut kita (Syafiiyah) bukan bid’ah, karena berdasarkan hadis, dan hadis dlaif boleh diamalkan dalam keutamaan amal” (Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 3/193)

Fatwa Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki


Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, pengarang kitab Inarat al-Duja, memberi jawaban atas pertanyaan tentang kebiasaan di Jawa saat takziyah dan tahlil pada hari-hari tertentu, bahwa tradisi semacam itu bisa menjadi bid’ah yang diharamkan jika bertujuan untuk meratapi mayit, dan jika tidak bertujuan seperti itu dan tidak mengandung unsur haram lainnya, maka masuk kategori bid’ah yang diperbolehkan. Di akhir fatwa beliau berkata:

اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ لاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ “اصْنَعُوْا لاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا” وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ (بلوغ الامنية بفتاوى النوازل العصرية مع انارة الدجى شرح نظم تنوير الحجا 215-219)

“Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far’ dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk  orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman” (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)

Wallahu a'lam

Waktu-waktu yang dilarang untuk sholat dan Pengecualiannya

Haram atau makruh tahrim mengerjakan shalat -kecuali sholat yang mempunyai sebab dan shalat di tanah suci Mekah - pada lima waktu.
Hadits yang menjelaskan bolehnya shalat di tanah suci tanpa dibatasi waktu yaitu
"Wahai Bani Abdu Manaf, janganlah melarang orang yang hendak thawaf di Baitullah ini, atau sholat kapan saja, malam atau siang hari."
(HR. Imam Tirmidzi dan periwayat lainnya. Menurutnya, hadits ini Hasan Shahih).

Shalat yang mempunyai sebab itu seperti mengqadha shalat yang tertinggal, baik fardhu maupun sunnah, meskipun mengqadha shalat sunnah menjadi rutinitas (wirid) mengingat sebabnya telah lebih dulu. Hal ini diperkuat oleh Sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam:
"Kafaratnya orang yang meninggalkan shalat ialah menunaikannya ketika dia ingat."
(HR. Bukhari-Muslim dan lainnya dari Anas bin Malik).
Dan hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam pernah shalat setelah 'Asar dua rokaat, lalu beliau bersabda, " Dua rokaat tersebut adalah dua rokaat sholat sunnah setelah Dhuhur." Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam selalu mengerjakannya (dua rokaat setelah Dhuhur) sampai wafat.

Contoh shalat yang mempunyai sebab lebih dulu yaitu shalat Kusuf (Gerhana), Istisqa'(Memohon Hujan), Tahiyatul Masjid, Sunah Wudhu, Sujud Syukur, dan Sujud Tilawah. Sedangkan sholat sunnah yang mempunyai sebab yang bersamaan yaitu dua rokaat thawaf, shalat jenazah, dan shalat istisqa'. Dalam ash-Shahihain disebutkan tentang taubatnya Ka'ab bin Malik, bahwa dia (Ka'ab) bersujud syukur setelah sholat subuh sebelum matahari terbit.

Diceritakan pula dalam Hadis Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Bilal Radhiyallahu 'anhu, "Wahai Bilal, ceritakan padaku, perbuatan apa yang telah engkau kerjakan dalam Islam hingga aku mendengar langkah sandalmu di surga?
Bilal Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Saya tidak melakukan perbuatan yang lebih saya harapkan selain jika saya selesai wudhu, baik pada malam atau siang hari, maka saya shalat sebagaimana ditetapkan kepada saya."

Adapun shalat yang mempunyai sebab terakhir yaitu seperti dua rokaat istikharah dan shalat sunnah ihram. Shalat seperti ini jika dilakukan pada waktu makruh, hukumnya tidak sah, seperti halnya shalat yang tidak mempunyai sebab.

Kelima waktu yang diharamkan atau makruh tahrim menunaikan shalat adalah
sebagai berikut:
1. Waktu matahari terbit sampai naik setinggi tombak.
2. Waktu Istiwa' atau zawal (matahari tergelincir sebelum masuk waktu Dhuhur) kecuali pada hari Jum'at sampai waktu ini berlalu.
3. Waktu matahari berwarna kekuning-kuningan sampai matahari terbenam, baik sudah melaksanakan Shalat 'Asar maupun belum.
4. Waktu setelah shalat subuh sampai matahari naik setinggi tombak dalam pandangan mata. Karena ada larangan shalat sunnah setelah dua rokaat shalat subuh dan setelah ishfirar (sinar matahari kekuning-kuningan menjelang terbenam) yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
5. Setelah shalat Asar sampai matahari terbenam.

Dalil pengharaman shalat sunnah ketika matahari terbit, terbenam, dan waktu istiwa' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari 'Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'Anhu,"Ada tiga waktu dimana kami dilarang shalat oleh Rasulullah pada waktu tersebut atau dilarang mengubur jenazah pada waktu itu, yaitu; saat matahari terbit hingga meninggi, ketika unta yang sedang menderum bangkit dari tempatnya karena terik matahari (waktu istiwa') hingga matahari tergelincir, dan ketika matahari menjelang terbenam."
Adapun pengecualian shalat jumat mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan periwayat lainnya.
Dalil pengharaman shalat setelah shalat 'Asar sampai matahari terbenam, dan setelah sinar matahari kekuning-kuningan yaitu seperti hadits tentang pelarangan shalat dua rakaat setelah shalat subuh yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Rodhiyallahu 'anhu.

Demikian dari kitab al-Fiqh asy-Syafi'i al-Muyassar.

Tradisi hujan-hujanan

Hujan-hujanan adalah membiarkan tubuh terkena air hujan. Di Madiun, disebut Oca-Oce, sedangkan di tanah Pasundan disebut Huhujanan.

Tradisi ini entah siapa yang memulai pada kali pertama, entah karena keriangan ketika turunnya hujan, atau entah karena motif yang lain.

Namun, sebagai sandaran bagi kita bahwa dalam kitab Hadis ada sebuah riwayat dengan isnad shahih begini:

وحدثنا يحيى بن يحيى، أخبرنا جعفر بن سليمان، عن ثابت البناني، عن أنس، قال: قال أنس: أصابنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم مطر، قال: فحسر رسول الله صلى الله عليه وسلم ثوبه، حتى أصابه من المطر، فقلنا: يا رسول الله لم صنعت هذا؟ قال: «لأنه حديث عهد بربه تعالى

"Dan Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Ja'far bin Sulaiman, dari Tsabit Al Bunani, dari Anas, ia berkata; Kami diguyur hujan ketika bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau membuka pakaiannya sehingga terkena hujan, lalu kami pun bertanya, ""Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan hal itu?"" beliau menjawab: ""Karena hujan ini merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah ta'ala."

(HR. MUSLIM)

Begitu pula dalam kitab-kitab hadis lain, misalnya:
Musnad Ahmad no. 12365 dan no. 13820;
Sunan Abu Dawud no. 5100;
Sunan al-Kubro lin Nasa-i no. 1850;
Shahih Ibnu Hibban no. 6135;
Al-Mustadrok 'alash shohihain no. 7768;
Hilyatul Auliya juz. 6, hal. 291 - 292;
Ma'rifatus sunan wal Atsar no. 7231

Berdasar hadis ini, Ulama pakar fiqh dan pensyarah hadis, yakni Imam Nawawi menjelaskan bahwa:

هذا الحديث دليل لقول أصحابنا أنه يستحب عند أول المطر أن يكشف غير عورته ليناله المطر

Hadis ini merupakan dalil bagi qoul (pendapat) Ashab kami (para ulama madzhab Syafii) bahwa disunnahkan ketika turun hujan pada kali pertama untuk membuka selain auratnya agar terkena air hujan.
(Syarah Muslim lin Nawawi juz 6, hal. 196)

السنة أن يكشف بعض بدنه ليصيبه أول المطر للحديث السابق والمراد أول مطر يقع في السنة كذا نص عليه الشافعي وقاله الأصحاب
Yang disunnahkan adalah membuka sebagian badan agar hujan pertama mengenainya berdasar hadis yang lalu. Maksud hujan pertama adalah hujan yang turun pertama dalam tahun itu. Demikian ini,  terdapat nash dari Imam Syafii dan Ashab berpendapat dengannya.

 قال سليم الرازي والشيخ نصر المقدسي وصاحب العدة يستحب إذا جاء المطر في أول السنة أن يخرج الإنسان إليه ويكشف ما عدا عورته ليصيبه منه ولفظ الشافعي في اول مطرة وكذا لفظ المحاملي وصاحب الشامل والباقين وذكر الشافعي في الأم عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال لغلامه وقد مطرت السماء " أخرج فراشي ورحلي يصيبه المطر فقيل له لم تفعل هذا فقال أما تقرأ كتاب الله ونزلنا من السماء ماء مباركا فأحب أن تصيب البركة فراشي ورحلي.

Sulaim ar-Rozy, Syekh Nashr al-Maqdisi, dan pengarang kitab 'Uddah berpendapat bahwa disunnahkan ketika hujan turun di permulaan tahun agar orang-orang keluar dan menyingkap selain auratnya agar terbasahi dari air hujan.

Redaksi Imam Syafii, Imam al-Mahamily, pengarang kitab Asy-Syamil, dan selainnya adalah di awal curah hujan.

Imam Syafii menuturkan dalam kitab al-Umm sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhumaa bahwa beliau berkata pada pelayannnya ketika langit telah menurunkan hujan,"Keluarkan tempat tidurku dan pelanaku agar terkena hujan".
Maka, pelayan itu bertanya pada beliau,"Kenapa Anda melakukan ini?"
Beliau menjawab,"Apakah kau tidak membaca al-Quran (sebuah ayat yang artinya),"Dan kami turunkan dari langit air yang barokah"? (QS. al-Qaf: 9). Karena itulah, Aku senang jika mengalirkan keberkahan pada tempat tidur dan pelanaku.

(al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab Juz 5, hal. 93)

Dengan demikian, tradisi ini memiliki dasar hukum baik dari fiqh, atsar, maupun hadis.

Wallahu a'lam

Kamis, 29 Oktober 2015

Pasca Kekhalifahan Turki Utsmani

Setelah keruntuhan Khilafah Utsmaniyyah, apakah ada negara yang terhitung sebagai negara Islam?

Dan apa hukum patuh kepada para penguasa dalam kondisi
ini?

Jawaban Dewan Fatwa:

Menjadi khalifah adalah menempati posisi pemilik syariat untuk merealisasikan maslahat agama dan duniawi. Ibnu Khaldun dalam mukadimah kitab Târîkh berkata,

“Khilafah adalah memimpin umat berdasarkan syariat demi kemaslahatan akhirat dan dunia mereka, karena seluruh urusan duniawi menurut syariat harus ditimbang sesuai maslahat akhirat. Maka sejatinya, ia adalah menggantikan posisi pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia.” (Târîkh Ibni Khaldun, Vol. I, hlm. 239, Cet. Dar al-Fikr, Beirut).

Para ulama menyatakan bahwa menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah bagi umat ini, karena harus ada yang menegakkan ajaran agama dan mengurus maslahat dunia mereka. Dengan khilafah, Allah menghindarkan terjadinya kezaliman, merealisasikan berbagai maslahat dan menjauhkan rakyat dari keburukan.

Sa’d al-Taftazani berkata, “Berdasarkan ijmak ulama, mengangkat seorang imam (pemimpin) adalah wajib.” (Syarh al-Aqâ’id an-Nasafiyyah, hlm. 96, Cet. Maktabah al-Kulliyât al-Azhariyyah).

Ibnu Abidin berkata, “Mengangkat imam adalah salah satu kewajiban yang terpenting, karena banyak kewajiban di dalam syariat Islam yang pelaksanaannya tergantung pada keberadaannya.” (Hâsyiyah Ibni `Âbidîn, Vol. I, hlm. 548, Cet. Dar al-Fikr).

Syaikh Islam Zakariya al-Anshari di dalam kitab Asnâ al-Mathâlib memaparkan,

“Bab al-Imâmah al-Uzhmâ (kepemimpinan tertinggi). Ini adalah fardhu kifayah, seperti pengadilan (qadhâ’). Karena umat ini harus memiliki imam (pemimpin tertinggi) yang menegakkan agama, menjaga sunah, membela orang-orang yang terzalimi, memenuhi hak umat dan menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya. Jika hanya ada satu orang yang layak memegang posisi ini, namun orang-orang tidak memintanya untuk memegang posisi tersebut, maka dia harus memintanya, karena tidak ada pilihan lain selain dia. Jika menolaknya, maka dia boleh dipaksa.” (Vol. IV, hlm. 108, Cet. Al-Kitab al-Islami).

Al-Ramli al-Kabîr di dalam Hasyiyah-nya terhadap kitab Asnâ al-Mathâlib, berkata, “Sejumlah orang berkata, ‘Posisi imam (pemimpin tertinggi) adalah pimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yang dipegang oleh seseorang. Sebutan yang lebih tepat untuk posisi ini adalah khalifah (pengganti) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam dalam menegakkan agama dan menjaga ajaran-ajaran Islam, sehingga wajib diikuti oleh umat ini secara keseluruhan. Dan memegang posisi sebagai khalifah ini adalah fardhu kifayah berdasarkan ijmak para ulama. Ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam meninggal dunia, para sahabat segera melakukan pengangkatan khalifah dan tidak menyibukkan diri dengan pengurusan jenazah beliau, karena mereka khawatir akan terjadi suatu perkara besar yang menyergap mereka. Di samping itu, jika orang-orang dibiarkan tanpa ada yang menyatukan mereka di atas kebenaran dan tidak ada yang menghalangi mereka dari kebatilan, pasti mereka semua akan hancur. Dan akhirnya, para penyeru kerusakan dapat mengalahkan mereka’. Allah Ta’ala berfirman, “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain -pasti rusaklah bumi ini-” (Al-Baqarah: 251).” (Hâsyiyah al-Ramli `alâ Asnâ al-Mathâlib, Vol. IV, hlm. 108).

Saat Islam datang, ia mengubah status bangsa Arab dari para penggembala domba menjadi pemimpin bangsa-bangsa. Islam menghantarkan mereka kepada peradaban yang maju dalam berbagai sendi kehidupan. Di antara bentuk peradaban yang dikenalkan Islam kepada mereka adalah sistem satu negara yang terwujud dalam sistem khilafah, menggantikan kehidupan yang bersuku-suku tanpa ada satu wadah yang menyatukan mereka. Kaum Muslimin terus menjaga sistem ini dan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keutuhannya.

Ketika otoritas khilafah pusat melemah, muncullah negara-negara dan kesultanan-kesultanan kecil, yang mayoritasnya tetap menunjukkan kepatuhan kepada khalifah, walaupun dengan sekedar mendoakannya saat berpidato di atas mimbar.

Beberapa tahun kemudian, terjadi bencana besar menimpa kaum muslimin, yaitu runtuhnya khilafah pada tahun 1342 H./1925 M.. Negara-negara Islam kemudian terpecah menjadi negara-negara kecil, yang batasan-batasannya ditetapkan dalam perjanjian Sykes-Picot.

Setiap negara pecahan ini memiliki konstitusi, pemimpin dan undang-undang tersendiri. Masing-masing juga memiliki kedaulatan atas wilayahnya. Berdasarkan hal ini, maka kita dapat mengategorikan negara-negara ini seperti negara-negara kecil yang muncul di era kelemahan khilafah. Saat itu, walaupun secara umum masih menginduk kepada khilafah pusat (secara formalitas), akan tetapi sebagiannya benar-benar telah terpisah dari khilafah pusat, sehingga terdapat lebih dari satu khilafah.

Ini sebagaimana terjadi pada negara Andalusia, yang awalnya berada di bawah Khilafah Abbasiyah di Irak. Setelah dipimpin oleh Abdurrahman al-Dakhil, ia tidak ada lagi berada di bawah kekuasaan Khilafah Abbasiyah, melainkan sekedar mendoakan saja dalam acara-acara formal. Pada tahap selanjutnya, al-Dakhil mengeluarkan larangan untuk mendoakan khalifah. Kepemimpinan negara baru ini disebut “Imarah/Emirat”, yang selanjutnya mendeklarasikan kekhilafahan.

Khilafah yang dipimpin al-Dakhil ini juga menunaikan semua fungsi khilafah, baik dalam perekonomian, militer, peradilan dan sebagainya. Para tentaranya juga tidak menolak untuk menunaikan tugas jihad membela negara. Para imam masjid, para qadhi dan para ulama juga menunaikan tugas mereka di pengadilan, fatwa, pengajaran dan penulisan buku.

Ibnu Khaldun di dalam mukadimah kitab Târîkh-nya menuturkan, “Kemudian negara Islam berubah menjadi kerajaan, namun spirit khilafah tetap terjaga, seperti semangat menegakkan ajaran agama dan mengikuti ajaran yang benar. Tidak ada perubahan sama sekali, kecuali dalam aura pemerintahan, yang awalnya bersifat agama, berubah menjadi fanatisme dan kekerasan.

Inilah yang terjadi pada masa Muawiyah, Marwan dan anaknya, Abdul Malik. Juga di awal kepemimpinan para khalifah Abbasiyah, hingga Harun al-Rasyid dan beberapa anaknya. Kemudian spirit khilafah hilang, yang tersisa hanya namanya saja. Selanjutnya, pemerintahan benar-benar menjadi kerajaan. Kekuatan menjadi alat untuk mencapai tujuan, kesewenangan menjadi sarana untuk mendapatkan keinginan, dan mereka juga bergelimang dalam nafsu-sayhwat dan kenikmatan dunia. Inilah yang terjadi pada anak Abdul Malik dan para penguasa bani Abbasiyah setelah Harun ar-Rasyid, sedangkan nama “khalifah” masih mereka sandang, karena masih ada fanatisme Arab yang mereka pegang.

Dalam dua fase di atas, ciri kekhilafahan dan kerajaan campur aduk. Kemudian nama dan pengaruh khilafah hilang sama sekali dengan hilangnya fanatisme Arab, punahnya generasi dan karakter mereka. Sedangkan sistem yang tersisa adalah murni kerajaan, sebagaimana yang terjadi pada kerajaan non-Arab di kawasan Timur. Mereka mengaku patuh kepada khalifah sebagai bentuk tabarruk saja, tapi kekuasaan dengan semua gelar dan kewenangannya adalah milik mereka sepenuhnya, khalifah pusat tidak memiliki bagian apapun darinya. Ini pula yang dilakukan oleh para raja Zenata di Maroko, seperti kabilah Shanhaja terhadap Abidiyyun (Fathimiyah), juga seperti suku Maghrawah dan Banu Ifran terhadap para khalifah Bani Umayyah di Andalusia, juga Abidiyyun (Fathimiyah) di Kairowan di Tunis.

Hal ini menjelaskan bahwa pada awalnya khilafah bukan kerajaan, kemudian khilafah dan kerajaan tercampur aduk. Setelah itu yang tersisa adalah kerajaan, karena bentuk fanatismenya berbeda dengan bentuk fanatisme dalam khilafah. Dan Allah lah yang telah mengatur malam dan siang, Dia pun Maha Esa lagi Maha Kuasa.” (Târîkh Ibni Khaldun, Vol. I, hlm. 260).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka status hukum negara-negara yang ada saat ini adalah seperti status hukum Emirat/imârah. Oleh karena itu, rakyat harus patuh kepada para pemimpin dalam sistem negara ini, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Karena tujuan dari imâmah adalah sama persis dengan apa yang dilakukan oleh presiden atau pemimpin negara saat ini, seperti memimpin rakyat, mengatur urusan mereka, melaksanakan hukum, menyiapkan tentara, menindak orang-orang jahat dan menegakkan syiar-syiar agama. Dan inilah yang dilakukan oleh para pemimpin negara-negara kecil dahulu kala, juga yang dilakukan oleh sejumlah khilafah yang ada di luar khilafah pusat.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu `anhu, Dia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam berkhutbah, beliau bersabda [tentang perang Mu’tah]: “Panji diambil oleh Zaid, lalu ia terluka.

Kemudian diambil oleh Jakfar, lalu dia terluka. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah, lalu dia terluka. Kemudian diambil oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penunjukkan terhadapnya, lalu ditangannya musuh dapat ditaklukkan (dikalahkan).”

Dalam hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin al-Walid R.a. mengambil posisi sebagai pemimpin tanpa adanya penunjukkan (pengangkatan). Dan kaum muslimin rida dengan hal tersebut serta mematuhinya hingga akhir peperangan. Nabi Saw. pun menyetujuinya, tanpa adanya penolakan sama sekali, bahkan beliau memujinya.

Allah memberinya kemenangan, wahyu juga tidak ada yang turun untuk membatalkan atau mencela apa yang dilakukan oleh Khalid bin Walid. Ibnu al-Munayyir berkata; “Dari hadis bab ini, dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak memiliki pilihan lain kecuali harus memimpin, dan sangat sulit untuk bertanya terlebih dahulu kepada imam (pemimpin pusat), maka kepemimpinannya sah berdasarkan syariat dan keputusannya harus ditaati.” Al-Hafizh Ibnu Hajar lalu berkata; “Tentu sudah diketahui dengan jelas, bahwa hal ini berlaku jika orang-orang yang hadir (di daerah tersebut) ketika itu menyetujuinya.” (Fath al-Bârî, Vol. IV, hlm. 180, Cet. Dar al-Ma`rifah).

Imam Haramain al-Juwaini di dalam kitab Ghiyâts al-Umam menukilkan dari sebagian ulama yang berkata; “Jika dalam suatu masa tidak ada pemimpin, maka penduduk setiap kawasan, kota atau desa harus mengajukan salah satu dari mereka yang berakal, pandai dan saleh untuk dijadikan pemimpin. Yaitu orang yang akan mereka patuhi nasehat dan perintahnya, dan mereka tinggalkan larangan-larangannya. Jika mereka tidak melakukan hal tersebut, maka mereka akan ragu-ragu mengambil keputusan saat menghadapi hal penting, juga akan bingung menghadapi peristiwa besar.” (Ghiyâts al-Umam, Hlm. 387, Cet. Maktabah Imam al-Haramain).

Abu Ishaq al-Isfirayini mengomentari kebolehan mengangkat dua imam (pemimpin) di dua kawasan jika diperlukan, sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam kitab Rawdhah al-Thâlibîn, “Abu Ishaq al-Isfirayini berkata; “Boleh mengangkat dua imam (pemimpin pusat) di dua kawasan yang berbeda, karena terkadang hal itu diperlukan. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam al-Juwaini.” (Rawdhah al-Thâlibîn, Cet. Al-Maktab al-Islami, Vol. X, hlm. 47).

Hal tersebut sebagaimana dikuatkan oleh kaidah syariat, “al-Maisûr la yasqhuthu bi al-Ma`sûr (Sesuatu yang dapat dilakukan, tidak gugur karena sesuatu yang sulit dilakukan).” Idealnya berdasarkan syariat adalah para amir (gubernur) yang menjadi pemimpin negara-negara ini berada di bawah satu kepemimpinan, yaitu khalifah. Namun jika khalifah tidak dapat direalisasikan, maka kewajiban adanya pemimpin bagi negara-negara tidaklah gugur. Dan secara status, para presiden Negara saat ini juga sama dengan mereka.

Di samping itu, jika ada pendapat lain yang menyalahi pendapat ini akan mengakibatkan tidak adanya pemimpin yang memimpin dan mengatur rakyat.

Walhasil, malah akan mengakibatkan kekacauan dan instabilitas negara dan masyarakat. Ini tentu bertentangan dengan tujuan syariat, karena kerusakan yang ditimbulkan sangat besar dan tidak sejalan dengan lima tujuan utama syariat Islam -yang juga diakui oleh semua agama-, yaitu menjaga jiwa, akal, agama, kehormatan dan harta.

Oleh karena itu, siapapun yang mengkaji fikih Islam akan mendapati bahwa fukaha telah menerima sejumlah hal yang pada prinsipnya tercela. Penerimaan mereka ini disebabkan karena hal-hal tersebut terlanjur terjadi, dan tidak ada cara lain untuk menghindarinya demi kebaikan masyarakat, stabilitas negara. Dengan alasan ini, mereka menerimanya dan menganggapnya sebagai perkara yang dibenarkan oleh syariat. Ia masuk dalam masalah mâ yughtafaru fi al-dawâm wa lâ yughtafaru fi al-ibtidâ’ (Sesuatu yang ditolerir karena terus menerus, yang mana pada awalnya tidak ditolerir).

Di antara permasalahan yang masuk dalam kategori ini adalah pengakuan terhadap kekuasaan orang yang berhasil merebut atau mengambil tampuk kekuasaan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata; “Para ahli fikih bersepakat tentang kewajiban taat kepada pemimpin yang berhasil mengambil kekuasaan, juga wajib berjihad bersamanya. Mereka juga sepakat, bahwa patuh kepadanya adalah lebih baik daripada menentangnya. Karena hal itu dapat menghindari pertumpahan darah, juga akan menjaga ketenangan masyarakat secara umum. Para fukaha tidak ada memberikan pengecualian apapun dalam hal ini, kecuali jika penguasa tersebut benar-benar telah melakukan kekafiran yang jelas, maka pemimpin tersebut tidak boleh dipatuhi dalam kekufuran, bahkan wajib dilawan bagi orang yang mampu melakukannya.” (Fath al-Bârî, Vol. VII, hlm. 13).

Dalam Mathâlib Ulî al-Nuhâ, salah satu kitab fikih Hambali disebutkan,
“Seandainya setiap penguasa berhasil merebut dan menguasai satu kawasan di muka bumi ini, sebagaimana yang terjadi pada zaman kita ini, maka status kekuasaan mereka terhadap masing-masing kawasan tersebut adalah seperti kekuasaan pemimpin tertinggi (imâm), dari aspek kewajiban patuh kepadanya dalam semua hal yang bukan berupa kemaksiatan, wajib menjadi makmumnya, mengakui para hakim dan para gubernur yang mereka angkat, mengakui keputusan mereka, dan tidak menentangnya setelah mereka berhasil menguasai kawasan tersebut. Karena penentangan ini hanya akan mengakibatkan perpecahan dalam tubuh umat. Pendapat inilah yang benar.” (Mathâlib Ulî al-Nuhâ, Vol. VI, hlm. 263, Cet. Al-Maktab al-Islami).

Contoh lain dari pembahasan di atas adalah tidak disyaratkannya sifat `adâlah (ketakwaan dan kesalehan) pada imam (pimpinan tertinggi). Hal ini bertujuan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar sebagai akibat dari tidak adanya pemimpin, dan vonis tidak sahnya para hakim dan para pejabat lainnya yang dia angkat.

Al-`Izz bin Abdissalam dalam kitab Qawâ`id al-Ahkâm menuturkan; “Syarat `adâlah (ketakwaan dan kesalehan) dalam al-Imâmah al-`Uzhmâ (kepemimpinan tertinggi) menjadi perbedaan para ulama, karena kefasikan hampir merata pada para penguasa. Seandainya kita tetapkan syarat `adâlah ini secara ketat padanya, niscaya ada banyak hal yang sesuai dengan kebenaran akan terbengkalai, seperti pengangkatan hakim, gubernur, pengumpul zakat, dan panglima perang. Tidak ada yang mengambil apa yang seharusnya para pemimpin ambil (dari rakyat) dan memberikan apa yang seharusnya mereka berikan. Juga tidak ada yang mengumpulkan sedekah, tidak ada yang mengurus harta publik dan harta pribadi yang ada di bawah kekuasaan mereka. Oleh karena itu, tidak disyaratkan sifat `adâlah pada mereka terkait dengan hal-hal yang sesuai dengan kebenaran. Karena jika disyaratkan, dapat mengakibatkan terjadinya kerugian lebih besar yang akan menimpa seluruh umat. Dan ini dampaknya jauh lebih buruk daripada tidak terealisasinya sifat `adâlah pada penguasa.”
(Qawâ`id al-Ahkâm, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, Vol. I, hlm. 79).

Wallahu Subhânahu Watâ`lâ A`lam

Fatwa Hormat Bendera dan Menyanyikan Lagu Kebangsaan

Bendera dalam Bahasa Arab adalah al-`alam. Al-`Alam ini mempunyai sejumlah arti, antara lain: pemisah antara dua kawasan, sesuatu yang digunakan sebagai petunjuk di jalan, gunung, gambar di kain atau pakaian, dan bendera. (Tâj al-
`Arûs karya al-Zabidi, Vol. 33, hlm 132, Cet. Dar al-Hidayah).

Dalam fatwa ini akan dibahas tentang bendera yang menjadi lambang dan tanda bagi sebuah negara.

Menjadikan bendera sebagai lambang sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab sejak zaman dahulu sebelum kedatangan Islam, khususnya dalam peperangan. Di dalam syair-syair jahili (syair-syair Arab sebelum kedatangan Islam), sering disebutkan tentang bendera. Misalnya dalam syair yang dilantunkan oleh `Antarah al-`Absi,
ﻭﺗَﺮَﻯ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﺮﺍﻳﺎﺕِ ﺗَﺨْﻔُﻖُ ﻭﺍﻟﻘَﻨَﺎ ... ﻭﺗَﺮَﻯ ﺍﻟﻌَﺠَﺎﺝ ﻛﻤﺜﻞ ﺑﺤﺮ ﻣُﺰْﺑِﺪ
“Kau lihat di sana banyak bendera berkibar dan para penyanyi
Laksana lautan yang airnya melimpah ruah.”

Dalam sejumlah hadis disbeutkan bahwa Rasullullah Shallallahu `Alaihi wa Âlihi Sallam mempunyai sejumlah râyah (bendera), liwa’ (panji) dan `alam (bendera).

Sejumlah muhaddits juga menyebutkan di dalam kitab-kitab mereka bab-bab khusus tentang bendera dan panji-panji. Imam Abu Dawud di dalam Sunannya membuat bab dengan judul: “Bab fî al-Râyât wa al-Alwiyah (Bab Tentang Bendera dan
Panji-panji). Imam Tirmidzi juga membuat bab dengan judul: “Bab Mâ Jâ’a fî al-Alwiyah” (Bab Hadis-hadis tentang Panji-panji)”. Imam al-Baihaqi dalam Sunannya juga membuat bab dengan judul: “Bab Mâ Jâ’a fî `Aqd al-Alwiyah wa al-Râyât.
(Bab Hadis-hadis tentang Memasang Panji-panji dan Bendera).” Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, ia berkata,
ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺭَﺍﻳَﺔُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ - ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ - ﺳَﻮْﺩَﺍﺀَ ﻭَﻟِﻮَﺍﺅُﻩُ ﺃَﺑْﻴَﺾَ
“Râyah (bendera) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam berwarna hitam,
dan (liwâ’uhu) panji-panji beliau berwarna putih.”
Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Simak, dari seorang lelaki dari kaumnya, dari orang lain, ia berkata,
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺍﻳَﺔَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺻَﻔْﺮَﺍﺀَ
“Saya melihat râyah (bendera) Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam berwarna kuning.”

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir radhiyallahu `anhu bahwa Nabi Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam memasuki Mekkah dan liwâ’uhu (panji beliau) adalah putih.

Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari al-Harits bin Hassan al-Bakri radhiyallahu `anhu, ia berkata,
“Ketika kami memasuki Madinah, Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam sedang berpidato di atas mimbar dan Bilal berada di depan beliau dengan berkalungkan pedang. Kami juga melihat bendera-bendera hitam. Lalu saya bertanya, “Itu bendera-bendera apa?” Orang-orang menjawab, “Amr bin `Ash baru datang dari peperangan.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam, ketika dalam peperangan, menyerahkan sebuah panji (liwâ’) kepada setiap pemimpin kabilah. Masing-masing dari mereka berperang di bawah panji tersebut.” (Fath al-
Bârî, Vol. VI, hlm. 127, Dar al-Ma`rifah).

Karena makna simbolik dari bendera atau panji ini, maka sudah menjadi hal yang umum dalam peperangan, satu pasukan menjadikan pembawa bendera lawan sebagai sasaran dan menjatuhkannya sebelum menyerang yang lainnya. Hal ini
bertujuan untuk meruntuhkan mental dan semangat lawan. Ketika bendera atau panji masih tegak berdiri, maka menunjukkan kemenangan, kekuatan dan pertahanan yang masih kuat. Namun ketika panji atau bendera tersebut jatuh,
maka itu menunjukkan kekalahan. Dalam waktu yang sama, pembawa panji atau bendera tersebut juga selalu berusaha untuk mempertahankannya agar tetap tegak berdiri, walaupun harus mengorbankan jiwa dan raganya. Ia melakukannya
bukan demi bendera yang terbuat dari kain tersebut, akan tetapi karena simbol yang dikandung oleh kain yang menjadi bendera tersebut.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda saat perang Mu’tah,
ﺃَﺧَﺬَ ﺍﻟﺮَّﺍﻳَﺔَ ﺯَﻳْﺪٌ ﻓَﺄُﺻِﻴﺐَ -ﻳَﻌْﻨِﻲ : ﻓِﻲ ﻏَﺰْﻭَﺓِ ﻣُﺆْﺗَﺔَ - ، ﺛُﻢَّ ﺃَﺧَﺬَﻫَﺎ ﺟَﻌْﻔَﺮٌ ﻓَﺄُﺻِﻴﺐَ، ﺛُﻢَّ ﺃَﺧَﺬَﻫَﺎ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺑْﻦُ ﺭَﻭَﺍﺣَﺔَ ﻓَﺄُﺻِﻴﺐَ
“Awalnya panji dibawa oleh Zaid, lalu ia terluka. Kemudian diambil oleh Jakfar, lalu ia terluka. Kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawâhah, lalu ia terluka.” Anas bin Malik berkata lagi, “Saya lihat air mata Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam bercucuran. Kemudian beliau bersabda lagi,
ﺛُﻢَّ ﺃَﺧَﺬَﻫَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُ ﺑْﻦُ ﺍﻟْﻮَﻟِﻴﺪِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺇِﻣْﺮَﺓٍ ﻓَﻔُﺘِﺢَ ﻟَﻪُ
“Kemudian bendera diambil oleh Khalid bin Walid tanpa adanya penunjukkan terhadapnya untuk memimpin pasukan, lalu ia berhasil memenangkan peperangan.”

Al-Hakim di dalam al-Mustadrak meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam duduk di dekat Asma’ bin Umais, tiba-tiba beliau membalas salam, kemudian bersabda,
ﻳَﺎ ﺃَﺳْﻤَﺎﺀُ، ﻫَﺬَﺍ ﺟَﻌْﻔَﺮُ ﺑْﻦُ ﺃَﺑِﻲ ﻃَﺎﻟِﺐٍ ﻣَﻊَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞَ ﻭَﻣِﻴﻜَﺎﺋِﻴﻞَ ﻭَﺇِﺳْﺮَﺍﻓِﻴﻞَ ﺳَﻠَّﻤُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻓﺮُﺩِّﻱ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡَ، ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﺧْﺒَﺮَﻧِﻲ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﻘِﻲَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻳَﻮْﻡَ ﻛَﺬَﺍ ﻭَﻛَﺬَﺍ - ﻗَﺒْﻞَ ﻣَﻤَﺮِّﻩِ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺜَﻠَﺎﺙٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺭْﺑَﻊٍ - ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻟَﻘِﻴﺖُ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻓَﺄُﺻْﺒِﺖُ ﻓِﻲ ﺟَﺴَﺪِﻱ ﻣِﻦْ ﻣَﻘَﺎﺩِﻳﻤِﻲ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ ﻭَﺳَﺒْﻌِﻴﻦَ ﺑَﻴْﻦَ ﺭَﻣْﻴَﺔٍ ﻭَﻃَﻌْﻨَﺔٍ ﻭَﺿَﺮْﺑَﺔٍ، ﺛُﻢَّ ﺃَﺧَﺬْﺕُ ﺍﻟﻠِّﻮَﺍﺀَ ﺑِﻴَﺪِﻱ ﺍﻟْﻴُﻤْﻨَﻰ ﻓَﻘُﻄِﻌَﺖْ، ﺛُﻢَّ ﺃَﺧَﺬْﺕُ ﺑِﻴَﺪِﻱ ﺍﻟْﻴُﺴْﺮَﻯ ﻓَﻘُﻄِﻌَﺖْ، ﻓَﻌَﻮَّﺿَﻨِﻲ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦْ ﻳَﺪِﻱ ﺟَﻨَﺎﺣَﻴْﻦِ ﺃَﻃِﻴﺮُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﻣَﻊَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞَ ﻭَﻣِﻴﻜَﺎﺋِﻴﻞَ ﺃَﻧْﺰِﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺣَﻴْﺚُ ﺷِﺌْﺖُ، ﻭَﺁﻛُﻞُ ﻣِﻦْ ﺛِﻤَﺎﺭِﻫَﺎ ﻣَﺎ ﺷِﺌْﺖُ
“Wahai Asma’, ini Jakfar bin Abi Thalib bersama Jibril, Mikail, dan Israfil mengucapkan salam kepada kita, maka jawablah salam mereka. Jakfar memberitahu saya, bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang musyrik pada hari tertentu –tiga atau empat hari sebelum menjumpai Rasulullah Shallallahu `alaihi wa sallam—, lalu berkata, “Saya bertempur melawan orang-orang musyrik. Ada tujuh puluh luka di bagian depan tubuh saya, ada luka karena anak panah, tombak dan tebasan pedang. Kemudian saya mengambil bendera dengan tangan kanan saya. Lalu tangan kanan saya putus ditebas musuh. Kemudian saya mengambilnya dengan tangan kiri, lalu ditebas lagi. Kemudian Allah menggantikan kedua tangan saya dengan dua sayap yang saya gunakan untuk terbang bersama Jibril dan
Mika’il. Di dalam surga, saya dapat singgah di manapun yang saya kehendaki, dan makan dari buah apa saja yang saya inginkan.” Lalu Asma’ berkata,
“Berbahagialah Jakfar atas kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Akan tetapi aku khawatir orang-orang tidak mempercayai hal ini. Pergilah Anda ke mimbar dan sampaikanlah hal ini kepada orang-orang.” Lalu Rasulullah saw. naik ke mimbar, lalu memuji Allah, kemudian bersabda,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ، ﺇِﻥَّ ﺟَﻌْﻔَﺮًﺍ ﻣَﻊَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞَ ﻭَﻣِﻴﻜَﺎﺋِﻴﻞَ ﻟَﻪُ ﺟَﻨَﺎﺣَﺎﻥِ ﻋَﻮَّﺿَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦْ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻲَّ
“Wahai orang-orang, sesungguhnya Jakfar bersama Jibril dan Mika’il. Ia memiliki dua sayap yang dengannya Allah menggantikan dua tangannya yang terputus. Dan ia telah mengucapkan salam kepadaku.”
Kemudian beliau memberitahu mereka tentang bagaimana kondisi Jakfar ketika menghadapi orang-orang musyrik. Setelah itu, orang-orang mengetahui hari saat Jakfar bertempur melawan musuh, sebagaimana yang diberitahukan oleh Rasulullah Shallalahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam. Oleh karena itu Jakfar dijuluki dengan ath-Thayyar (yang selalu terbang) di surga.”

Hormat bendera dengan isyarat tangan dalam bentuk tertentu, atau berseru dengan kata-kata yang berisi doa untuk kejayaan negara saat pengibaran bendera, masuk dalam kategori gerakan atau ucapan. Mengingat hal ini sudah sangat biasa dilakukan orang-orang dan terulang-ulang, seperti yang kita saksikan, menjadikannya sebagai sebuah `âdah (tradisi). Karena, `âdah
(kebiasaan) adalah nama bagi aksi (perbuatan) atau reaksi yang terulang-ulang, sehingga ia sangat mudah untuk dilakukan, tanpa rasa canggung sama sekali.

Seakan-akan ia sudah menjadi watak bawaan seseorang. Oleh karena itu dikatakan bahwa “al-`aadah thabi`ah ats-tsaaniyah (Kebiasaan adalah karakter yang kedua) pada diri seseorang”. (Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur’an, karya al-Ashfahani, hlm. 594, Cet. Darul Qalam).

Hukum asal bagi perkara di atas adalah dibolehkan (ibâhah), selama tidak ada dalil yang melarangnya. Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻗَﺪْ ﻓَﺼَّﻞَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” [Qs. Al-An`âm: 119].

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Salman radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah saw. bersabda,
ﺍﻟْﺤَﻠَﺎﻝُ ﻣَﺎ ﺃَﺣَﻞَّ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺑِﻪِ، ﻭَﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡُ ﻣَﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻲ ﻛِﺘَﺎﺑِﻪِ، ﻭَﻣَﺎ ﺳَﻜَﺖَ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻤَّﺎ ﻋَﻔَﺎ ﻋَﻨْﻪُ
“Perkara yang halal adalah yang Allah halalkan di dalam Kitab Suci-Nya, dan perkara yang haram adalah yang Dia haramkan di dalam Kitab Suci-Nya. Sedangkan sesuatu yang Dia diamkan adalah termasuk yang Dia maafkan.”

Kemudian praktik-praktik yang disebutkan di dalam pertanyaan umumnya terkaitdengan kecintaan kepada tanah air. Orang-orang juga hampir sepakat bahwa kecintaan kepada tanah air inilah yang menjadi spirit di dalamnya. Oleh karena itu, praktik-praktik tersebut menjadi cara yang sudah umum untuk
mengekspresikan rasa cinta, keberpihakan, dan pembelaan (walâ’) kepada tanah air.

Dalam kaidah syariat telah ditetapkan bahwa hukum sarana sesuai dengan hukum tujuannya. Apabila di dalam syariat Islam cinta tanah air termasuk perkara yang diharuskan, sebagaimana ditetapkan dalam sejumlah dalil, maka sarana untuk merealisasikannya -yang hukum asalnya adalah dibolehkan— juga disyariatkan dan diharuskan. Keharusan ini lebih ditekankan lagi apabila sikap tidak mau berdiri
saat pengibaran bendera dalam pandangan orang-orang menjadi tanda atau indikasi bagi tidak adanya penghormatan dari pelakunya.Ini terkait dengan hormat bendera atau berdiri saat pengibarannya.

Adapun instrument lagu kebangsaan adalah alunan musik dan lagu yang diaransemen berdasarkan lirik-lirik lagu kebangsaan yang menjadi simbol suatu bangsa atau negara. Musik ini dimainkan dalam acara-acara kemiliteran dan acara-acara umum lainnya.

Pendapat yang kami pilih, musik sebagai musik itu sendiri, hukum mendengarkannya atau memainkannya tidak haram, karena ia adalah sekedar suara. Dan suara yang bagus adalah baik, sedangkan suara yang buruk adalah buruk. Dalil tentang keharaman musik adalah shahih, tapi tidak sharîh, sedangkan
dalil yang sharîh statusnya tidak shahih.

Tidak haramnya musik adalah pendapat yang dinukil dari sejumlah sahabat, tabi’in, dan para ulama setelah mereka. Di antara sahabat yang berpendapat bahwa musik tidak haram adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Amr
bin Ash radhiyallahu `anhum. Di antara tabi’in yang berpendapat bahwa musik tidak haram adalah Kharijah bin Zaid, Said bin Musayyab, Atha’, asy-Sya`bi, dan kebanyakan ahli fikih Madinah. Di antara ulama setelah fase mereka yang tidak
mengharamkannya adalah Ibnu Hazm, Syaikh Abu Ishaq asy-Syirazi, Syaikh Abdul Ghani al-Nabulsi dan banyak ulama lainnya.

Ketika Syaikh Izzuddin bin Abdissalam ditanya tentang alat-alat musik secara umum, ia menjawab, “Hukumnya mubah (dibolehkan)”. Lalu Syaikh Syarafuddin al-Tilimsani, yang saat itu ada di dekat Syaikh Izuddin, mencoba menjelaskan ucapan
Syaikh Izzuddin tersebut, “Maksud beliau adalah tidak ada dalil yang shahih dari Sunnah yang mengharamkannya.” Ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Syaikh Syarafuddin al-Tilimsani tersebut, maka Syaikh Izzuddin berkata, “Bukan
itu yang aku maksud. Yang aku maksud hukumnya memang mubah.” (Dinukil dari buku Farah al-Asma` bi Rukhash al-Sima`, karya Abu al-Mawahib al-Syadzili, hlm. 12, Cet. India).
Sejumlah ulama menulis kitab khusus untuk menguatkan tentang kebolehannya mendengar musik ini. Di antara mereka adalah Ibnu Hazm, Ibnu al-Sam`ani, Ibnu al-Qaisarani, al-Udfuy, Abu al-Mawahib al-Syadzili al-Maliki, dan yang lainnya.

Status lagu kebangsaan adalah seperti bendera jika dilihat dari sifatnya sebagai simbol. Dan tujuan dari berdiri saat lagu kebangsaan dinyanyikan atau instrumennya dimainkan, tidak lain adalah menghormati, menghargai dan memuliakan apa yang diwakili oleh lagu tersebut, yaitu tanah air atau negara.
Dan cinta tanah air adalah fitrah manusia. Hingga seorang filsuf berkata, “Fitrah laki-laki tercampur dengan cinta tanah air.” (Al-Hanîn ila al-Awthân karya al-Jahizh, hlm. 10, Cet. Dar al-Kitab al-`Arabi).

Imam Bukhari meriwayatkan dari Hamid ath-Thawil, bahwa ia mendengar Anas bin Malik radhiyallahu `anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam,
jika datang dari perjalanan jauh, lalu melihat jalanan-jalanan tinggi di Madinah, beliau segera mempercepat jalan unta tunggangannya. Jika tunggangan beliau bukan unta, maka beliau menggerak-gerakannya.” Al-Bukhari berkata, “Al-Harits
bin Umari menambahkan dari Humaid, “Beliau menggerak-gerakkan tunggangannya karena kecintaan beliau kepada Madinah.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadis ini terkandung dalil tentang keutamaan Madinah, disyariatkannya cinta tanah air dan rindu kepadanya.” (Fathul-Bâri, Vol. III, hlm. 621, Cet. Dar al-Ma`rifah).

Imam Ibnu al-Baththal di dalam syarahnya terhadap Shahih Bukhari berkata,
“Kecintaan Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam kepada Madinah, karena Madinah adalah tanah air beliau. Di dalamnya terdapat keluarga beliau dan putri beliau, orang yang paling beliau cintai. Allah telah menciptakan jiwa manusia dengan fitrah mencintai tanah airnya dan rindu kepadanya. Dan ini juga dilakukan oleh Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, dan beliau adalah tauladan yang paling mulia.” (Vol. IV, hlm. 453, Cet. Al-Rusyd).

Ekspresi cinta yang disebutkan di dalam hadis di atas memiliki bentuk yang bermacam-macam. Ada yang diwujudkan dengan ucapan dan ada pula yang dengan perbuatan. Di antara bentuk ekspresi cinta adalah seperti yang dituangkan Qais bin al-Mulawwih dalam bait-bait syairnya,
ﺃَﻣُﺮُّ ﻋَﻠﻰ ﺍﻟﺪِّﻳﺎﺭِ ﺩِﻳﺎﺭِ ﻟَﻴﻠﻰ ... ﺃُﻗَﺒِّﻞُ ﺫﺍ ﺍﻟﺠِﺪﺍﺭَ ﻭﺫﺍ ﺍﻟﺠِﺪﺍﺭﺍ
ﻭَﻣﺎ ﺣُﺐُّ ﺍﻟﺪِّﻳﺎﺭِ ﺷَﻐَﻔْﻦَ ﻗَﻠﺒﻲ ... ﻭﻟَﻜِﻦْ ﺣُﺐُّ ﻣَﻦ ﺳَﻜَﻦَ ﺍﻟﺪِّﻳﺎﺭﺍ
“Aku hampiri tempat tinggal Laila
Kuciumi dinding-dindingnya
Bukanlah kecintaan kepada tempat tinggalnya yang memenuhi hatiku
Tetapi cinta kepada yang pernah tinggal di dalamnya.”
Hukum asal dalam semua perkara yang disebutkan di atas adalah dibolehkan, hingga terdapat dalil yang menyebutkan tentang keharamannya.
Di antara hal yang menjadi ekspresi cinta tanah air adalah berdiri untuk memberikan penghormatan kepada lambang dan simbol negara, yaitu bendera atau lagu kebangsaan. Dan orang yang mencintai sesuatu selalu terpaut dengan semua yang mempunyai keterkaitan dengan apa yang ia cintai. Dan hal ini tidak tercela kecuali bagian-bagian tertentu yang dicela syariah.
Kemudian tentang klaim bahwa hormat bendera dan berdiri saat lagu kebangsaan dinyanyikan adalah haram karena mengandung unsur pengagungan (ta`zhîm), sedangkan ta`zhîm tidak boleh ditujukan kepada makhluk, khususnya jika makhluk
tersebut adalah benda mati.

Jawaban kami bagi klaim ini adalah walaupun terdapat unsur ta`zhîm (pengagungan) di dalam hormat bendera dan berdiri saat bendera dikibarkan, akan tetapi mengatakan bahwa ta`zhîm untuk makhluk secara mutlak tidak dibolehkan
adalah tidak benar. Karena, yang tidak dibolehkan adalah apabila ta`zhîm tersebut untuk menyembah atau beribadah kepada apa yang diagungkan, sebagaimana orang-orang jahiliyah saat mengagungkan berhala-berhala mereka. Mereka
meyakini bahwa berhala-berhala tersebut adalah tuhan selain Allah yang dapat memberi manfaat dan madharat. Dan ini adalah kesyirikan. Sedangkan ta`zhîm (pengagungan) yang hanya menunjukkan penghormatan dan pemuliaan adalah
dibolehkan, jika yang diagungkan tersebut memang layak untuk diagungkan walaupun benda mati.

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Urwah bin al-Zubair radhiyallahu `anhu, ketika menceritakan tentang para sahabat Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam, ia berkata,
“Mereka tidak pernah memandang tajam kepada beliau karena ta`zhîm mereka terhadap beliau.”
Ahmad dan Hakim meriwayatkan bahwa Aisyah radhiyallahu `anhâ berkata, “Saya melihat ta`zhîm Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam terhadap paman beliau, Abbas, sangatlah menakjubkan.”
Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam ketika melihat Baitullah Ka`bah, beliau bersabda,
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺯِﺩْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖَ ﺗَﺸْﺮِﻳﻔًﺎ، ﻭَﺗَﻌْﻈِﻴﻤًﺎ، ﻭَﺗَﻜْﺮِﻳﻤًﺎ، ﻭَﻣَﻬَﺎﺑَﺔً
“Ya Allah tambahkanlah kemuliaan, ta`zhîm (pengagungan), penghormatan dan kewibawaan terhadap rumah ini.”
Al-Darimi meriwayatkan dari Ikrimah bin Abi Jahl radhiyallahu `anhu bahwa ia menempelkan mushaf di wajahnya sembari berkata,
ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺭَﺑِّﻲْ، ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺭَﺑِّﻲْ
“Kitab Tuhanku, Kitab Tuhanku.”

Imam Malik berkata, “Dikatakan bahwa di antara bentuk ta`zhîm (pengagungan) kepada Allah `Azza wa Jalla adalah ta`zhîm kepada orang Muslim yang sudah beruban (tua).” (Al-Muwaththa’, Vol. I, hlm. 265, Cet. Al-Imarat).

Sebagai penjelasannya, terdapat perbedaan yang besar antara wasîlah (sarana) dan kesyirikan. Melakukan sesuatu yang menjadi wasîlah yang diperintahkan oleh syariat adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan apa yang Dia syariatkan.
Salah satu bentuknya adalah mengagungkan apa yang diagungkan oleh Allah, berupa tempat, waktu, orang, dan kondisi. Sehingga, orang muslim, misalnya, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan shalat di Masjidil Haram,
berdoa di sisi makam Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam dan di Multazam, sebagai bentuk pengagungan terhadap tempat yang diagungkan oleh Allah. Seorang muslim juga berusaha melakukan salat di malam Lailatul Qadar,
berdoa pada waktu dikabulkan doa pada hari Jum’at dan di sepertiga malam terakhir. Semua ini sebagai bentuk pengagungan terhadap waktu yang diagungkan
oleh Allah.

Orang Muslim juga mendekatkan diri kepada Allah dengan cinta kepada para nabi dan orang-orang saleh, sebagai bentuk pengagungan kepada orang-orang yang diagungkan oleh Allah. Orang Muslim juga berusaha untuk berdoa ketika dalam
perjalanan, ketika turun hujan, dan sebagainya, sebagai bentuk pengagungan terhadap kondisi yang diagungkan oleh Allah. Jadi, semua itu adalah pengagungan karena Allah, dan pengagungan karena Allah adalah pengagungan kepada Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻌَﻈِّﻢْ ﺷَﻌَﺎﺋِﺮَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻘْﻮَﻯ ﺍﻟْﻘُﻠُﻮﺏِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32).
Taat kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam juga merupakaan ketaatan kepada Allah yang mengutusnya,
ﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻟﻠَّﻪَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (An-Nisâ’: 80).
Dan berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam adalah berbaiat kepada Allah,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﺒَﺎﻳِﻌُﻮﻧَﻚَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﺒَﺎﻳِﻌُﻮﻥَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓَﻮْﻕَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka.” (Al-Fath: 10).
Adapun kesyirikan adalah mengagungkan yang lain bersama Allah, atau mengagungkan selain Allah. Oleh karena itu, sujud para malaikat kepada Nabi Adam `alaihis-salâm adalah keimanan dan pengesaan. Sedangkan sujud orang-
orang musyrik kepada patung-patung adalah kekafiran dan kemusyrikan. Padahal, sujud yang dilakukan para malaikat dan sujud yang dilakukan orang-orang musyrik adalah sama-sama sujud kepada makhluk. Akan tetapi karena sujud para
malaikat kepada Nabi Adam `alaihis-salâm adalah pengagungan terhadap apa yang diagungkan oleh Allah sesuai perintah-Nya, maka itu adalah sebuah wasilah yang pelakunya berhak mendapatkan pahala. Sedangkan sujud orang-orang musyrik
kepada berhala-berhala adalah sebuah pengagungan yang sama dengan pengagungan kepada Allah, maka itu adalah kesyirikan yang tercela, dan pelakunya berhak mendapatkan hukuman.
Berdasarkan hal di atas maka terdapat perbedaan besar antara berdiri untuk menyembah dengan berdiri untuk menghormati. Yang pertama, yaitu berdiri untuk menyembah, adalah dilarang jika dilakukan untuk selain Allah. Sedangkan untuk yang kedua, yaitu berdiri untuk menghormati, maka terdapat hadis yang menjadi dasar bagi kebolehannya. Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari hadis Abu Sa`id al-Khudri radhiyallahu `anhu disebutkan bahwa ketika Sa`d bin Mu`adz mendatangi Nabi Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam, beliau bersabda kepada orang-orang Anshar,
ﻗُﻮﻣُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺳَﻴِّﺪِﻛُﻢْ
“Berdirilah kepada tuan kalian.”
Al-Allamah Khathib asy-Syarbini berkata, “Disunahkan berdiri ketika menyambut orang yang mulia karena keilmuannya, kesalehannya, kemuliaannya dan semacamnya, sebagai bentuk penghormatan, bukan karena pamer dan pengagungan. Penulis kitab Raudhah al-Thalibîn berkata, “Terdapat sejumlah hadis
shahih tentang hal ini.” (Mughni al-Muhtâj, Vol. IV, hlm. 219, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).

Sebagian ulama menyatakan dianjurkannya berdiri untuk menyambut mushaf. Imam Nawawi berkata, “Disunahkan untuk berdiri ketika mushaf didatangkan. Karena, berdiri disunahkan untuk menyambut orang-orang yang mulia, seperti para ulama
dan orang-orang yang baik, dan Mushaf lebih utama untuk dihormati.” (Al-Tibyân fî Âdâb Hamalah Al-Qur’an, Hlm. 191, Dar Ibnu Hazm).

Para ulama menyatakan bahwa berdiri untuk menyambut orang lain sebagai tanda penghormatan yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang, mengakibatkan tidak berdiri untuk sesuatu yang lebih layak untuk dihormati sebagai perbuatan yang pantas mendapatkan celaan. Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah al-Hambali di dalam al-Fatâwâ al-Kubrâ berkata, “Apabila orang-orang terbiasa berdiri untuk mengormati orang lain, maka dapat dikatakan bahwa tidak berdiri untuk menyambut mushaf adalah tindakan yang tidak baik dan tidak terpuji, dan karenanya mereka lebih pantas mendapatkan celaan. Karena mereka berdiri ketika menyambut orang, namun tidak berdiri untuk menyambut mushaf yang lebih pantas untuk disambut dengan berdiri, padahal mushaf wajib dimuliakan dan diagungkan, melebihi yang lainnya… Sebagian tokoh ulama juga meyinggung tentang kebiasaan sebagian orang yang berdiri untuk menyambut mushaf dan mereka menyetujuinya,
tanpa ada pengingkaran sama sekali.” (Al-Fatâwâ al-Kubrâ, Vol. I, Hlm. 49, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).

Ada sesuatu yang menjadi kebiasaan kaum Muslimin terdahulu yang serupa dengan berdiri saat hormat bendera atau saat dinyanyikan lagu kebangsaan. Para ulama mengatakan bahwa di antara adab yang baik adalah berdiri ketika mendengar
paparan tentang pendapat seorang imam. Dari permasalahan ini, mereka menyimpulkan tentang lebih utamanya untuk berdiri saat menyambut mushaf.

Sedangkan tidak berdiri untuk menyambutnya, walaupun tetap menghormatinya, adalah kebiasaan pada masa-masa sebelumnya. Kemudian ketika berdiri untuk menyambut mushaf sudah menjadi kebiasaan orang-orang pada umumnya, dan jika
tidak melakukannya mengesankan sikap melecehkan, maka hukumnya berubah dari dibolehkan menjadi dianjurkan.

Di dalam kitab Ghâyah al-Muntahâ karya Syaikh Mar’i al-Karami dan syarahnya, Mathâlib Uli al-Nuhâ karya Syaikh Mushthafa al-Rahibani, salah satu kitab Mazhab Hambali (1/158, Cet. Al-Maktab al-Islami), disebutkan, “Dibolehkan berdiri untuk
menyambut Mushaf Al-Qur’an. Syaikh Taqiyuddin berkata, “Jika orang-orang sudah terbiasa berdiri untuk menyambut dan menghormati orang lain, maka Kitab Allah lebih pantas untuk mendapatkan penghormatan seperti itu. Di dalam kitab al-
Furû` dan al-Mubdi` disebutkan, “Dari perbuatan Imam Ahmad dapat disimpulkan kebolehan berdiri menyambut Mushaf. Dikisahkan bahwa pada suatu Imam Ahmad duduk bersandar dalam kondisi santai. Namun ketika mendengar nama Ibrahim bin Thahman ia langsung duduk tegak dan berkata, “Tidak sepatutnya saat orang-orang saleh disebutkan kita duduk dengan bersandar (santai).”

Ibnu `Aqil berkata, “Dari apa yang dilakukan Imam Ahmad ini saya mengambil kesimpulan bahwa termasuk adab yang baik adalah apa yang dilakukan oleh orang-orang, yaitu bangkit saat disebutkan tentang imam pada zamannya untuk
mendengarkan paparan mengenai pendapat-pendapatnya.”
Penulis al-Furû` berkata, “Dapat diketahui bahwa apa yang kita bahas ini lebih utama. Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa awalnya orang-orang tidak berdiri saat menyambut orang. Kemudian ketika tidak berdiri dianggap seperti sikap
meremehkan, maka dianjurkan berdiri untuk menyambut orang yang layak mendapatkan perlakuan seperti itu.”

Berdiri untuk menyambut mushaf atau orang yang mulia tidak lain adalah untuk menunjukkan pernghormatan dan pemuliaan. Penjelasan para ulama tentang `illahnya menunjukkan hal ini. Oleh karena itu, tidak apa-apa berdiri ketika dikibarkan bendera atau dinyanyikan lagu kebangsaan, karena `illahnya sama.
Adapun klaim bahwa berdiri saat dikibarkan bendera atau saat dinyanyikan lagu kebangsaan adalah menyerupai orang-orang kafir dalam kebiasaan yang buruk, maka kami katakan bahwa klaim ini tidak dapat diterima. Karena, itu bukan kebiasaan yang hanya dimiliki oleh mereka. Klaim tersebut juga tidak berdasarkan dalil sama sekali. Seandainya klaim itu benar, maka kami katakan bahwa hal tersebut bukan lagi hanya menjadi kebiasaan mereka, akan tetapi kebiasaan yang
sudah masuk ke negara-negara Muslim, dan mereka semua melakukannya hingga sumber asalnya sudah terlupakan. Sehingga, ini masuk dalam kaidah,
“Yughtafaru fî al-dawâm mâ lâ yughtafaru fî al-ibtida’ (“Dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak dimaafkan pada permulaannya.” (Al-Mantsûr, karya al-Zarkasyi, Vol. III, hlm. 375, Cet. Departemen Wakaf Kuwait).

Seandainya berdiri saat pengibaran bendera atau saat dinyanyikan lagu kebangsaan adalah salah satu bentuk menyerupai orang-orang kafir, maka sekedar menyerupai tidaklah diharamkan, kecuali yang berkaitan dengan akidah
dan hal-hal khusus di dalam agama mereka. Banyak dalil akan hal ini, antara lain adalah:
- Hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam memerintahkan agar orang-orang mewarnai kumis mereka. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan yang lainnya dari Abu Hurairah
radhiyallahu `anhu, beliau bersabda,
ﻏَﻴِّﺮُﻭﺍ ﺍﻟﺸَّﻴْﺐَ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺸَﺒَّﻬُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﻴَﻬُﻮﺩِ
“Ubahlah warna kumis kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi.”
Pada masa itu banyak juga sahabat yang tidak mewarnai kumis dan rambut mereka. Namun tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat lain yang
mewarnai rambut mereka mencela dan mengingkari para sahabat tersebut dan menganggap mereka telah melakukan perbuatan yang haram karena telah menyerupai non-Muslim.
Imam Thabari di dalam Tahdzîb al-Âtsâr menukilkan adanya ijmak (konsensus) bahwa perintah untuk mewarnai kumis dan larangan menyerupai non-Muslim di sini adalah menunjukkan kemakruhan, bukan keharaman.” (Tahdzîb al-Âtsâr, Cet. Dar
al-Ma’mûn li al-Turâts, Hlm. 518).
- Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Syaddad bin Aws radhiyallahu `anhu bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam bersabda,
ﺧَﺎﻟِﻔُﻮﺍ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻢْ ﻟَﺎ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻓِﻲ ﻧِﻌَﺎﻟِﻬِﻢْ، ﻭَﻟَﺎ ﺧِﻔَﺎﻓِﻬِﻢْ
“Berbedalah dengan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya mereka tidak melakukan shalat dengan memakai sandal dan tidak memakai khuf.”
Dan tidak ada satupun ulama yang mengatakan kewajiban melakukan shalat dengan memakai sandal, akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah hukumnya Sunnah,
boleh atau makruh. (Faidh al-Qadîr, Vol. IV, hlm. 67, Cet. Al-Maktabah al-Tijâriyyah al-Kubrâ).
- Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnadnya dari `Amr bin Ash radhiyallahu `anhumâ bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa
Sallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﻓَﺼْﻞَ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺻِﻴَﺎﻣِﻨَﺎ ﻭَﺻِﻴَﺎﻡِ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺃَﻛْﻠَﺔُ ﺍﻟﺴَّﺤَﺮِ
“Pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.”
Dan hukum sahur adalah Sunnah. Imam al-Mundziri menukilkan tentang adanya ijmak akan hal ini di dalam kitabnya al-Ijmâ`. (Hlm. 49, cet. Dar al-Muslim).
- Dalil lainnya adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam Thabaqât dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, bahwa Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa
Sallam bersabda kepada Jakfar bin Abi Thalib radhiyallahu `anhu, “Wahai Jakfar, kau menyerupai rupa dan akhlakku”. Maka Jakfar bangkit dan berjalan meloncat-
loncat dengan satu kaki mengitari Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam. Maka Nabi Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam bersabda kepadanya, “Apa ini wahai Jakfar?” Ia menjawab, “Wahai Rasulullah, Raja Najasyi jika membuat
senang seseorang, maka ia bangkit dan berjalan meloncat-loncat dengan satu kaki mengitari orang tersebut.” (Thabaqât Kubrâ, Vol. I, hlm. 159, 160, Cet. Dar Shadir).
Makna zhahir dari riwayat di atas adalah apa yang dilakukan Jakfar tersebut merupakan kebiasaan orang-orang Nasrani Habasyah (Ethiopia). Dan sikap Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam adalah iqrâr (persetujuan) terhadapnya, karena beliau tidak mengingkari Jakfar ketika mencontoh apa yang dilakukan orang-orang Nasrani Habasyah. Jadi ini adalah nash yang benar-benar jelas (sharih) bahwa berbeda dengan non-Muslim bukanlah perkara yang wajib.
- Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhumâ, ia berkata, “Ketika Fathimah sakit berat, ia berkata kepada Asma’ bintu `Umais radhiyallahu `anhumâ, “Tidakkah engkau
melihat kondisiku ini. Apakah nanti aku akan dibawa di atas ranjang yang di atasnya tubuhku akan tampak jelas?” Asma’ radhiyallahu `anhumâ menjawab,
“Tidak akan seperti itu. Tapi aku akan membuatkan keranda sebagaimana yang pernah aku lihat di negeri Habasyah.” Fathimah berkata, “Perlihatkanlah padaku bentuknya.” Lalu Asma’ mengirim seseorang menuju ke pelapah-pelapah kurma
yang kering yang diambil dari Aswâf. Lalu di atas ranjangnya dibuat keranda. Dan itu adalah keranda yang pertama dibuat. Lalu Fathimah radhiyallahu `anhâ tersenyum. Saya tidak pernah melihatnya tersenyum setelah ayahnya meninggal
dunia kecuali ketika itu. Kemudian kami membawa jenazahnya dan memakamkannya pada malam hari.”
Peristiwa ini berlangsung di hadapan para shahabat mulia radhiyallahu `anhum.
Dan tidak ada riwayat sama sekali yang menyebutkan bahwa salah seorang dari mereka mengingkari apa yang dilakukan Fathimah tersebut dan menganggapnya perbuatan yang menyerupai orang-orang Nashrani Habasyah. Sikap para shahabat ini adalah ijma` sukuti. Dan ijma` sukuti adalah hujjah.

Di dalam kitab Jam’ al-Jawâmi` dan syarahnya karya al-`Allâmah al-Mahalli, disebutkan, “Yang benar, ijma` sukûti adalah hujjah secara mutlak.” (Jam`ul-
Jawâmi` dan syarahnya beserta Hâsyiyah al-`Aththâr, Vol. II, hlm. 221, cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah).
Di antara ulama yang mengisyaratkan bahwa serupa dengan non-Muslim tidak secara otomatis diharamkan adalah al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitab Fath al-Bârî. Yaitu ketika ia membahas tentang sebab-sebab diharamkannya menggunakan
wadah dari emas dan perak. Ia berkata, “Ada pendapat yang mengatakan bahwa `illah dari larangan memakai wadah emas dan perak adalah menyerupai orang-orang non-Arab. Pendapat ini perlu ditinjau kembali, karena di dalam larangan
tersebut terdapat ancaman terhadap pelakunya. Sedangkan sekedar serupa dengan mereka tidaklah membuat seseorang pantas mendapatkan ancaman tersebut.” (Fath al-Bârî, Vol. X, hlm. 98, Cet. Dar al-Ma`rifah).

Imam al-Mawwaq al-Maliki di dalam kitab Sunan al-Muhtadîn fî Maqâmât al-Dîn berkata, “Seorang Imam yang saya percaya keilmuannya menyatakan bahwa tidak semua yang dilakukan non-Arab dilarang untuk dilakukan. Kecuali jika syariat
melarangnya dan kaidah-kaidah syariat juga menunjukkan itu harus dilarang.” Ia melanjutkan, “Larangan tersebut khusus bagi apa yang mereka lakukan yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Jika yang mereka lakukan sesuai dengan apa yang
disunahkan, diwajibkan dan dibolehkan di dalam syariat kita, maka kita tidak akan meninggalkannya hanya karena mereka melakukannya. Karena, syariat tidak melarang kita untuk menyerupai orang yang melakukan sesuatu yang diizinkan oleh
Allah. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam telah menggali parit di Madinah ketika perang Khandak dengan menyerupai orang-orang non-Arab, hingga hal itu membuat terkejut pasukan musuh. Kemudian mereka tahu bahwa itu adalah usulan
dari Salman al-Farisi.” (Sunan al-Muhtadîn fî Maqâmât al-Dîn, hlm. 249, Cet. Mu’assasah Syaikh Murabbîh Rabbuh, Maroko).

Jika kita terima bahwa menyerupai non-Muslim adalah dilarang dalam semua hal, maka ketika ada kemiripan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang dilakukan Ahlul Kitab yang terjadi dengan sendirinya, tidak dapat disebut tasyabbuh (sengaja menyerupai). Kecuali jika pelakunya bermaksud untuk
menyerupai. Karena wazan tasyabbuh adalah tafa`ul. Bentuk ini menunjukkan adanya niat dan keinginan untuk melakukan.
Imam Suyuthi dalam kitab Jam` al-jawâmi` dan syarahnya, Ham` al-hawâmi`, sebuah kitab tentang ilmu Bahasa Arab, berkata, “Bentuk Tafa`ul (ﺗَﻔَﻌُّﻞ ) adalah muthawa`ah dari kata fa`ala (ﻓَﻌَّﻞ ) seperti kata kasartuhu fatakassara (aku
mematahkannya, lalu ia patah), dan `allamtuhu fata`allama (aku mengajarnya, lalu ia belajar). Dan “al-takalluf” seperti tahallum, tashabbur dan tasyajju`. Kata tahallama artinya seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bersikap
bijak. Kata tashabbara artinya seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bersikap sabar. Dan kata tasyajja`a artinya seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bersikap berani. Padahal, sifat-sifat tersebut tidak ada
menjadi wataknya.” (Vol. III, hlm. 305, Cet. Maktabah Taufiqiyyah, Cairo).

Di antara hal yang menjadi landasan pokok dalam syariat adalah dijadikannya tujuan seorang mukallaf sebagai salah satu pijakan untuk menetapkan hukum. Ini juga ditunjukkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdillah
radhiyallahu `anhhumâ, ia berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam sakit, kami bermakmum salat kepada beliau dan beliau salat dalam posisi duduk. Lalu beliau menoleh ke arah kami yang salat dalam posisi berdiri. Beliau lalu memberi isyarat kepada kami untuk duduk, maka kami duduk. Setelah selesai salat beliau bersabda,
ﺇِﻥْ ﻛِﺪْﺗُﻢْ ﺁﻧِﻔًﺎ ﻟَﺘَﻔْﻌَﻠُﻮﻥَ ﻓِﻌْﻞَ ﻓَﺎﺭِﺱَ ﻭَﺍﻟﺮُّﻭﻡِ؛ ﻳَﻘُﻮﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﻠُﻮﻛِﻬِﻢْ ﻭَﻫُﻢْ ﻗُﻌُﻮﺩٌ، ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻔْﻌَﻠُﻮﺍ، ﺍﺋْﺘَﻤُّﻮﺍ ﺑِﺄَﺋِﻤَّﺘِﻜُﻢْ؛ ﺇِﻥْ ﺻَﻠَّﻰ ﻗَﺎﺋِﻤًﺎ ﻓَﺼَﻠُّﻮﺍ ﻗِﻴَﺎﻣًﺎ، ﻭَﺇِﻥْ ﺻَﻠَّﻰ ﻗَﺎﻋِﺪًﺍ ﻓَﺼَﻠُّﻮﺍ ﻗُﻌُﻮﺩًﺍ
“Sungguh kalian tadi hampir saja melakukan kebiasaan orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri untuk memuliakan para raja mereka sedangkan para raja tersebut dalam posisi duduk. Jangan lakukan itu. Ikutilah imam kalian, jika ia
salat dengan posisi berdiri, maka salatlah dengan posisi berdiri. Jika ia salat dalam posisi duduk, maka salatlah dalam posisi duduk.”

Kata “ ﻛﺎﺩ ” yang disebutkan di dalam hadis di atas, jika berada dalam kalimat positif, menunjukkan bahwa apa yang disebutkan dalam khabarnya tidak terwujud walaupun ia hampir terjadi. Jadi, kebiasaan orang-orang Persia dan Romawi memang telah dilakukan oleh para sahabat pada saat itu. Akan tetapi, karena para sahabat tidak bermaksud untuk meniru mereka, maka dalam timbangan syariat tasyabbuh tidak terwujud pada mereka. Dan ketika seorang Muslim melakukan hormat bendera atau berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan, tidak terlintas di
dalam hati mereka adanya unsur serupa (tasyabbuh) dengan orang-orang non-Muslim, apalagi memang bermaksud untuk menyerupainya.

Imam al-Thahthawi dalam Hâsyiyahnya terhadap kitab Marâ`qi al-Falâh, berkata,
“Menyerupai orang-orang Ahlu Kitab tidak seluruhnya dibenci (tercela), karena kita makan dan minum seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai mereka dalam perbuatan yang tercela atau bermaksud untuk menyerupai mereka. Ini
dikatakan oleh Qadhikhan dalam syarah al-Jâmi` al-Shaghîr.” (Marâqi al-Falâh, Vol. I, hlm. 336, Cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah).
Al-`Allâmah Ibnu Abidin dalam Radd al-Muhtâr, ketika mengomentari kata-kata penulis al-Dur al-Mukhtâr, berkata, “Serupa (tasyabbuh) dengan Ahlu Kitab tidak seluruhnya dibenci (tercela), karena kita makan dan minum seperti yang mereka lakukan. Dan ini didukung di dalam al-Dzakhîrah sebelum Bab al-Taharrî. Hisyam berkata, “Saya melihat Abu Yusuf memakai sepasang sandal yang dipasang paku-
paku di sisinya, lalu saya bertanya kepadanya, “Apakah menurutmu besi ini tidak apa-apa?” Ia berkata, “Iya, tidak apa-apa.” Maka saya katakan, “Sufyan dan Tsaur bin Yazid tidak menyukainya, karena ia menyerupai para pendeta.” Lalu ia
menjawab, “Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Âlihi wa Sallam dahulu memakai sandal yang ada wolnya, padahal itu adalah pakaian para pendeta.” Di sini Abu Yusuf mengisyaratkan bahwa bentuk tasyabbuh (serupa) yang mengandung kebaikan bagi orang-orang, itu tidak apa-apa, karena jarak yang jauh tidak dapat ditempuh kecuali dengan memakai sandal jenis tersebut.” (Radd al-Mukhtâr, Vol. I, Hlm. 624, Cet. Dar al-Fikr).

Ini juga mengandung isyarat bahwa maksud dari tasyabbuh “serupa” adalah perbuatan itu sendiri, maksudnya serupa tapi tidak ada maksud menyerupai sama sekali.”

Adapun klaim bahwa itu termasuk bid’ah karena tidak ada pada zaman Nabi Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam, juga tidak ada pada zaman Khulafaur Rasyidin radhiyallahu `anhum, maka kami katakan, “Benar, kami terima
bahwa hal tersebut adalah bid’ah, akan tetapi statusnya sebagai bid’ah tidak membuatnya otomatis haram. Karena, terdapat lima hukum bagi bid’ah, sehingga bid’ah maknanya bukan haram, dan keduanya mempunyai posisi yang berbeda.
Syaikh Al-Islam, Imam `Izzuddin bin Abdissalam dalam masterpiecenya, Qawâ`id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm (Vol. II, Hlm. 204, 205, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah), menjelaskan, “Bid`ah adalah melakukan sesuatu yang tidak pernah
dilakukan pada zaman Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Âlihi wa Sallam. Bid`ah ini terbagi menjadi bid`ah yang wajib, bidah yang haram, bid`ah yang disunnahkan, bid`ah yang makruh dan bid`ah yang mubah (yang dibolehkan).

Cara untuk mengetahui semua ini adalah menimbang bid`ah tersebut dengan kaidah-kaidah syariat. Jika ia masuk dalam kaidah yang mewajibkan maka hukumnya wajib, jika masuk dalam kaidah yang mengharamkan maka hukumnya
haram, jika masuk dalam kaidah yang disunahkan maka hukumnya sunah, jika masuk dalam kaidah yang dimakruhkan maka hukumnya makruh, dan jika masuk dalam kaidah yang dibolehkan maka hukumnya mubah.
Di antara contoh bid`ah yang wajib adalah mempelajari ilmu nahwu yang menjadi salah satu alat untuk memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya Shallallahu `alaihi wa Alihi wa Sallam. Ini hukumnya adalah wajib, karena menjaga syariat
adalah wajib, dan syariat tidak dapat dijaga kecuali dengan mengetahui ilmu tersebut. Jika suatu kewajiban tidak dapat terwujud kecuali dengan suatu sarana, maka sarana tersebut hukumnya wajib.”
Kemudian ia berkata, “Contoh bid`ah yang haram adalah mazhab mujassimah. Contoh bid`ah yang disunahkan adalah shalat tarawih. Contoh bid`ah yang makruh adalah menghiasi mushaf. Dan contoh bid’ah yang mubah adalah bersalaman setelah salat Subuh dan Ashar.”
Terdapat permasalahan lain yang hampir serupa dan mirip dengan apa yang kita bahas ini. Yaitu permasalahan mencium roti karena memuliakan nikmat Allah. Titik kesamaan antara mencium roti dengan permasalahan yang kita bahas adalah unsur memuliakan yang terkandung di dalamnya, tanpa melihat apa yang dimuliakan itu sendiri, melainkan melihat substansi yang ia wakili.

Imam Suyuti pernah ditanya tentang mencium roti, apakah hal tersebut bid’ah? Ia menjawab, “Jika mencium roti disebut bid’ah maka itu benar, akan tetapi tidak semua bid’ah hukumnya haram, melainkan terbagi menjadi lima hukum. Dan tidak
mungkin kita menghukumi perbuatan mencium roti ini sebagai perkara yang haram, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, juga tidak ada dalil yang
memakruhkannya. Karena, perkara yang dimakruhkan adalah jika terdapat larangan khusus baginya, sedangkan dalam permasalahan ini tidak ada larangan khusus baginya. Bagi saya, mencium roti adalah bid’ah yang dibolehkan. Jika
tujuannya adalah untuk memuliakannya, karena terdapat sejumlah hadis yang berisi tentang pemuliaan terhadapnya, maka itu adalah perbuatan yang baik.” (Al-Hâwî li al-Fatâwî, Vol. I, hlm. 221, Cet. Dar al-Fikr).

Al-Allamah Ibnu Abidin menukilkan secara umum hukum tentang mencium roti ini dari para ulama Mazhab Syafi`I, kemudian ia berkata, “Kaidah-kaidah mazhab kami (Mazhab Hanafi) tidak menolak hal tersebut.” (Hâsyiyah Ibni Abidin, Vol. VI, hlm. 384, Cet. Darul Kutub al-`Ilmiyyah).

Setelah penjelasan di atas, maka menjadi jelas bahwa hukum asal permasalahan yang ditanyakan adalah dibolehkan. Dan “dibolehkan” artinya boleh untuk dilakukan dan boleh juga untuk tidak dilakukan. Kemudian, ketika orang-orang
sudah terbiasa dan sudah tahu bahwa hormat bendera dan berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan menunjukkan penghormatan kepada tanah air, ekspresi rasa cinta
kepadanya, dan merupakan sarana untuk menunjukkan kedua hal tersebut, bahkan dapat mempengaruhi hubungan dengan negara-negara lain, maka hukumnya dibolehkan.

Jika hal tersebut ditambah dengan adanya anggapan umum bahwa tidak melakukan hal tersebut mengindikasikan adanya pelecehan, atau sikap tidak menghormati, juga dapat mengakibatkan permusuhan, ketegangan, perpecahan, tuduhan-
tuduhan negatif, atau kondisi-kondisi lain yang kontraproduktif dalam hubungan internasional, maka dalam kondisi ini seseorang harus berdiri saat pengibaran bendera atau saat dinyanyikan lagu kebangsaan demi menghindari hal-hal negatif
tersebut.

Di antara ulama yang menyatakan hal ini adalah Imam Syihabuddin al-Qarafi di dalam kitab al-Furûq (Vol. IV, hlm. 430, Cet. Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah), yang menukil dari Syaikh Islam al-`Izz bin Abdissalam. Dan Imam Syihabuddin al-Qarafi
menyetujui pendapat al-`Izz bin Abdissalam tersebut. Imam al-Qarafi berkata,
“Pada suatu hari saya hadir di majelis Syaikh al-`Izz bin Abdissalam. Ia adalah seorang ulama besar, sosok yang bersungguh-sungguh dalam menunaikan ajaran
agama, sangat memperhatikan maslahat kaum Muslimin yang khusus dan umum, teguh di atas Al-Qur’an dan Sunnah, tidak takut kepada para raja terlebih lagi yang lainnya, dan tidak peduli terhadap celaan orang-orang ketika menunaikan
perintah Allah. Saat itu ada sebuah permintaan fatwa diajukan kepadanya yang isinya, “Apa yang dikatakan oleh para imam –semoga Allah memberi taufik kepada mereka— tentang berdiri (untuk memberikan pernghormatan) yang dilakukan oleh
orang-orang pada zaman kita ini, padahal itu tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf, apakah itu dibolehkan? Ataukah tidak boleh dan diharamkan?” Lalu al-`Izz mengirimkan fatwa kepadanya yang isinya, “Rasulullah Shallallahu `alaihi
wa Âlihi wa Sallam bersabda,
ﻟَﺎ ﺗَﺒَﺎﻏَﻀُﻮﺍ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺤَﺎﺳَﺪُﻭﺍ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺪَﺍﺑَﺮُﻭﺍ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘَﺎﻃَﻌُﻮﺍ ﻭَﻛُﻮﻧُﻮﺍ ﻋِﺒَﺎﺩَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﺧْﻮَﺍﻧًﺎ
“Janganlah kalian saling membenci, saling mendengki, saling berpaling, dan saling memutus hubungan. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Tidak berdiri untuk menghormati orang lain pada zaman ini akan mengakibatkan terjadinya permusuhan dan kebencian, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hukumnya wajib.”

Berdasarkan penjelasan di atas, hormat bendera atau berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan adalah diperbolehkan, tidak makruh dan tidak haram sama sekali, bukan seperti yang diributkan oleh sebagian orang yang tidak berilmu.
Jika dalam acara-acara umum yang di dalamnya berdiri saat dinyanyikan lagu kebangsaan atau saat dikibarkan bendera merupakan tanda penghormatan, sedangkan tidak melakukannya dapat dianggap sebagai sikap tidak menghormati, maka dalam kondisi berdiri lebih dianjurkan. Dalam kondisi ini pula, seseorang harus berdiri untuk menghindari munculnya sebab-sebab kebencian dan
perpecahan, juga sebagai wujud dari etika yang baik dan akhlak yang mulia.

Wallahu Subhânahu wa Ta`âlâ a`lam.

Darul Ifta' al-Mishriyyah