Senin, 09 November 2015

Perbedaan al-massu (memegang) dan al-lamsu (menyentuh)

Perbedaan al-massu (memegang) dan al-lamsu (menyentuh)

1. Al-Massu: orang yang memegang, batal wudhunya, sedangkan orang yang dipegang tidak batal wudhunya.

Al-Lamsu: Baik orang yang menyentuh maupun orang yang disentuh batal wudhunya

2. Al-Massu: Redaksi ini khusus digunakan untuk memegang dengan batin (bagian dalam) telapak tangan, dan batin jari-jemari.

Al-Lamsu: Membatalkan dengan persentuhan seluruh kulit

3. Al-Massu: Tidak disyaratkan adanya perbedaan jenis kelamin.

Al-Lamsu: Disyaratkan adanya perbedaan jenis kelamin.

4. Al-Massu: Tidak disyaratkan sampainya batas usia yang dapat menimbulkan syahwat.

Al-Lamsu: Disyaratkan sampainya batas usia yang dapat menimbulkan syahwat.

5. Al-Massu: Tidak disyaratkan adanya hubungan non-mahram

Al-Lamsu: Disyaratkan adanya hubungan non-mahram

6. Al-Massu: Anggota (kelamin) yang terpisah dapat membatalkan wudhu, jika masih tetap sebutannya.

Al-Lamsu: Tidak disyaratkan tetapnya nama menurut Ibnu Hajar, namun disyaratkan menurut Imam Romli.

7. Al-Massu: Dapat terjadi meski dilakukan oleh seorang diri.

Al-Lamsu: Dapat terjadi hanya jika dilakukan oleh minimal dua orang.

8. Al-Massu: Khusus berkaitan dengan farji (Qubul dan dubur)

Al-Lamsu: Tidak khusus berkaitan dengan farji.

Demikian dari kitab at-Taqriirootus Sadiidah.

Sabtu, 07 November 2015

Keshahihan Atsar Imam Thawus dan Fatwa Ulama

Riwayat Pertama
فَائِدَة رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ صَحِيْح وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ (الديباج على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
“Ahmad meriwayatkan dalam kitab Zuhud dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa ‘sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut’. Sanad riwayat ini sahih dan berstatus hadis marfu’.” (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)
Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa atsar tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama Ahli Hadis:
(المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم الاصبهاني ج 4 / 11  وصفة الصفوة لأبي الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20 والبداية والنهاية لابن كثير 9 / 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني 12 / 277)

 (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya’ IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu Katsir (murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah IX/270, Ibnu Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)

Sejauh yang saya ketahui belum ditemukan penilaian dlaif dari para ulama tersebut, kecuali dari segelintir orang belakangan ini.

Riwayat Kedua
 وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْح أَيْضًا (الديباج على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
“Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab al-Mushannaf dari Ubaid bin Amir bahwa ‘orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari, dan orang munafik selama 40 hari’. Sanadnya juga sahih.” (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)

Siapakah Ubaid diatas? Al-Hafidz as-Suyuthi menjelaskan:
قَالَ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ صَاحِبُ الصَّحِيْحِ إِنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غَيْرُهُ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَى هَذَا يَكُوْنُ صَحَابِيًّا (الحاوي للفتاوي للسيوطي – ج 3 / ص 267)
“Muslim bin Hajjaj pengarang kitab Sahih berkata bahwa Ubaid bin Umair dilahirkan di masa Nabi Saw. Yang lain berkata bahwa Ubaid melihat Rasulullah Saw. Dengan demikian Ubaid adalah seorang sahabat” (al-Hawi li al-Fatawi 3/267)

Riwayat Ketiga
وَقَدْ رُوِىَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ الْمَوْتَى كَانُوْا يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامَ (أهوال القبور – ج 1 / ص 19)
“Sungguh telah diriwayatkan dari Mujahid bahwa sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut” (al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali, Ahwal al-Qubur 1/19)

Riwayat Atsar diatas telah dikaji oleh ulama Madzhab Syafii yang bernama Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, beliau menilai sahih dan menfatwakannya. Berikut fatwa beliau:

( وَسُئِلَ ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ أَيْ يُسْأَلُونَ كَمَا أَطْبَقَ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هَلْ لَهُ أَصْلٌ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ أَصِيلٌ فَقَدْ أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عَنْ طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْ طَاوُسِ فِي التَّابِعِينَ بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ وَمُجَاهِدٍ وَحُكْمُ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ مَا لَا يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا جَاءَ عَنْ تَابِعِيٍّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ وَكَذَا عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ وَقَدْ اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ بِالْمُرْسَلَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ كَانَ مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِقَوْلِهِ الْآتِي عَنْ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إلَخْ لِمَا يَأْتِي أَنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ وَفِي بَعْضِ تِلْكَ الرِّوَايَاتِ زِيَادَةُ إنَّ الْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ عَنْ طَاوُسِ أَيْضًا أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ وَهَذَا مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِيِّ كَانُوا يَفْعَلُونَ وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِ : أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَيْضًا مِنْ بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ بَابِ الْعَزْوِ إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى هَذَا قِيلَ إنَّهُ إخْبَارٌ عَنْ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ فَيَكُونُ نَقْلًا لِلْإِجْمَاعِ وَقِيلَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَقَالَ الرَّافِعِيُّ مِثْلُ هَذَا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ كَانَ مَشْهُورًا فِي ذَلِكَ الْعَهْدِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ ثُمَّ مَا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ عَنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْفِتْنَةِ سُؤَالُ الْمَلَكَيْنِ صَحِيحٌ .
 فَإِنْ قُلْت لِمَ كَرَّرَ الْإِطْعَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ دُونَ التَّلْقِينِ قُلْت لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْإِطْعَامِ مُتَعَدِّيَةٌ وَفَائِدَتُهُ لِلْمَيِّتِ أَعْلَى إذْ الْإِطْعَامُ عَنْ الْمَيِّتِ صَدَقَةٌ وَهِيَ تُسَنُّ عَنْهُ إجْمَاعًا وَالتَّلْقِينُ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ عِنْدَنَا خِلَافَهُ لِمَجِيءِ الْحَدِيثِ بِهِ وَالضَّعِيفُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ . (الفتاوى الفقهية الكبرى  – ج 3 / ص 193)

“Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami ditanya, semoga Allah melapangkannya semasa hidupnya, dengan sebuah pertanyaan bahwa: Orang-orang yang mati mendapat ujian di alam kuburnya, yaitu mereka ditanya sebagaimana dikatakan oleh para ulama, selama 7 hari. Apakah hal tersebut memiliki dasar?
Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami menjawab: “Ya, hal itu memiliki dasar yang kuat. Sebab segolongan ulama telah meriwayatkan dari Thawus dengan sanad yang sahih dan Ubaid bin Umair dengan sanda yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Abdil Barr, Ubaid lebih senior daripada Thawus dalam Tabiin, bahkan dikatakan bahwa Ubaid adalah sahabat, karena Ubaid dilahirkan di masa Nabi Saw dan di sebagian masa Umar di Makkah, dan riwayat dari Mujahid. Hukum ketiga riwayat (Thawus, Ubaid bin Umair dan Mujahid) tersebut adalah Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Sebab jika ada sesuatu yang bukan berdasarkan pendapat jika disampaikan oleh seorang Tabiin maka berstatus hukum Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw, seperti yang disampaikan oleh para imam di bidang hadis. Sedangkan riwayat Mursal adalah hujjah menurut 3 imam (Hanafi, Maliki dan Hanbali), juga menurut kita (Syafiiyah) jika dikuatkan riwayat lain. Dan sungguh riwayat Thawus ini dikuatkan oleh 2 riwayat mursal lainnya (Ubaid bin Umair dan Mujahid). Bahkan jika kita berpendapat dengan keabsahan status sahabat Ubaid bin Umair maka riwayat tersebut bersambung kepada Rasulullah Saw, dan dengan perkataannya berikut dari sahabat: “Mereka senang….” Disebabkan bahwa hukum riwayat tersebut adalah Marfu’, dengan terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam sebagian riwayat ada tambahan “Orang munafiq diuji selama 40 pagi hari”. Oleh karena itu telah sah dari Thawus pula bahwa mereka menganjurkan memberi sedekah makanan dari mayit selama 7 hari tersebut. Ini adalah ucapan seorang Tabiin “Mereka melakukan”, di dalamnya ada 2 pendapat menurut ahli hadis dan Ushul Fikh: Pertama sebagai riwayat Marfu’ yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Maksudnya para sahabat melakukan hal itu di masa Rasulullah Saw, Nabi mengetahuinya dan menyetujuinya. Kedua, dinisbatkan pada sahabat, tidak sampai hingga Rasulullah Saw. Menurut pendapat kedua ini maka yang disampaikan Thawus adalah informasi dari semua sahabat. Maka Thawus mengutip Ijma’ para sahabat. Ada yang mengatakan dari sebagian sahabat, seperti dikuatkan oleh an-Nawawi dalam Syarah Muslim. Ar-Rafii berkata: Riwayat seperti ini sudah popular di masa itu tanpa pengingkaran. Kemudian apa yang disebut dalam ujian dari para ulama, yang dimaksud dengan soal adalah pertanyaan malaikat, adalah sahih…. Jika ada yang mengatakan mengapa yang diulang-ulang adalah sedekah makanan 7 hari bukan Talqin? Saya menjawab: Sebab kemaslahatan memberi sedekah makanan berdampak lebih luas, dan manfaatnya bagi mayit lebih tinggi. Sebab memberi makan untuk mayit adalah sedekah, dan sedekah atas nama mayit adalah sunah, sesuai ijma’ ulama. Sedangkan Talqin menurut kebanyakan ulama adalah bid’ah, meski pendapat yang lebih kuat menurut kita (Syafiiyah) bukan bid’ah, karena berdasarkan hadis, dan hadis dlaif boleh diamalkan dalam keutamaan amal” (Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 3/193)

Fatwa Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki


Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, pengarang kitab Inarat al-Duja, memberi jawaban atas pertanyaan tentang kebiasaan di Jawa saat takziyah dan tahlil pada hari-hari tertentu, bahwa tradisi semacam itu bisa menjadi bid’ah yang diharamkan jika bertujuan untuk meratapi mayit, dan jika tidak bertujuan seperti itu dan tidak mengandung unsur haram lainnya, maka masuk kategori bid’ah yang diperbolehkan. Di akhir fatwa beliau berkata:

اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ لاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ “اصْنَعُوْا لاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا” وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ (بلوغ الامنية بفتاوى النوازل العصرية مع انارة الدجى شرح نظم تنوير الحجا 215-219)

“Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far’ dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk  orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman” (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)

Wallahu a'lam

Waktu-waktu yang dilarang untuk sholat dan Pengecualiannya

Haram atau makruh tahrim mengerjakan shalat -kecuali sholat yang mempunyai sebab dan shalat di tanah suci Mekah - pada lima waktu.
Hadits yang menjelaskan bolehnya shalat di tanah suci tanpa dibatasi waktu yaitu
"Wahai Bani Abdu Manaf, janganlah melarang orang yang hendak thawaf di Baitullah ini, atau sholat kapan saja, malam atau siang hari."
(HR. Imam Tirmidzi dan periwayat lainnya. Menurutnya, hadits ini Hasan Shahih).

Shalat yang mempunyai sebab itu seperti mengqadha shalat yang tertinggal, baik fardhu maupun sunnah, meskipun mengqadha shalat sunnah menjadi rutinitas (wirid) mengingat sebabnya telah lebih dulu. Hal ini diperkuat oleh Sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam:
"Kafaratnya orang yang meninggalkan shalat ialah menunaikannya ketika dia ingat."
(HR. Bukhari-Muslim dan lainnya dari Anas bin Malik).
Dan hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam pernah shalat setelah 'Asar dua rokaat, lalu beliau bersabda, " Dua rokaat tersebut adalah dua rokaat sholat sunnah setelah Dhuhur." Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam selalu mengerjakannya (dua rokaat setelah Dhuhur) sampai wafat.

Contoh shalat yang mempunyai sebab lebih dulu yaitu shalat Kusuf (Gerhana), Istisqa'(Memohon Hujan), Tahiyatul Masjid, Sunah Wudhu, Sujud Syukur, dan Sujud Tilawah. Sedangkan sholat sunnah yang mempunyai sebab yang bersamaan yaitu dua rokaat thawaf, shalat jenazah, dan shalat istisqa'. Dalam ash-Shahihain disebutkan tentang taubatnya Ka'ab bin Malik, bahwa dia (Ka'ab) bersujud syukur setelah sholat subuh sebelum matahari terbit.

Diceritakan pula dalam Hadis Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Bilal Radhiyallahu 'anhu, "Wahai Bilal, ceritakan padaku, perbuatan apa yang telah engkau kerjakan dalam Islam hingga aku mendengar langkah sandalmu di surga?
Bilal Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Saya tidak melakukan perbuatan yang lebih saya harapkan selain jika saya selesai wudhu, baik pada malam atau siang hari, maka saya shalat sebagaimana ditetapkan kepada saya."

Adapun shalat yang mempunyai sebab terakhir yaitu seperti dua rokaat istikharah dan shalat sunnah ihram. Shalat seperti ini jika dilakukan pada waktu makruh, hukumnya tidak sah, seperti halnya shalat yang tidak mempunyai sebab.

Kelima waktu yang diharamkan atau makruh tahrim menunaikan shalat adalah
sebagai berikut:
1. Waktu matahari terbit sampai naik setinggi tombak.
2. Waktu Istiwa' atau zawal (matahari tergelincir sebelum masuk waktu Dhuhur) kecuali pada hari Jum'at sampai waktu ini berlalu.
3. Waktu matahari berwarna kekuning-kuningan sampai matahari terbenam, baik sudah melaksanakan Shalat 'Asar maupun belum.
4. Waktu setelah shalat subuh sampai matahari naik setinggi tombak dalam pandangan mata. Karena ada larangan shalat sunnah setelah dua rokaat shalat subuh dan setelah ishfirar (sinar matahari kekuning-kuningan menjelang terbenam) yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
5. Setelah shalat Asar sampai matahari terbenam.

Dalil pengharaman shalat sunnah ketika matahari terbit, terbenam, dan waktu istiwa' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari 'Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'Anhu,"Ada tiga waktu dimana kami dilarang shalat oleh Rasulullah pada waktu tersebut atau dilarang mengubur jenazah pada waktu itu, yaitu; saat matahari terbit hingga meninggi, ketika unta yang sedang menderum bangkit dari tempatnya karena terik matahari (waktu istiwa') hingga matahari tergelincir, dan ketika matahari menjelang terbenam."
Adapun pengecualian shalat jumat mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan periwayat lainnya.
Dalil pengharaman shalat setelah shalat 'Asar sampai matahari terbenam, dan setelah sinar matahari kekuning-kuningan yaitu seperti hadits tentang pelarangan shalat dua rakaat setelah shalat subuh yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Rodhiyallahu 'anhu.

Demikian dari kitab al-Fiqh asy-Syafi'i al-Muyassar.

Tradisi hujan-hujanan

Hujan-hujanan adalah membiarkan tubuh terkena air hujan. Di Madiun, disebut Oca-Oce, sedangkan di tanah Pasundan disebut Huhujanan.

Tradisi ini entah siapa yang memulai pada kali pertama, entah karena keriangan ketika turunnya hujan, atau entah karena motif yang lain.

Namun, sebagai sandaran bagi kita bahwa dalam kitab Hadis ada sebuah riwayat dengan isnad shahih begini:

وحدثنا يحيى بن يحيى، أخبرنا جعفر بن سليمان، عن ثابت البناني، عن أنس، قال: قال أنس: أصابنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم مطر، قال: فحسر رسول الله صلى الله عليه وسلم ثوبه، حتى أصابه من المطر، فقلنا: يا رسول الله لم صنعت هذا؟ قال: «لأنه حديث عهد بربه تعالى

"Dan Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Ja'far bin Sulaiman, dari Tsabit Al Bunani, dari Anas, ia berkata; Kami diguyur hujan ketika bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau membuka pakaiannya sehingga terkena hujan, lalu kami pun bertanya, ""Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan hal itu?"" beliau menjawab: ""Karena hujan ini merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah ta'ala."

(HR. MUSLIM)

Begitu pula dalam kitab-kitab hadis lain, misalnya:
Musnad Ahmad no. 12365 dan no. 13820;
Sunan Abu Dawud no. 5100;
Sunan al-Kubro lin Nasa-i no. 1850;
Shahih Ibnu Hibban no. 6135;
Al-Mustadrok 'alash shohihain no. 7768;
Hilyatul Auliya juz. 6, hal. 291 - 292;
Ma'rifatus sunan wal Atsar no. 7231

Berdasar hadis ini, Ulama pakar fiqh dan pensyarah hadis, yakni Imam Nawawi menjelaskan bahwa:

هذا الحديث دليل لقول أصحابنا أنه يستحب عند أول المطر أن يكشف غير عورته ليناله المطر

Hadis ini merupakan dalil bagi qoul (pendapat) Ashab kami (para ulama madzhab Syafii) bahwa disunnahkan ketika turun hujan pada kali pertama untuk membuka selain auratnya agar terkena air hujan.
(Syarah Muslim lin Nawawi juz 6, hal. 196)

السنة أن يكشف بعض بدنه ليصيبه أول المطر للحديث السابق والمراد أول مطر يقع في السنة كذا نص عليه الشافعي وقاله الأصحاب
Yang disunnahkan adalah membuka sebagian badan agar hujan pertama mengenainya berdasar hadis yang lalu. Maksud hujan pertama adalah hujan yang turun pertama dalam tahun itu. Demikian ini,  terdapat nash dari Imam Syafii dan Ashab berpendapat dengannya.

 قال سليم الرازي والشيخ نصر المقدسي وصاحب العدة يستحب إذا جاء المطر في أول السنة أن يخرج الإنسان إليه ويكشف ما عدا عورته ليصيبه منه ولفظ الشافعي في اول مطرة وكذا لفظ المحاملي وصاحب الشامل والباقين وذكر الشافعي في الأم عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال لغلامه وقد مطرت السماء " أخرج فراشي ورحلي يصيبه المطر فقيل له لم تفعل هذا فقال أما تقرأ كتاب الله ونزلنا من السماء ماء مباركا فأحب أن تصيب البركة فراشي ورحلي.

Sulaim ar-Rozy, Syekh Nashr al-Maqdisi, dan pengarang kitab 'Uddah berpendapat bahwa disunnahkan ketika hujan turun di permulaan tahun agar orang-orang keluar dan menyingkap selain auratnya agar terbasahi dari air hujan.

Redaksi Imam Syafii, Imam al-Mahamily, pengarang kitab Asy-Syamil, dan selainnya adalah di awal curah hujan.

Imam Syafii menuturkan dalam kitab al-Umm sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhumaa bahwa beliau berkata pada pelayannnya ketika langit telah menurunkan hujan,"Keluarkan tempat tidurku dan pelanaku agar terkena hujan".
Maka, pelayan itu bertanya pada beliau,"Kenapa Anda melakukan ini?"
Beliau menjawab,"Apakah kau tidak membaca al-Quran (sebuah ayat yang artinya),"Dan kami turunkan dari langit air yang barokah"? (QS. al-Qaf: 9). Karena itulah, Aku senang jika mengalirkan keberkahan pada tempat tidur dan pelanaku.

(al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab Juz 5, hal. 93)

Dengan demikian, tradisi ini memiliki dasar hukum baik dari fiqh, atsar, maupun hadis.

Wallahu a'lam