Jumat, 15 Januari 2016

Tujuan dan Hikmah Jihad

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti beliau.

Dalam Bahasa Arab, kata “jihâd” berasal dari fi`il rubâ`i (kata kerja yang terdiri dari empat huruf), dengan wazan fi`âl yang hanya terjadi antara dua orang. Fi`il tsulâtsi (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf) dari kata jihâd adalah jahada, dari kata al-jahdu dan al-juhdu yang artinya kekuatan. Sebagian pakar bahasa Arab berpendapat bahwa al-jahdu berarti kesulitan, sedangkan al-juhdu adalah kekuatan. Al-Laits bin Sa’ad berkata, “Al-jahdu adalah sakit atau perkara sulit yang menimpa seseorang, sehingga ia disebut orang yang majhûd (mengalami
kesulitan). Dan al-juhdu secara bahasa mempunyai makna yang sama.

Adapun jihâd, maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan kemampuan dalam perperangan, ucapan, atau segala sesuatu yang mampu dilakukan. Sedangkan kalimat “jâhada al-`aduwwa, mujâhadatan wa jihâd”, artinya adalah memerangi musuh dan berjihad fi sabilillah.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallâhu `anhumâ, Rasulullah shallallâhu `alaihi wa sallam bersabda;
ﻻَ ﻫِﺠْﺮَﺓَ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻔَﺘْﺢِ، ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﺟِﻬَﺎﺩٌ ﻭَﻧِﻴَّﺔٌ
“Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, akan tetapi yang masih ada adalah jihad dan niat.”
Jadi jihad adalah memerangi musuh. Dan kata “jihad” artinya adalah bersungguh-sungguh dalam mencurahkan segala kemampuan, berupa ucapan atau perbuatan.

Adapun maksud dari “niat” di dalam hadis di atas adalah keikhlasan beramal untuk Allah. Sehingga maknanya adalah bahwa setelah Fathu Makkah tidak ada lagi hijrah, karena Mekkah telah menjadi Dar al-Islam, sedangkan yang tersisa adalah keikhlasan dalam berjihad dan memerangi orang-orang kafir. (Lisan al-Arab, Vol. IX, hlm. 708, Cet. Dar al-Ma`ârif).

Jihad dalam definisi syariat adalah mencurahkan segala kemampuan dan kekuatan untuk berperang fi sabilillah dengan jiwa, harta, lisan atau yang lainnya. Seperti mempersiapkan makanan dan minuman, juga mengobati orang yang terluka.” (Badâ’i` al-Shanâ’i` karya al-Kasani, Vol. VII, hlm. 97, Cet. Dar al-
Kutub al-`Ilmiyyah).

Tujuan jihad adalah “Fi Sabilillah”
Hal ini seperti disebutkan di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ﻓَﻠْﻴُﻘَﺎﺗِﻞْ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺸْﺮُﻭﻥَ ﺍﻟﺤَﻴَﺎﺓَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺑِﺎﻵَﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻘَﺎﺗِﻞْ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻴُﻘْﺘَﻞْ ﺃَﻭْ ﻳَﻐْﻠِﺐْ ﻓَﺴَﻮْﻑَ ﻧُﺆْﺗِﻴﻪِ
ﺃَﺟْﺮًﺍ ﻋَﻈِﻴﻤًﺎ . ‏[ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ 74: ]
“Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan
kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisâ’: 74).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala;
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟﻤُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ ﻳَﺮْﺗَﺎﺑُﻮﺍ ﻭَﺟَﺎﻫَﺪُﻭﺍ ﺑِﺄَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ ﻭَﺃَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻫُﻢُ
ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻗُﻮﻥَ . ‏[ ﺍﻟﺤﺠﺮﺍت15: ].
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurât: 15).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala;
ﻭَﻣَﺎ ﻟَﻜُﻢْ ﻟَﺎ ﺗُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟﻤُﺴْﺘَﻀْﻌَﻔِﻴﻦَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝِ ﻭَﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟﻮِﻟْﺪَﺍﻥِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺃَﺧْﺮِﺟْﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﻘَﺮْﻳَﺔِ
ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻢِ ﺃَﻫْﻠُﻬَﺎ ﻭَﺍﺟْﻌَﻞ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﻟَﺪُﻧْﻚَ ﻭَﻟِﻴًّﺎ ﻭَﺍﺟْﻌَﻞ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﻟَﺪُﻧْﻚَ ﻧَﺼِﻴﺮًﺍ . ‏[ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ : 75 ].
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!". (An-Niâ’: 75).
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ;
ﻭَﻗَﺎﺗِﻠُﻮﻫُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﻭَﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﻟﻠﻪِ ﻓَﺈِﻥِ ﺍﻧْﺘَﻬَﻮْﺍ ﻓَﻠَﺎ ﻋُﺪْﻭَﺍﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ . ‏[ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 193 ].
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim.” (Al-Baqarah: 193).
Maksud dari “Sabilillah” dalam ayat-ayat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari Rhodhiyallahu 'anhu, ia berkata;
ﺟَﺎﺀَ ﺭَﺟُﻞٌ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻟِﻠْﻤَﻐْﻨَﻢِ، ﻭَﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻟِﻠﺬِّﻛْﺮِ، ﻭَﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻳُﻘَﺎﺗِﻞُ ﻟَﻴُﺮَﻯ ﻣَﻜَﺎﻧُﻪُ،
ﻓَﻤَﻦْ ﻓِﻲْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ؟
“Seorang lelaki mendatangi Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam dan bertanya, “Ada orang yang berperang untuk mendapatkan ganimah, ada yang berperang untuk mendapatkan pujian, ada
juga yang berperang agar orang-orang melihat posisinya. Lalu siapakah yang berperang fi sabilillah?” Beliau menjawab;
ﻣَﻦْ ﻗَﺎﺗَﻞَ ﻟِﺘَﻜُﻮْﻥَ ﻛَﻠِﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻫِﻲَ ﺍﻟْﻌُﻠْﻴَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲْ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ
“Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia fi sabilillah.”
Maksud dari kalimat Allah dalam hadis di atas adalah Islam, berdakwah kepadanya, menyebarkan kebenaran dan keadilan, serta menolak kezaliman dan kejahatan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
ﺃُﺫِﻥَ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻘَﺎﺗَﻠُﻮﻥَ ﺑِﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﻇُﻠِﻤُﻮﺍ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺼْﺮِﻫِﻢْ ﻟَﻘَﺪِﻳﺮٌ * ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﺧْﺮِﺟُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺩِﻳَﺎﺭِﻫِﻢْ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺣَﻖٍّ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺭَﺑُّﻨَﺎ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻟَﻮْﻟَﺎ ﺩَﻓْﻊُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﺑِﺒَﻌْﺾٍ ﻟَﻬُﺪِّﻣَﺖْ ﺻَﻮَﺍﻣِﻊُ ﻭَﺑِﻴَﻊٌ ﻭَﺻَﻠَﻮَﺍﺕٌ ﻭَﻣَﺴَﺎﺟِﺪُ ﻳُﺬْﻛَﺮُ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺍﺳْﻢُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ﻭَﻟَﻴَﻨْﺼُﺮَﻥَّ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻣَﻦْ ﻳَﻨْﺼُﺮُﻩُ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﻘَﻮِﻱٌّ ﻋَﺰِﻳﺰٌ . ‏[ﺍﻟﺤﺞ : 40-39 ].
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha
Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hajj: 39-40).
Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa berperang adalah untuk menolak kezaliman, dan agar tempat-tempat ibadah yang didirikan tidak dihancurkan, sehingga tidak terjadi kekacauan. Karena, agama secara keseluruhan adalah milik
Allah.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
ﻭَﻗَﺎﺗِﻠُﻮﻫُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﺎ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﻓِﺘْﻨَﺔٌ ﻭَﻳَﻜُﻮﻥَ ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﻟﻠﻪِ ﻓَﺈِﻥِ ﺍﻧْﺘَﻬَﻮْﺍ ﻓَﻠَﺎ ﻋُﺪْﻭَﺍﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴﻦَ . ‏[ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 193 ].
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang
yang zalim.” (Al-Baqarah: 193).

Tujuan jihad yang lainnya adalah menolak kezaliman musuh. Allah berfirman,
ﻭَﻗَﺎﺗِﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻧَﻜُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺪُﻭﺍ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﺎ ﻳُﺤِﺐُّ ﺍﻟﻤُﻌْﺘَﺪِﻳﻦَ ‏(190‏) ﻭَﺍﻗْﺘُﻠُﻮﻫُﻢْ ﺣَﻴْﺚُ ﺛَﻘِﻔْﺘُﻤُﻮﻫُﻢْ
ﻭَﺃَﺧْﺮِﺟُﻮﻫُﻢْ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﺃَﺧْﺮَﺟُﻮﻛُﻢْ ﻭَﺍﻟﻔِﺘْﻨَﺔُ ﺃَﺷَﺪُّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻘَﺘْﻞِ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻫُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺍﻟﺤَﺮَﺍﻡِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻛُﻢْ ﻓِﻴﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺎﺗَﻠُﻮﻛُﻢْ
ﻓَﺎﻗْﺘُﻠُﻮﻫُﻢْ ﻛَﺬَﻟِﻚَ ﺟَﺰَﺍﺀُ ﺍﻟﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ‏(191‏) ﻓَﺈِﻥِ ﺍﻧْﺘَﻬَﻮْﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻏَﻔُﻮﺭٌ ﺭَﺣِﻴﻢٌ ‏(192‏) . ‏[ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 192-190 ].
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu
jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.

Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 190-192).

Allah juga berfirman;
ﻭَﺇِﻥْ ﻧَﻜَﺜُﻮﺍ ﺃَﻳْﻤَﺎﻧَﻬُﻢْ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻋَﻬْﺪِﻫِﻢْ ﻭَﻃَﻌَﻨُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺩِﻳﻨِﻜُﻢْ ﻓَﻘَﺎﺗِﻠُﻮﺍ ﺃَﺋِﻤَّﺔَ ﺍﻟﻜُﻔْﺮِ ﺇِﻧَّﻬُﻢْ ﻟَﺎ ﺃَﻳْﻤَﺎﻥَ ﻟَﻬُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻬُﻢْ ﻳَﻨْﺘَﻬُﻮﻥَ ‏( 12‏) ﺃَﻟَﺎ
ﺗُﻘَﺎﺗِﻠُﻮﻥَ ﻗَﻮْﻣًﺎ ﻧَﻜَﺜُﻮﺍ ﺃَﻳْﻤَﺎﻧَﻬُﻢْ ﻭَﻫَﻤُّﻮﺍ ﺑِﺈِﺧْﺮَﺍﺝِ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﻭَﻫُﻢْ ﺑَﺪَﺀُﻭﻛُﻢْ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺮَّﺓٍ ﺃَﺗَﺨْﺸَﻮْﻧَﻬُﻢْ ﻓَﺎﻟﻠﻪُ ﺃَﺣَﻖُّ ﺃَﻥْ ﺗَﺨْﺸَﻮْﻩُ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ
ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ‏(13‏) . ‏[ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ : 13-12 ].
“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?
Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (At-Taubah: 12-13).
Syaikh Mahmud Syaltut berkata, “Sesungguhnya ayat-ayat tentang peperangan menunjukkan bahwa sebab diperintahkannya peperangan adalah untuk menolak
kejahatan musuh, melindungi dakwah dan kebebasan beragama. Hanya dalam lingkup inilah Allah mensyariatkan peperangan.” (al-Qur’ân wa al-Qitâl, hlm. 89, Cet. Dar al-Fath).

Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkata, “Motif dari berperang dalam Islam ada dua; menolak kezaliman musuh dan melindungi dakwah. Setiap nilai etika yang beradab
juga senantiasa mengarah kepada pembelaan terhadap kebebasan. Penyeru prinsip ini sangat menginginkan agar semua orang dapat menerimanya, bahwa setiap orang bebas memilih apa yang diyakininya, bebas memilih mazhab yang ia pandang benar, juga bebas memilih apa yang lebih sesuai dengan akal pikirannya. Dan Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam berperang untuk kedua tujuan ini (menolak kezaliman dan melindungi dakwah).” (al-`Ilâqah al-Dauliyyah fi al-Islam, hlm. 98, Cet. Dar al-Fikr al-`Arabi).

Adapun hikmah dari jihad adalah untuk menegakkan prinsip-prinsip kebaikan, keadilan, rahmat dan tauhid. Jika kita perhatikan, kata “sabilillah” dalam Al-
Qur’an dan Sunnah terfokus pada tauhid pada ranah akidah, terfokus pada rahmat (kasih sayang) pada ranah akhlak, dan terfokus pada keadilan pada ranah
penetapan hukum syariat.
Dalam ranah akidah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻠِﻚَ ﻣِﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝٍ ﺇِﻟَّﺎ ﻧُﻮﺣِﻲ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻧَﺎ ﻓَﺎﻋْﺒُﺪُﻭﻥِ . ‏[ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ 25: ].
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (Al-Anbiyâ’: 25).
Dalam ranah pensyariatan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﺄْﻣُﺮُ ﺑِﺎﻟﻌَﺪْﻝِ ﻭَﺍﻹِﺣْﺴَﺎﻥِ ﻭَﺇِﻳﺘَﺎﺀِ ﺫِﻱ ﺍﻟﻘُﺮْﺑَﻰ ﻭَﻳَﻨْﻬَﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻔَﺤْﺸَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟﻤُﻨْﻜَﺮِ ﻭَﺍﻟﺒَﻐْﻲِ ﻳَﻌِﻈُﻜُﻢْ ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻭﻥَ .
‏[ ﺍﻟﻨﺤﻞ 90: ].
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An-Nahl: 90).
Ketika berbicara tentang karakter umum dari risalah Islam, Allah berfirman;
﴿ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎﻙَ ﺇِﻟَّﺎ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻌَﺎﻟَﻤِﻴﻦَ﴾ ‏[ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ 107: ]،
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiyâ’: 107).
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam juga menyebutkan secara khusus tentang tujuan dari risalahnya,
dalam sabda beliau;
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺑُﻌِﺜْﺖُ ﻟِﺄُﺗَﻤِّﻢَ ﻣَﻜَﺎﺭِﻡَ ﺍﻟْﺄَﺧْﻠَﺎﻕِ .
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad dan al-Hakim, dan ini adalah lafal al-Hakim).
Sejumlah ayat dan hadis di atas menjelaskan kepada kita tentang tujuan dan hikmah disyariatkannya jihad.

Wa shallallahu ‘ala sayyidinâ Muhammadin wa ‘alâ âlihi wa shahbihi wa sallim.

Wallahu subhânahu wata’âlâ a’lam.

Diterjemahkan dari Fatwa Darul Ifta' al-Mishriyyah

Selasa, 15 Desember 2015

Rintihan Rindu Pohon Kurma



حدثنا عفان، أخبرنا حماد، عن عمار بن أبي عمار، عن ابن عباس: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم، كان  يخطب إلى جذع قبل أن يتخذ المنبر، فلما اتخذ المنبر وتحول إليه، حن عليه، فأتاه فاحتضنه فسكن، قال: " لو لم أحتضنه، لحن إلى يوم القيامة

Telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah mengabarkan kepada kami Hammad, dari Ammar bin Abu Ammar, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah dengan bersandar pada batang kurma sebelum beliau membuat mimbar, setelah membuat mimbar beliau berpindah kepadanya, tetapi (batang kurma) itu merintih, maka beliau menghampirinya dan menenangkannya. Beliau pun bersabda: ""Seandainya aku tidak menenangkannya tentulah ia akan terus merintih hingga hari kiamat."

حدثنا عفان، حدثنا حماد، عن ثابت، عن أنس، عن النبي صلى الله عليه وسلم، مثله

Telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Tsabit, dari Anas, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (dengan redaksi) seperti itu.

(HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya)

Riwayat Hadis semisal yang pertama juga dikeluarkan oleh  ad-Darimi, Ibnu Majah, at-Thobaroni dan al-Baihaqi.
Adapun semisal yang kedua juga dikeluarkan oleh ad-Darimi, Ibnu Majah, dan Abu Ya'la.

Ketika mengomentari ini, Imam Syafii berkata:
عن عمرو بن سواد عن الشافعي ما أعطى الله نبيا ما أعطى محمدا فقلت أعطى عيسى إحياء الموتى قال أعطى محمدا حنين الجذع حتى سمع صوته فهذا أكبر من ذلك

Dari 'Amr bin Sawad dari Imam Syafii:
Allah tidak memberikan (mukjizat) pada seorang Nabi pun mukjizat yang diberikan pada Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wasallam.
Lantas, Aku berkata pada beliau: Allah memberikan Nabi Isa mukjizat menghidupkan orang yang mati.
Beliau pun menjawab: Allah memberikan mukjizat Nabi Muhammad berupa rintihan pohon kurma hingga terdengar suaranya. Tentu mukjizat yang ini lebih besar dari mukjizat yang diberikan pada Nabi Isa.
(Fathul Bari 6/603, perhatikan juga Dalilul Falihin 8/654, al-Bidayah wan Nihayah 6/145, 6/289, 6/308, Dalailun nubuwah 6/68, dsb masih banyaklagi)

Begitu pula Imam al-Hasan al-Bashri ketika menceritakan hadis ini beliau menangis, dan berkata:

يا معشر المسلمين الخشبة تحن إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم شوقا إلى لقائه، وأنتم أحق أن تشتاقوا إليه.
Wahai kaum muslimin, pohon kurma saja merintih karena rindu untuk bertemu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam. Tentunya kalian lebih berhak untuk merindukan beliau.

(Mu'jamul ausath 2/108, Dalailun nubuwah 2/559, al-Ahaadits al-Mukhtaroh 5/230, al-Bidayah wan Nihayah 3/266, Fathul Bari 6/602, Dalilul Falihin 8/654)

Wallahu a'lam

Senin, 14 Desember 2015

Apa hukum merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam?

Dewan Fatwa Darul Ifta al-Mishriyyah menjawab:

Kelahiran Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam merupakan rahmat Allah yang terus mengalir bagi seluruh manusia. Alquran menggambarkan keberadaan Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam sebagai "rahmatan lil 'alamîn" (rahmat bagi semesta alam). Beliau merupakan
rahmat tak bertepi yang mencakup semua sisi kehidupan, baik tarbiyah (pendidikan), tazkiyah (penyucian hati), pengajaran dan pemberian hidayah bagi manusia kepada jalan yang lurus. Semua itu mencakup aspek materi dan immateri dalam kehidupan manusia. Rahmat ini juga tidak terbatas pada manusia di zaman beliau saja, akan tetapi juga terus berkelanjutan kepada seluruh manusia sepanjang masa. Allah berfirman:

وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا۟ بِهِمْ ۚ

"Dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka." (Al-Jumu'ah: 3).

Merayakan peringatan maulid Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam –sang penghulu dua alam; alam nyata dan alam ghaib, penutup para nabi dan rasul, nabi pembawa rahmat dan penolong umat— adalah salah satu amalan yang paling baik dan ibadah yang paling agung. Karena, perayaan ini merupakan ungkapan rasa gembira dan cinta kepada beliau, dan kecintaan kepada beliau merupakan salah satu pondasi dari keimanan.

Diriwayatkan dalam hadis shahih bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ﻻَ ﻳُﺆْﻣِﻦُ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻛُﻮْﻥَ ﺃَﺣَﺐَّ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻭَﺍﻟِﺪِﻩِ ﻭَﻭَﻟِﺪِﻩِ ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﺟْﻤَﻌِﻴْﻦَ

"Tidak beriman seseorang diantara kalian sehingga menjadikan diriku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia ." (HR. Bukhari).

Ibnu Rajab berkata, "Mencintai Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam adalah salah satu pondasi keimanan. Kecintaan itu berjalan beriringan dengan kecintaan kepada Allah 'azza wa jalla. Allah telah menyebutkan kecintaan kepada Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam berbarengan dengan kecintaan kepada-Nya. Allah pun mengancam orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada segala sesuatu yang dicintainya secara alami — seperti keluarga, harta, tanah air dan lain sebagainya— dari kecintaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ ﴿٢٤﴾

"Katakanlah: "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya ." (At-Taubah: 24).

Ketika Umar berkata kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih saya cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku." Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya,
ﻻَ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﻔْﺴِﻲْ ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﻛُﻮْﻥَ ﺃَﺣَﺐَّ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻣِﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻚَ
"Tidak. Demi Allah, sampai engkau menjadikan diriku lebih kau cintai dari pada dirimu sendiri ."
Maka Umar pun berkata, "Demi Allah, sesungguhnya sekarang engkau lebih saya cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi saw. pun bersabda kepadanya, "Sekarang engkau telah mengetahuinya wahai Umar ." (HR. Bukhari).

Memperingati maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam merupakan bentuk penghormatan kepada beliau. Dan menghormati Nabi shollallahu 'alaihi wasallam merupakan amalan yang mutlak dianjurkan, karena ia merupakan pondasi dan asas utama dalam akidah Islam. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui derajat kemuliaan Nabi-Nya, sehingga Dia memberitahukan kepada seluruh alam mengenai namanya, pengutusannya serta derajat dan martabatnya. Seluruh
semesta pun senantiasa bergembira dan berbahagia dengan keberadaan beliau sebagai cahaya, kelapangan, hujjah serta nikmat bagi seluruh makhluk Allah.

Para salaf saleh kita, sejak abad keempat dan kelima hijriyah, telah memberi contoh untuk merayakan peringatan maulid Nabi saw.. Mereka menghidupkan malam maulidnya dengan berbagai macam bentuk ibadah, seperti memberi jamuan makan, melantunkan ayat-ayat Alquran, membaca zikir serta mendendangkan syair-syair dan bait-bait pujian untuk beliau. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh banyak ahli sejarah, seperti al-Hafiz Ibnu Jauzi, al-Hafiz Ibnu Katsir, al-Hafiz
Ibnu Dihyah al-Andalusi, al-Hafiz Ibnu Hajar dan penutup para huffâzh , al-Hafiz Jalaluddin as-Suyuti rahimahumullah .
Bahkan, beberapa orang ulama dan ahli fikih telah menyusun kitab-kitab mengenai anjuran memperingati maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dengan menyebutkan dalil-dalilnya yang shahih. Sehingga dalam diri orang yang mempunyai akal, pemahaman dan pikiran yang jernih, tidak akan ada sikap pengingkaran terhadap perayaan maulid yang telah dilakukan oleh para salaf saleh kita itu.

Ibnu al-Hajj, dalam kitabnya al-Madkhal , secara panjang lebar menyebutkan keutamaan perayaan maulid Nabi ini. Dia memberikan penjelasan yang membuat lega hati kaum muslimin. Padahal, bukunya itu dia tulis dengan tujuan
menyebutkan perbuatan-perbuatan bid'ah tercela yang tidak masuk dalam kerangka umum dalil-dalil syariat. Imam Suyuthi juga menulis sebuah risalah dalam masalah ini dengan judul Husnul Maqshid fî 'Amalil Maulid.

Kata ihtifâl (merayakan), dalam bahasa Arab, berasal dari kata hafala, yahfilu haflan, wa hufulan yang artinya berkumpul. Seperti dalam kalimat hafala al-labanu fi adh-dhar' (air susu terkumpul di ambing susu binatang). Sedangkan kata kerja tahaffala dan i htafala berarti ijtama'a (berkumpul). Kata kerja hafala masuk dalam bab kata kerja dharaba. Ihtafalû berarti ijtama'û wa ihtasyadû (mereka berkumpul). Kalimat: "Wa'indahu hafl min an-nâs ", maksudnya terdapat
sekelompok orang di tempatnya. Asal kata ihtifâl ini adalah berbentuk nomina (mashdar ). Mahfil al-qaum berarti tempat perayaan dan berkumpulnya suatu kaum.

Kalimat hafalahu, berarti mengajaknya sehingga dia ikut berpesta dan merayakan. Kalimat hafala al-amra , berarti memperhatikan suatu perkara. Disebutkan juga:
laa tahfil bihi, "jangan mempedulikannya".
Sedangkan maksud ihtifâl (perayaan) dalam konteks ini tidak jauh berbeda dengan makna bahasanya. Karena maksud dari perayaan maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam adalah berkumpulnya orang-orang untuk berzikir, mendendangkan nasyid pujian untuknya, membuat jamuan makan sebagai sedekah karena Allah, mengungkapkan rasa kecintaan kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam serta menyatakan rasa bahagia dan gembira kita dengan hari kelahirannya.

Masuk juga dalam hal ini kebiasaan masyarakat yang membeli makanan ringan dan menghadiahkannya kepada orang-orang ketika Maulid Nabi. Saling memberi hadiah sendiri merupakan perbuatan yang dibolehkan, tidak ada dalil yang melarang untuk melakukannya dalam waktu-waktu tertentu. Maka jika ia dibarengi dengan maksud mulia, seperti membuat gembira keluarga dan menyambung tali silatruahmi dengan kerabat, maka perbuatan tersebut menjadi dianjurkan dan disunahkan. Lalu jika hal itu merupakan ungkapan rasa bahagia karena kelahiran Nabi saw., maka hal itu lebih dimasyru'kan dan dianjurkan, karena (wasilah ) sarana mempunyai hukum tujuan. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya merupakan bentuk sikap keras kepala yang tercela.

Ada suatu hal yang membuat sebagian orang menjadi ragu-ragu untuk merayakan peringatan maulid ini, yaitu ketiadaan perayaan semacam ini pada masa-masa awal Islam yang istimewa (al-qurûn al-ûlâ al-mufadhdhalah ). Argumen ini, demi Allah, bukanlah alasan yang tepat untuk melarang perayaan itu. Karena, tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaan mereka radhiyallahu 'anhum terhadap Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Namun, kecintaan ini mempunyai cara dan bentuk pengungkapan yang bermacam-macam. Dan cara-cara yang berbeda-beda itu sama sekali tidak dilarang untuk dilakukan. Karena, cara-cara tersebut bukanlah suatu bentuk ibadah jika dilihat dari inti pelaksanaannya. Berbahagia dan bergembira dengan adanya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam merupakan ibadah, tapi cara pengungkapan kebahagiaan itu hanya merupakan wasilah (sarana) yang diperbolehkan untuk digunakan. Setiap orang dapat memilih cara yang paling sesuai dengan dirinya untuk mengungkapkan hal itu.

Dalam Sunnah Nabi juga terdapat riwayat yang menunjukkan perayaan para sahabat terhadap Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dengan adanya iqrâr (persetujuan) dan izin dari beliau langsung. Diriwayatkan dari Buraidah Radhiyallahu 'anh, dia berkata, "Pada suatu ketika Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam pergi berperang. Lalu ketika pulang, seorang budak wanita hitam mendatangi beliau lalu berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah bernazar jika Allah membawamu pulang ke Madinah dalam keadaan selamat maka saya akan memainkan rebana dan bernyanyi di hadapanmu. Maka Rasulullah saw. bersabda, "Jika engkau memang telah bernazar untuk memainkan rebana, maka lakukanlah. Namun jika engkau tidak bernazar untuk melakukannya, maka engkau tidak perlu melakukannya". Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, dan dia berkata, "Ini adalah hadis hasan shahih gharib". Jika memainkan rebana sebagai ungkapan rasa bahagia karena kedatangan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dari peperangan merupakan hal yang dimasyru'kan yang diakui oleh Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan beliau mengizinkan orang yang bernazar dengannya untuk melakukannya, maka mengungkapkan rasa bahagia karena kedatangan beliau ke dunia –dengan rebana atau hal lain yang dibolehkan— tentu lebih dimasyru'kan dan lebih dianjurkan.

Jika Allah saja meringankan azab Abu Lahab di neraka dengan memberinya minuman dari lubang kecil di telapak tangannya setiap hari Senin karena kegembiraannya atas kelahiran manusia terbaik –yaitu dengan memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah karena telah menyampaikan kabar gembira kepadanya atas kelahiran Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, padahal Abu Lahab adalah orang yang paling kafir, sering menentang dan memerangi Allah dan Rasul-Nya—, maka sudah barang tentu kaum mukminin lebih berhak mendapatkan pahala karena kegembiraan mereka atas kelahiran beliau sebagai cahaya yang menyinari semesta. Rasulullah saw. sendiri telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara bersyukur kepada Allah atas kelahirannya itu. Dalam hadis shahih yang diriwayatkan dari Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallamberpuasa pada hari Senin dan bersabda,
ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﻮْﻡٌ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻓِﻴْﻪِ
"Itu adalah hari dimana aku dilahirkan."
(HR. Muslim, dari hadis Abu Qatadah).

Ini merupakan bentuk rasa syukur beliau atas karunia Allah kepadanya dan kepada umatnya. Sehingga, sudah sepatutnya umat ini juga mengikuti beliau untuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas karunia dan nikmat diutusnya beliau dengan segala bentuk cara bersyukur. Bentuk bersyukur itu dapat diungkapkan dengan memberikan jamuan makan, mendendangkan pujian-pujian, berkumpul untuk berzikir, berpuasa, melakukan salat dan lain sebagainya.

Ash-Shalihi, dalam kitab sejarahnya, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd fî Hadyi Khair al-'Ibâd , menukil dari seorang saleh pada zamannya, bahwa dia bermimpi bertemu dengan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Orang itu mengadu kepada beliau bahwa ada sebagian orang yang mengaku berilmu mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi shollallahu 'alaihi wasallam adalah bid'ah. Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya, "Barang siapa yang bergembira karena kami, maka kami akan bergembira karenanya."

Demikian juga hukum merayakan kelahiran para Ahlul Bait dan para wali Allah, serta menghidupkan perayaan mengenang mereka dengan melakukan berbagai ketaatan. Sesunggunya semua itu adalah hal yang dianjurkan secara syarak, karena acara-acara tersebut mengandung upaya untuk meniru dan menauladani mereka. Terdapat perintah syarak untuk senantiasa mengingat dan mengenang para nabi dan para orang saleh. Allah berfirman,
وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ إِبْرَٰهِيمَ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا ﴿٤١﴾

"Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Alquran) ini ." (Maryam: 41).

Dan firman Allah,

وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ مُوسَىٰٓ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ مُخْلَصًا وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا ﴿٥١﴾

"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al Kitab (Alquran) ini ." (Maryam: 51).

Perintah ini tidak terdatas untuk mengenang para nabi, namun masuk di dalamnya juga orang-orang saleh. Hal ini karena Allah berfirman,
وَٱذْكُرْ فِى ٱلْكِتَٰبِ مَرْيَمَ إِذِ ٱنتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا ﴿١٦﴾
"Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Alquran ." (Maryam: 16).

Karena merupakan kesepakatan muhaqqiqin, Maryam As. bukanlah seorang nabi melainkan seorang shiddiqah. Demikian pula terdapat perintah untuk mengingatkan hari-hari Allah, yaitu dalam firman-Nya,
 وَذَكِّرْهُم بِأَيَّىٰمِ ٱللَّهِ
"Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah ". (Ibrahim: 5).

Termasuk hari-hari Allah adalah hari kelahiran dan termasuk hari-hari Allah adalah hari-hari kelahiran dan hari-hari kemenangan. Oleh karena itu Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari Senin setiap minggunya sebagai rasa syukur kepada Allah atas nikmat penciptaan juga sebagai perayaan bagi hari kelahiran beliau, sebagaimana telah disebutkan dalam hadis riwayat Abu Qatadah al-Anshari dalam shahih Muslim. Sebagaimana Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam juga berpuasa pada hari Asyura (tanggal 10 Muharram) dan memerintahkan umat beliau untuk berpuasa sebagai rasa syukur, bahagia dan perayaan terhadap keselamatan Nabi Musa 'Alaihis Salam. Dan Allah telah memuliakan hari kelahiran di dalam Kitab-Nya dan melalui ucapan para nabi-Nya. Allah berfirman,
وَسَلَٰمٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ
"Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia dilahirkan." (Maryam: 15).

Dan Allah berfirman melalui ucapan Isa al-Masih alaihis salam,
وَٱلسَّلَٰمُ عَلَىَّ يَوْمَ وُلِدتُّ
"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan ." (Maryam: 33).

Hal ini karena dalam hari kelahiran terwujud kenikmatan penciptaan yang merupakan sebab dari diperolehnya semua nikmat yang diperoleh manusia setelahnya.

Oleh karena itu, mengenang hari kelahiran dan mengingatkan orang lain tentang hari kelahiran merupakan pintu bagi orang-orang untuk bersyukur kepada nikmat Allah. Maka tidak apa-apa menentukan hari tertentu guna mengadakan mengingat para wali Allah.

Kemasyru'iatan acara semacam ini tidak rusak karena terjadinya hal-hal yang diharamkan. Akan tetapi acara-acara seperti ini tetap dilaksanakan dengan menolak terjadinya kemungkaran-kemungkaran. Orang-orang yang merayakannya juga perlu diingatkan bahwa kemungkaran-kemungkaran tersebut bertentangan dengan tujuan utama acara-acara mulia tersebut.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Senin, 09 November 2015

Perbedaan al-massu (memegang) dan al-lamsu (menyentuh)

Perbedaan al-massu (memegang) dan al-lamsu (menyentuh)

1. Al-Massu: orang yang memegang, batal wudhunya, sedangkan orang yang dipegang tidak batal wudhunya.

Al-Lamsu: Baik orang yang menyentuh maupun orang yang disentuh batal wudhunya

2. Al-Massu: Redaksi ini khusus digunakan untuk memegang dengan batin (bagian dalam) telapak tangan, dan batin jari-jemari.

Al-Lamsu: Membatalkan dengan persentuhan seluruh kulit

3. Al-Massu: Tidak disyaratkan adanya perbedaan jenis kelamin.

Al-Lamsu: Disyaratkan adanya perbedaan jenis kelamin.

4. Al-Massu: Tidak disyaratkan sampainya batas usia yang dapat menimbulkan syahwat.

Al-Lamsu: Disyaratkan sampainya batas usia yang dapat menimbulkan syahwat.

5. Al-Massu: Tidak disyaratkan adanya hubungan non-mahram

Al-Lamsu: Disyaratkan adanya hubungan non-mahram

6. Al-Massu: Anggota (kelamin) yang terpisah dapat membatalkan wudhu, jika masih tetap sebutannya.

Al-Lamsu: Tidak disyaratkan tetapnya nama menurut Ibnu Hajar, namun disyaratkan menurut Imam Romli.

7. Al-Massu: Dapat terjadi meski dilakukan oleh seorang diri.

Al-Lamsu: Dapat terjadi hanya jika dilakukan oleh minimal dua orang.

8. Al-Massu: Khusus berkaitan dengan farji (Qubul dan dubur)

Al-Lamsu: Tidak khusus berkaitan dengan farji.

Demikian dari kitab at-Taqriirootus Sadiidah.

Sabtu, 07 November 2015

Keshahihan Atsar Imam Thawus dan Fatwa Ulama

Riwayat Pertama
فَائِدَة رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ صَحِيْح وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ (الديباج على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
“Ahmad meriwayatkan dalam kitab Zuhud dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa ‘sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut’. Sanad riwayat ini sahih dan berstatus hadis marfu’.” (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)
Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa atsar tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama Ahli Hadis:
(المطالب العلية للحافظ ابن حجر 5 / 330 وحلية الأولياء لابي نعيم الاصبهاني ج 4 / 11  وصفة الصفوة لأبي الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد بن الجوزي 1 / 20 والبداية والنهاية لابن كثير 9 / 270 وشرح صحيح البخارى لابن بطال 3 / 271 وعمدة القاري شرح صحيح البخارى للعيني 12 / 277)

 (Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-Aliyah V/330, Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya’ IV/11, Ibnu al-Jauzi dalam Shifat al-Shafwah I/20, Ibnu Katsir (murid Ibnu Taimiyah, ahli Tafsir) dalam al-Bidayah wa al-Nihayah IX/270, Ibnu Baththal dalam Syarah al-Bukhari III/271 dan al-Aini dalam Umdat al-Qari Syarah Sahih al-Bukhari XII/277)

Sejauh yang saya ketahui belum ditemukan penilaian dlaif dari para ulama tersebut, kecuali dari segelintir orang belakangan ini.

Riwayat Kedua
 وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْح أَيْضًا (الديباج على مسلم بن الحجاج للحافظ جلال الدين السيوطي 2 / 490)
“Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab al-Mushannaf dari Ubaid bin Amir bahwa ‘orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari, dan orang munafik selama 40 hari’. Sanadnya juga sahih.” (al-Dibaj Syarah sahih Muslim II/490)

Siapakah Ubaid diatas? Al-Hafidz as-Suyuthi menjelaskan:
قَالَ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ صَاحِبُ الصَّحِيْحِ إِنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ غَيْرُهُ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَى هَذَا يَكُوْنُ صَحَابِيًّا (الحاوي للفتاوي للسيوطي – ج 3 / ص 267)
“Muslim bin Hajjaj pengarang kitab Sahih berkata bahwa Ubaid bin Umair dilahirkan di masa Nabi Saw. Yang lain berkata bahwa Ubaid melihat Rasulullah Saw. Dengan demikian Ubaid adalah seorang sahabat” (al-Hawi li al-Fatawi 3/267)

Riwayat Ketiga
وَقَدْ رُوِىَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ الْمَوْتَى كَانُوْا يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلاَيَّامَ (أهوال القبور – ج 1 / ص 19)
“Sungguh telah diriwayatkan dari Mujahid bahwa sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut” (al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali, Ahwal al-Qubur 1/19)

Riwayat Atsar diatas telah dikaji oleh ulama Madzhab Syafii yang bernama Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, beliau menilai sahih dan menfatwakannya. Berikut fatwa beliau:

( وَسُئِلَ ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ أَيْ يُسْأَلُونَ كَمَا أَطْبَقَ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هَلْ لَهُ أَصْلٌ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ أَصِيلٌ فَقَدْ أَخْرَجَهُ جَمَاعَةٌ عَنْ طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ وَعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْ طَاوُسِ فِي التَّابِعِينَ بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ وَمُجَاهِدٍ وَحُكْمُ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ مَا لَا يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا جَاءَ عَنْ تَابِعِيٍّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ وَكَذَا عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ وَقَدْ اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ بِالْمُرْسَلَيْنِ الْآخَرَيْنِ بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ كَانَ مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِقَوْلِهِ الْآتِي عَنْ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إلَخْ لِمَا يَأْتِي أَنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ وَفِي بَعْضِ تِلْكَ الرِّوَايَاتِ زِيَادَةُ إنَّ الْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ عَنْ طَاوُسِ أَيْضًا أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ وَهَذَا مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِيِّ كَانُوا يَفْعَلُونَ وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِ : أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَيْضًا مِنْ بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ بَابِ الْعَزْوِ إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى هَذَا قِيلَ إنَّهُ إخْبَارٌ عَنْ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ فَيَكُونُ نَقْلًا لِلْإِجْمَاعِ وَقِيلَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَقَالَ الرَّافِعِيُّ مِثْلُ هَذَا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ كَانَ مَشْهُورًا فِي ذَلِكَ الْعَهْدِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ ثُمَّ مَا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ عَنْ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْفِتْنَةِ سُؤَالُ الْمَلَكَيْنِ صَحِيحٌ .
 فَإِنْ قُلْت لِمَ كَرَّرَ الْإِطْعَامَ سَبْعَةَ أَيَّامٍ دُونَ التَّلْقِينِ قُلْت لِأَنَّ مَصْلَحَةَ الْإِطْعَامِ مُتَعَدِّيَةٌ وَفَائِدَتُهُ لِلْمَيِّتِ أَعْلَى إذْ الْإِطْعَامُ عَنْ الْمَيِّتِ صَدَقَةٌ وَهِيَ تُسَنُّ عَنْهُ إجْمَاعًا وَالتَّلْقِينُ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّهُ بِدْعَةٌ وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ عِنْدَنَا خِلَافَهُ لِمَجِيءِ الْحَدِيثِ بِهِ وَالضَّعِيفُ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ . (الفتاوى الفقهية الكبرى  – ج 3 / ص 193)

“Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami ditanya, semoga Allah melapangkannya semasa hidupnya, dengan sebuah pertanyaan bahwa: Orang-orang yang mati mendapat ujian di alam kuburnya, yaitu mereka ditanya sebagaimana dikatakan oleh para ulama, selama 7 hari. Apakah hal tersebut memiliki dasar?
Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami menjawab: “Ya, hal itu memiliki dasar yang kuat. Sebab segolongan ulama telah meriwayatkan dari Thawus dengan sanad yang sahih dan Ubaid bin Umair dengan sanda yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Abdil Barr, Ubaid lebih senior daripada Thawus dalam Tabiin, bahkan dikatakan bahwa Ubaid adalah sahabat, karena Ubaid dilahirkan di masa Nabi Saw dan di sebagian masa Umar di Makkah, dan riwayat dari Mujahid. Hukum ketiga riwayat (Thawus, Ubaid bin Umair dan Mujahid) tersebut adalah Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Sebab jika ada sesuatu yang bukan berdasarkan pendapat jika disampaikan oleh seorang Tabiin maka berstatus hukum Mursal yang disandarkan pada Rasulullah Saw, seperti yang disampaikan oleh para imam di bidang hadis. Sedangkan riwayat Mursal adalah hujjah menurut 3 imam (Hanafi, Maliki dan Hanbali), juga menurut kita (Syafiiyah) jika dikuatkan riwayat lain. Dan sungguh riwayat Thawus ini dikuatkan oleh 2 riwayat mursal lainnya (Ubaid bin Umair dan Mujahid). Bahkan jika kita berpendapat dengan keabsahan status sahabat Ubaid bin Umair maka riwayat tersebut bersambung kepada Rasulullah Saw, dan dengan perkataannya berikut dari sahabat: “Mereka senang….” Disebabkan bahwa hukum riwayat tersebut adalah Marfu’, dengan terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam sebagian riwayat ada tambahan “Orang munafiq diuji selama 40 pagi hari”. Oleh karena itu telah sah dari Thawus pula bahwa mereka menganjurkan memberi sedekah makanan dari mayit selama 7 hari tersebut. Ini adalah ucapan seorang Tabiin “Mereka melakukan”, di dalamnya ada 2 pendapat menurut ahli hadis dan Ushul Fikh: Pertama sebagai riwayat Marfu’ yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Maksudnya para sahabat melakukan hal itu di masa Rasulullah Saw, Nabi mengetahuinya dan menyetujuinya. Kedua, dinisbatkan pada sahabat, tidak sampai hingga Rasulullah Saw. Menurut pendapat kedua ini maka yang disampaikan Thawus adalah informasi dari semua sahabat. Maka Thawus mengutip Ijma’ para sahabat. Ada yang mengatakan dari sebagian sahabat, seperti dikuatkan oleh an-Nawawi dalam Syarah Muslim. Ar-Rafii berkata: Riwayat seperti ini sudah popular di masa itu tanpa pengingkaran. Kemudian apa yang disebut dalam ujian dari para ulama, yang dimaksud dengan soal adalah pertanyaan malaikat, adalah sahih…. Jika ada yang mengatakan mengapa yang diulang-ulang adalah sedekah makanan 7 hari bukan Talqin? Saya menjawab: Sebab kemaslahatan memberi sedekah makanan berdampak lebih luas, dan manfaatnya bagi mayit lebih tinggi. Sebab memberi makan untuk mayit adalah sedekah, dan sedekah atas nama mayit adalah sunah, sesuai ijma’ ulama. Sedangkan Talqin menurut kebanyakan ulama adalah bid’ah, meski pendapat yang lebih kuat menurut kita (Syafiiyah) bukan bid’ah, karena berdasarkan hadis, dan hadis dlaif boleh diamalkan dalam keutamaan amal” (Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah 3/193)

Fatwa Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki


Syaikh Muhammad Ali bin Husain al-Maliki, pengarang kitab Inarat al-Duja, memberi jawaban atas pertanyaan tentang kebiasaan di Jawa saat takziyah dan tahlil pada hari-hari tertentu, bahwa tradisi semacam itu bisa menjadi bid’ah yang diharamkan jika bertujuan untuk meratapi mayit, dan jika tidak bertujuan seperti itu dan tidak mengandung unsur haram lainnya, maka masuk kategori bid’ah yang diperbolehkan. Di akhir fatwa beliau berkata:

اِعْلَمْ اَنَّ الْجَاوِيِّيْنَ غَالِبًا اِذَا مَاتَ اَحَدُهُمْ جَاؤُوْا اِلَى اَهْلِهِ بِنَحْوِ اْلاَرُزِّ نَيِّئًا ثُمَّ طَبَّخُوْهُ بَعْدَ التَّمْلِيْكِ وَقَدَّمُوْهُ لاَهْلِهِ وَلِلْحَاضِرِيْنَ عَمَلاً بِخَبَرِ “اصْنَعُوْا لاَلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا” وَطَمَعًا فِي ثَوَابِ مَا فِي السُّؤَالِ بَلْ وَرَجَاءَ ثَوَابِ اْلاِطْعَامِ لِلْمَيِّتِ عَلَى اَنَّ اْلعَلاَّمَةَ الشَّرْقَاوِيَ قَالَ فِي شَرْحِ تَجْرِيْدِ الْبُخَارِي مَا نَصُّهُ وَالصَّحِيْحُ اَنَّ سُؤَالَ الْقَبْرِ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ وَقِيْلَ يُفْتَنُ الْمُؤْمِنُ سَبْعًا وَالْكَافِرُ اَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَمِنْ ثَمَّ كَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ يُطْعَمَ عَنِ الْمُؤْمِنِ سَبْعَةَ اَيَّامٍ مِنْ دَفْنِهِ اهــ بِحُرُوْفِهِ (بلوغ الامنية بفتاوى النوازل العصرية مع انارة الدجى شرح نظم تنوير الحجا 215-219)

“Ketahuilah, pada umumnya orang-orang Jawa jika diantara mereka ada yang meninggal, maka mereka datang pada keluarganya dengan membawa beras mentah, kemudian memasaknya setelah proses serah terima, dan dihidangkan untuk keluarga dan para pelayat, untuk mengamalkan hadis: ‘Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far’ dan untuk mengharap pahala sebagaimana dalam pertanyaan (pahala tahlil untuk mayit), bahkan pahala sedekah untuk mayit. Hal ini berdasarkan pendapat Syaikh al-Syarqawi dalam syarah kitab Tajrid al-Bukhari yang berbunyi: Pendapat yang sahih bahwa pertanyaan dalam kubur hanya satu kali. Ada pendapat lain bahwa orang mukmin mendapat ujian di kuburnya selama 7 hari dan orang kafir selama 40 hari tiap pagi. Oleh karenanya para ulama terdahulu menganjurkan memberi makan untuk  orang mukmin selama 7 hari setelah pemakaman” (Bulugh al-Amniyah dalam kitab Inarat al-Duja 215-219)

Wallahu a'lam

Waktu-waktu yang dilarang untuk sholat dan Pengecualiannya

Haram atau makruh tahrim mengerjakan shalat -kecuali sholat yang mempunyai sebab dan shalat di tanah suci Mekah - pada lima waktu.
Hadits yang menjelaskan bolehnya shalat di tanah suci tanpa dibatasi waktu yaitu
"Wahai Bani Abdu Manaf, janganlah melarang orang yang hendak thawaf di Baitullah ini, atau sholat kapan saja, malam atau siang hari."
(HR. Imam Tirmidzi dan periwayat lainnya. Menurutnya, hadits ini Hasan Shahih).

Shalat yang mempunyai sebab itu seperti mengqadha shalat yang tertinggal, baik fardhu maupun sunnah, meskipun mengqadha shalat sunnah menjadi rutinitas (wirid) mengingat sebabnya telah lebih dulu. Hal ini diperkuat oleh Sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam:
"Kafaratnya orang yang meninggalkan shalat ialah menunaikannya ketika dia ingat."
(HR. Bukhari-Muslim dan lainnya dari Anas bin Malik).
Dan hadis riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam pernah shalat setelah 'Asar dua rokaat, lalu beliau bersabda, " Dua rokaat tersebut adalah dua rokaat sholat sunnah setelah Dhuhur." Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wasallam selalu mengerjakannya (dua rokaat setelah Dhuhur) sampai wafat.

Contoh shalat yang mempunyai sebab lebih dulu yaitu shalat Kusuf (Gerhana), Istisqa'(Memohon Hujan), Tahiyatul Masjid, Sunah Wudhu, Sujud Syukur, dan Sujud Tilawah. Sedangkan sholat sunnah yang mempunyai sebab yang bersamaan yaitu dua rokaat thawaf, shalat jenazah, dan shalat istisqa'. Dalam ash-Shahihain disebutkan tentang taubatnya Ka'ab bin Malik, bahwa dia (Ka'ab) bersujud syukur setelah sholat subuh sebelum matahari terbit.

Diceritakan pula dalam Hadis Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Bilal Radhiyallahu 'anhu, "Wahai Bilal, ceritakan padaku, perbuatan apa yang telah engkau kerjakan dalam Islam hingga aku mendengar langkah sandalmu di surga?
Bilal Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Saya tidak melakukan perbuatan yang lebih saya harapkan selain jika saya selesai wudhu, baik pada malam atau siang hari, maka saya shalat sebagaimana ditetapkan kepada saya."

Adapun shalat yang mempunyai sebab terakhir yaitu seperti dua rokaat istikharah dan shalat sunnah ihram. Shalat seperti ini jika dilakukan pada waktu makruh, hukumnya tidak sah, seperti halnya shalat yang tidak mempunyai sebab.

Kelima waktu yang diharamkan atau makruh tahrim menunaikan shalat adalah
sebagai berikut:
1. Waktu matahari terbit sampai naik setinggi tombak.
2. Waktu Istiwa' atau zawal (matahari tergelincir sebelum masuk waktu Dhuhur) kecuali pada hari Jum'at sampai waktu ini berlalu.
3. Waktu matahari berwarna kekuning-kuningan sampai matahari terbenam, baik sudah melaksanakan Shalat 'Asar maupun belum.
4. Waktu setelah shalat subuh sampai matahari naik setinggi tombak dalam pandangan mata. Karena ada larangan shalat sunnah setelah dua rokaat shalat subuh dan setelah ishfirar (sinar matahari kekuning-kuningan menjelang terbenam) yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
5. Setelah shalat Asar sampai matahari terbenam.

Dalil pengharaman shalat sunnah ketika matahari terbit, terbenam, dan waktu istiwa' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari 'Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'Anhu,"Ada tiga waktu dimana kami dilarang shalat oleh Rasulullah pada waktu tersebut atau dilarang mengubur jenazah pada waktu itu, yaitu; saat matahari terbit hingga meninggi, ketika unta yang sedang menderum bangkit dari tempatnya karena terik matahari (waktu istiwa') hingga matahari tergelincir, dan ketika matahari menjelang terbenam."
Adapun pengecualian shalat jumat mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan periwayat lainnya.
Dalil pengharaman shalat setelah shalat 'Asar sampai matahari terbenam, dan setelah sinar matahari kekuning-kuningan yaitu seperti hadits tentang pelarangan shalat dua rakaat setelah shalat subuh yang disebutkan dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Rodhiyallahu 'anhu.

Demikian dari kitab al-Fiqh asy-Syafi'i al-Muyassar.

Tradisi hujan-hujanan

Hujan-hujanan adalah membiarkan tubuh terkena air hujan. Di Madiun, disebut Oca-Oce, sedangkan di tanah Pasundan disebut Huhujanan.

Tradisi ini entah siapa yang memulai pada kali pertama, entah karena keriangan ketika turunnya hujan, atau entah karena motif yang lain.

Namun, sebagai sandaran bagi kita bahwa dalam kitab Hadis ada sebuah riwayat dengan isnad shahih begini:

وحدثنا يحيى بن يحيى، أخبرنا جعفر بن سليمان، عن ثابت البناني، عن أنس، قال: قال أنس: أصابنا ونحن مع رسول الله صلى الله عليه وسلم مطر، قال: فحسر رسول الله صلى الله عليه وسلم ثوبه، حتى أصابه من المطر، فقلنا: يا رسول الله لم صنعت هذا؟ قال: «لأنه حديث عهد بربه تعالى

"Dan Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah mengabarkan kepada kami Ja'far bin Sulaiman, dari Tsabit Al Bunani, dari Anas, ia berkata; Kami diguyur hujan ketika bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau membuka pakaiannya sehingga terkena hujan, lalu kami pun bertanya, ""Wahai Rasulullah, kenapa Anda melakukan hal itu?"" beliau menjawab: ""Karena hujan ini merupakan rahmat yang diberikan oleh Allah ta'ala."

(HR. MUSLIM)

Begitu pula dalam kitab-kitab hadis lain, misalnya:
Musnad Ahmad no. 12365 dan no. 13820;
Sunan Abu Dawud no. 5100;
Sunan al-Kubro lin Nasa-i no. 1850;
Shahih Ibnu Hibban no. 6135;
Al-Mustadrok 'alash shohihain no. 7768;
Hilyatul Auliya juz. 6, hal. 291 - 292;
Ma'rifatus sunan wal Atsar no. 7231

Berdasar hadis ini, Ulama pakar fiqh dan pensyarah hadis, yakni Imam Nawawi menjelaskan bahwa:

هذا الحديث دليل لقول أصحابنا أنه يستحب عند أول المطر أن يكشف غير عورته ليناله المطر

Hadis ini merupakan dalil bagi qoul (pendapat) Ashab kami (para ulama madzhab Syafii) bahwa disunnahkan ketika turun hujan pada kali pertama untuk membuka selain auratnya agar terkena air hujan.
(Syarah Muslim lin Nawawi juz 6, hal. 196)

السنة أن يكشف بعض بدنه ليصيبه أول المطر للحديث السابق والمراد أول مطر يقع في السنة كذا نص عليه الشافعي وقاله الأصحاب
Yang disunnahkan adalah membuka sebagian badan agar hujan pertama mengenainya berdasar hadis yang lalu. Maksud hujan pertama adalah hujan yang turun pertama dalam tahun itu. Demikian ini,  terdapat nash dari Imam Syafii dan Ashab berpendapat dengannya.

 قال سليم الرازي والشيخ نصر المقدسي وصاحب العدة يستحب إذا جاء المطر في أول السنة أن يخرج الإنسان إليه ويكشف ما عدا عورته ليصيبه منه ولفظ الشافعي في اول مطرة وكذا لفظ المحاملي وصاحب الشامل والباقين وذكر الشافعي في الأم عن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال لغلامه وقد مطرت السماء " أخرج فراشي ورحلي يصيبه المطر فقيل له لم تفعل هذا فقال أما تقرأ كتاب الله ونزلنا من السماء ماء مباركا فأحب أن تصيب البركة فراشي ورحلي.

Sulaim ar-Rozy, Syekh Nashr al-Maqdisi, dan pengarang kitab 'Uddah berpendapat bahwa disunnahkan ketika hujan turun di permulaan tahun agar orang-orang keluar dan menyingkap selain auratnya agar terbasahi dari air hujan.

Redaksi Imam Syafii, Imam al-Mahamily, pengarang kitab Asy-Syamil, dan selainnya adalah di awal curah hujan.

Imam Syafii menuturkan dalam kitab al-Umm sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhumaa bahwa beliau berkata pada pelayannnya ketika langit telah menurunkan hujan,"Keluarkan tempat tidurku dan pelanaku agar terkena hujan".
Maka, pelayan itu bertanya pada beliau,"Kenapa Anda melakukan ini?"
Beliau menjawab,"Apakah kau tidak membaca al-Quran (sebuah ayat yang artinya),"Dan kami turunkan dari langit air yang barokah"? (QS. al-Qaf: 9). Karena itulah, Aku senang jika mengalirkan keberkahan pada tempat tidur dan pelanaku.

(al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab Juz 5, hal. 93)

Dengan demikian, tradisi ini memiliki dasar hukum baik dari fiqh, atsar, maupun hadis.

Wallahu a'lam