Minggu, 30 Juni 2013

Lakukan lima, niscaya mendapat lima

Abu Laits nashr bin Ibrahim as-samarqandi ( Abu Laits as-samarqandi ) meriwayatkan dari ayahnya, dari Abu bakar Ibrahim, dari salim bin abi muqatil al- Qadhi, dari Abi Ma’syar, dari Muhammad bin ka’ab, dari Abi hurairah Rodhiyallahu 'anhu, barang siapa dikarunia lima hal maka ia tidak akan terhalang dari lima hal.

1. Barang siapa di karuniai syukur, maka ia tidak akan terhalang dari tambahan, karena Allah telah berfirman:
لإن شكرتم لأزيدنكم
“ Lainsyakartum la’aziidannakum….”
( Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu ). QS Ibrahim : 7

2. Barang siapa di karuniai kesabaran, maka ia tidak akan terhalang dari pahala, karena Allah berfirman:
إنما يوفى الصبرون اجرهم بغير حساب
Innamaa yuwaffa shoobiruuna ajrohum bigghoiiri hisaabin”.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang di cukupkan pahala mereka tanpa batas ( QS Az-zumar :10)

3. Barang siapa dikarunia taubat, maka ia tidak akan terhalang dari penerimaan, karena Allah telah berfirman:
وهو الذي يقبل التوبة عن عباده
“ Wahuwalladzii yaqbalu attauubata ‘an ‘ibaadihi “. Dan Dia lah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya ( QS At-Taubah :104 ).

4. Barang siapa dikarunia istighfar, maka tidak akan terhalang dari ampunan, karena Allah telah berfirman:
إستغروا ربكم إنه كان غفارا
“ istaghfiruu robbakum innahu kaana ghoffaaron “.
Mohonlah ampun kepada tuhanmu, sesungguhnya dia adalah maha pengampun (QS Nuh : 10 )

5. Barang siapa dikarunia Do’a, maka tidak akan terhalang dari dikabulkan, karena Allah telah berfirman:
أدعوني أستجب لكم
“ud ‘uunii astajib lakum” .
Berdo’alah kepadaKU, niscaya aku perkenankan bagimu “ ( QS Al- Mukmin : 60)

Dalam riwayat lainnya disebutkaan yang keenam, yakni Barang siapa yang bersedekah, maka ia tdak akan terhalang dari gantinya, Firman Allah
وما أنفقتم من شيء فهو يخلفه
“ wamaa anfaqtum min syaiin fahuwa yukhlifuhu “
dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya QS Saba :39.

Kitab Tanbihul Ghofilin hal. 211
Penerbit Darul Kitab Al-'Arobi
Beirut - Lebanon


Jumat, 28 Juni 2013

MEMBACA AL-QUR’AN UNTUK MAYYIT Oleh Asy-Syekh Prof. Dr. ‘Ali Jum’ah Muhammad



قراءة القرآن الكريم من أفضل العبادات التي يتقرب بها المسلم إلى ربه، وقد جاء الأمر الشرعي بذلك مطلقا، ومن المقرر في أصول الفقه أن الأمر المطلق يقتضي عموم الأمكنة والأزمنة والأحوال إلا ما جاء الشرع باستثنائه وتقييده، فقراءة القرآن على الميت: حال وفاته أو بعدها، في منزله أو في المسجد، عند القبر أو غيره، حالة الدفن أو بعدها، كل ذلك جائز شرعا ولا حرمة فيه بإجماع العلماء، إلا أن بعض المالكية ذهبوا إلى كراهة القراءة على القبر تحديدا، ولكن الشيخ الدردير - رضي الله عنه- قال: "المتأخرون على أنه لا بأس بقراءة القرآن والذكر وجعل ثوابه للميت، ويحصل له الأجر إن شاء الله". اهـ، وقد ألف في هذه المسألة جماعة من العلماء على اختلاف مذاهبهم الفقهية: كالإمام الخلال الحنبلي في جزء "القراءة على القبور"، والحافظ شمس الدين المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في هذه المسألة، والسيد عبد الله الغماري في كتابه "توضيح البيان لوصول ثواب القرآن"، وغيرهم ممن صنف في هذه المسألة، ومن الأدلة على ذلك:
1- حديث معقل بن يسار - رضي الله عنه - عن النبي - صلى الله عليه وآله وسلم - قال: ((اقرءوا يس على موتاكم)). رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه وصححه ابن حبان والحاكم، وهذا يشمل حال الاحتضار وبعده.
2- حديث ابن عمر - رضي الله عنهما - قال: سمعت رسول الله - صلى الله عليه وآله وسلم - يقول: ((إذا مات أحدُكم فلا تحبسوه، وأَسْرِعوا به إلى قبره، وليُقْرَأْ عند رأسه بفاتحة الكتاب، وعند رجليه بخاتمة سورة البقرة في قبره)). أخرجه الطبراني، والبيهقي في شعب الإيمان، وحسنه الحافظ ابن حجر، وفي رواية ((بفاتحة البقرة)) بدلًا من ((فاتحة الكتاب))، كما صح عن ابن عمر - رضي الله عنهما - أنه أوصى إذا دفن أن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها. أخرجه الخلال، وصححه ابن قدامة، وحسنه النووي.
3- ما روي عن أنس - رضي الله عنه - مرفوعا: ((مَنْ دخل المقابر، فقرأ فيها يس، خفَّف الله عنهم يومئذ، وكان له بعددهم حسنات)). أخرجه صاحب الخلَّال، وذكره ابن قدامة في المغني.
والخلاف في هذه المسألة ضعيف، ومذهب من استحب قراءة القرآن وأجازها هو الأقوى، حتى إن بعض العلماء رأى أن هذه المسألة مسألة إجماع، وصرحوا بذلك ، وممن ذكر هذا الإجماع الإمام ابن قدامة المقدسي الحنبلي حيث قال: "وأي قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك إن شاء الله ".. إلى أن قال: " قال بعضهم: إذا قرئ القرآن عند الميت، أو أهدي إليه ثوابه، كان الثواب لقارئه، ويكون الميت كأنه حاضرها، فترجى له الرحمة، ولنا: ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين، فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرؤون القرآن ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير". اهـ المغني: 2/ 225.
وقد نقل الإجماع أيضا الشيخ العثماني في كتابه "رحمة الأمة في اختلاف الأئمة " وعبارته في ذلك: "وأجمعوا على أن الاستغفار والدعاء والصدقة والحج والعتق تنفع الميت ويصل إليه ثوابه، وقراءة القرآن عند القبر مستحبة ". اهـ.
وأخذ العلماء وصول ثواب القراءة للميت من جواز الحج عنه ووصول ثوابه إليه ؛ لأن الحج يشتمل على الصلاة ، والصلاة تقرأ فيها الفاتحة وغيرها، وما وصل كله وصل بعضه، فثواب القراءة يصل للميت إذا نواه القارئ عند الجمهور، وذهب الشافعية إلى أنه يصل كدعاء بأن يقول القارئ مثلا: " اللهم اجعل مثل ثواب ما قرأت لفلان "، لا إهداء نفس العمل، والخلاف يسير، ولا ينبغي الاختلاف في هذه المسألة.

والله سبحانه وتعالى أعلم.


Membaca Alquran merupakan salah satu ibadah terbaik yang dilakukan seorang muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perintah syariat yang menerangkan perintah membaca Alquran ini dinyatakan dalam bentuk yang mutlak (tanpa batasan tertentu). Dan sebagaimana ditetapkan dalam ilmu Ushul Fikih, keumuman perintah menghendaki keumuman penerapannya, baik dari sisi tempat, waktu, ataupun keadaan, kecuali dalam beberapa hal yang dikecualikan oleh syariat atau memiliki batasan-batasan tertentu. Oleh karena itu, membaca Alquran untuk mayit, baik sebelum maupun sesudah wafatnya, di rumah maupun di masjid, di kuburannya atau di tempat lain, juga ketika prosesi penguburan atau setelahnya, adalah dibolehkan. Tidak ada larangan sama sekali dalam hal ini berdasarkan ijmak para ulama. Hanya saja, sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa membaca Alquran di atas kuburan adalah makruh. Namun, Syaikh ad-Dardir rodhiyallahu ‘anh berkata, "Para ulama Malikiyah belakangan berpendapat bahwa tidak apa-apa membaca Alquran dan zikir lalu menghadiahkan pahalanya untuk mayit. Mayit itu insyaallah akan mendapatkan pahalanya."

Sejumlah ulama dari berbagai mazhab telah menulis beberapa buku berkaitan dengan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Abu Bakar al-Khallal (311 H) (salah seorang ulama Hambali) dalam Bab Membaca Alquran di atas Kubur dalam kitabnya al-Jâmi'. Al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi (juga salah seorang ulama Hambali) pun menulis sebuah kitab khusus mengenai masalah ini. Begitu juga, al-Hafizh Sayyid Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari (1413 H) dalam kitabnya Tawdhîh al-Bayân li Wushûl Tsawâb al-Qurân, dan para ulama lainnya.

Di antara dalil yang menjelaskan kebolehan ini adalah:
1. Hadits Ma'qal bin Yasar rodhiyallahu ‘anh dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

اقْرَءُوا (يس) عَلَى مَوْتَاكُمْ

"Bacakanlah surat Yâsîn atas orang-orang yang meninggal diantara kalian." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah serta dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).

Hadits ini mencakup pembacaan ketika dalam keadaan sakaratul maut dan setelahnya.

2. Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anh, dia berkata, "Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ، وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ، وَليُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُـوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ

"Jika salah seorang dari kalian meninggal dunia, maka janganlah kalian menahannya. Segeralah membawanya ke kuburan. Dan hendaknya dibacakan surat al-Fatihah di bagian kepalanya dan akhir surat al-Baqarah di bagian kedua kakinya setelah di kubur." (HR. Thabrani dan Baihaqi dalam Syu'ab al-Îmân).

Sanad hadits ini, sebagaimana dijelaskan oleh Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî, adalah hasan. Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi: "membaca awal surat al-Baqarah", sebagai ganti "membaca surat al-Fatihah".

Begitu juga diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anh bahwa ia berwasiat jika ia dikuburkan agar dibacakan padanya awal dan akhir surat al-Baqarah. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Khallal, dishahihkan oleh Ibnu Qudamah dan dihasankan oleh Nawawi.

3. Hadits Anas rodhiyallahu ‘anh, bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَنَاتٌ

"Barang siapa yang masuk ke pekuburan dan membaca surat Yâsîn, maka Allah akan meringankan siksa atas mereka. Dan ia pun akan memperoleh banyak kebaikan sejumlah orang yang dikubur di sana." (HR. Abdul Aziz, murid al-Khallal, dan disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughnî).

Perbedaan pendapat dalam masalah ini tidaklah kuat. Yang kuat adalah pendapat ulama yang menganjurkan dan membolehkan membaca Alquran untuk mayit. Bahkan, sebagian ulama secara tegas berpendapat bahwa masalah ini masalah yang disepakati oleh semua ulama (ijmak). Salah satu ulama yang menyatakan hal itu adalah Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi (salah seorang ulama Hambali) yang berkata, "Ibadah apapun yang dikerjakan dan diberikan pahalanya kepada seorang mayit muslim maka pahala itu akan bermanfaat baginya insyaallah." Ia juga berkata, "Sebagian ulama mengatakan bahwa jika dibacakan Alquran pada mayit, atau ia diberi hadiah pahala bacaannya, maka pahala itu adalah untuk orang yang membacanya, sedangkan orang yang meninggal bagaikan menghadiri pembacaan itu sehingga diharapkan mendapatkan rahmat dari Allah karenanya. Dalil kami adalah apa yang kami telah sebutkan dan bahwa masalah ini adalah masalah yang telah disepakati (ijmak) oleh kaum muslimin. Hal itu karena mereka pada setiap masa dan tempat selalu berkumpul dan membaca Alquran serta menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang meninggal di antara mereka, tanpa ada satu orang pun yang mengingkarinya."

Ijmak tentang hal ini juga dinukil oleh Syaikh al-Utsmani dalam kitabnya Rahmatul Ummah Fikhtilâfil Aimmah. Beliau mengatakan, "Para ulama berijmak bahwa istighfar, doa, sedekah, ibadah haji dan memerdekakan budak dapat bermanfaat bagi orang yang meninggal dan pahalanya akan sampai kepadanya. Dan membaca Alquran di atas kubur adalah hal yang dianjurkan."

Pendapat para ulama mengenai sampainya pahala bacaan kepada mayit berpegang pada kebolehan melakukan ibadah haji untuk mayit dan sampainya pahala haji itu kepadanya. Hal itu karena ibadah haji tercakup di dalamnya amalan shalat yang mencakup bacaan surat al-Fatihah dan ayat-ayat lainnya. Dan sesuatu yang sampai seluruhnya maka akan sampai pula sebagiannya. Oleh karena itu, berdasarkan pendapat jumhur ulama, pahala bacaan Alquran akan sampai kepada mayit jika orang yang membacanya meniatkan hal itu.

Para ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa pahala itu akan sampai sebagaimana sampainya doa, yaitu jika seseorang berkata dalam doanya, "Ya Allah, berikanlah pahala seperti pahala apa yang saya baca kepada Fulan." Sehingga, ia bukan menghadiahkan amalan itu sendiri. Perbedaan ulama dalam masalah ini tidaklah berat dan tidak selayaknya terdapat perselisihan dalam masalah ini.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH


Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang  menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi yang jelas : Setiap bid’ah itu sesat. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat. Karena itu Anda akan melihat ia berkata : Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan : akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.

Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang  mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya. Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas : Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua :
1) bid’ah diniyah (keagamaan)
2) bid’ah duniawiyyah (keduniaan).

Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut.  Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama  baru ini datang ?.

Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya.
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam sebagai Syari’ bersabda, “Setiap bid’ah itu sesat. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian ; diniyyah yang sesat dan duniawiyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa.

Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas,  insya Allah.

Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan syari’ adalah lisan syar’i.  Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah. Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak.

Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “ في أمرنا هذا ”.

Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu jauh.

Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah,  sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.

Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakan bahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial. Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat,  – ini adalah pendapat yang benar – dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkan hukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail. Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum  muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul. Semoga Allah meridloi para aimmatul ushul dan meridloi kajian mereka terhadap lafadh-lafadh yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau interpretasi.

Disarikan dari Kitab Mafahim Yajibu an Tushohhah

At-Tark bukanlah hujjah (Asy-Syaikh Prof. Dr. 'Ali Jum'ah Muhammad)


يستدل كثير من المتشددين على عدم جواز أمور كثيرة يقوم بها المسلمون بحجة أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يفعلها وأصحابه رضى الله عنهم، فهل ترك النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه لأمـر يدل على عدم جواز فعله ؟

Banyak orang dari kelompok ekstrim berdalil tentang ketidakbolehan melaksanakan perkara-perkara yg ditegakkan kaum muslimin dengan hujjah bahwa sesungguhnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat Rodhiyallahu 'anhum tidak melakukannya. Lantas, apakah at-tark (yg ditinggalkan/tidak pernah dikerjakan) Nabi Shollallahu 'alaihi wa Sallam dan para sahabatnya terhadap suatu perkara menunjukkan ketidak-bolehan melakukannya?


إن موضوع هذا السؤال ألف فيه الشيخ العلامة السيد عبد الله بن الصديق الغماري رسالة سماها «حسن التفهم والدرك لمسألة الترك»، وقد افتتحها بأبيات جميلة حيث قال :

Topik pertanyaan ini telah ada dalam sebuah Risalah karya As-Sayyid 'Abdullah bin Ash-Shiddiq al-Ghumary dengan judul "Husnut tafahhumi wad dark limas alatit tark", dan itu diawali dengan bait-bait yang indah, yaitu:

الترك ليس بحجة في شـرعنا *** لا يقتضي منعـًا ولا إيجابـًا
فمن ابتغى حظرًا بترك نبينا *** ورآه حكمـًا صادقًا وصوابـًا
قد ضل عن نهج الأدلة كلها *** بل أخطأ الحكم الصحيح وخابا
لا حظر يمكن إلا إن نهي أتى *** متوعـدا لمخالفيه عذابـًا
أو ذم فعـل مؤذن بعقـوبة *** أو لفـظ تحريم يواكب عابا

At-Tarku bukanlah hujjah dalam syari'at kita * Tidak mengisyaratkan mani' (larangan) juga tidak kewajiban
Maka barang siapa mencari halangan dengan tarkun Nabi kita * Dan menyangka bahwasanya itu adalah hukum yg benar lagi tepat
Sungguh telah tersesat dari metode pendalilan semuanya * Bahkan salah dari hukum yg benar dan gagal
Tidak terhalang kemungkinan kecuali jika nahi (larangan) tiba * seperti ancaman untuk pelanggar hukum
Atau mengecam perbuatan penyeru dengan hukuman * Atau lafadz tahrim yg diiringi celaan

ولقد اتفق علماء المسلمين سلفًا وخلفًا شرقًا وغربًا على أن الترك ليس مسلكًا للاستدلال بمفرده، فكان مسلكهم لإثبات حكم شرعي بالوجوب أو الندب أو الإباحة أو الكراهة أو الحرمة هو :1- ورود نص من القرآن. 2- ورود نص من السنة.3- الإجماع على الحكم. 4- القياس.واختلفوا في مسالك أخرى لإثبات الحكم الشرعي منها :5- قول الصحابي. 6- سد الذريعة.7- عمل أهل المدينة. 8- الحديث المرسل.9- الاستحسان.10- الحديث الضعيف، وغير ذلك من المسالك التي اعتبرها العلماء، والتي ليس بينها الترك.

Para Ulama Islam baik itu salaf maupun kholaf, di Timur maupun di Barat, telah bersepakat bahwa at-tark bukanlah metode untuk pengambilan dalil dengan mandiri. Adapun metode mereka untuk menetapkan hukum Syar'i baik itu wajib, sunah, mubah, makruh, maupun haram, adalah:
1. Kedatangan nash dari al-Quran
2. Kedatangan nash dari as-Sunnah
3. Ijma' atas suatu hukum
4. Qiyas

Dan mereka berbeda dalam metode-metode yg lain untuk menetapakn hukum syar'i, diantaranya:
5. Qoul Shohaby (Pendapat sahabat)
6. Saddudz dzari'ah
7. Perbuatan ahli Madinah
8. Hadis Mursal
9. Istihsan
10. Hadis Dho'if
Dan selain itu dari metode-metode yg digali para Ulama, namun tak ada diantaranya at-Tark.

فالترك لا يفيد حكمًا شرعيًا بمفرده، وهذا محل اتفاق بين المسلمين، وهناك من الشواهد والآثار على أن الصحابة رضى الله عنهم لم يفهموا من تركه صلى الله عليه وسلم التحريم ولا حتى الكراهة، وذلك ما فهمه الفقهاء عبر العصور.

وقد رد ابن حزم على احتجاج المالكية والحنفية على كراهة صلاة الركعتين قبل المغرب بسبب أن أبا بكر وعمر وعثمان كانوا لا يصلونها، حيث قال ما نصه : «وهذا لا شيء; أول ذلك أنه منقطع; لأن إبراهيم لم يدرك أحدًا ممن ذكرناه, ولا ولد إلا بعد قتل عثمان بسنين, ثم لو صح لما كانت فيه حجة; لأنه ليس فيه أنهم رضى الله عنهم نهوا عنهما, ولا أنهم كرهوهما, ونحن لا نخالفهم في أن ترك جميع التطوع مباح»( المحلى بالآثار)، فلم يتوقف كثيرًا ابن حزم أمام ترك الصحابة لصلاة الركعتين، وقال أن تركهم تلك الصلاة لا شيء، طالما أنهم لم يصرحوا بكراهتها، ولم ينقلوا ذلك.

Maka, At-Tark tidak memberikan faidah secara hukum syar'i dengan mandiri. Dan ini merupakan letak kesepakatan diantara kaum muslimin, dan disana terdapat syawahid dan atsar bahwasannya para sahabat Rodhiyallahu 'anhum tidak memahami bahwa tarkun Naby shollallahu 'alaihi wa sallam itu Haram, hingga tidak juga makruh. Dan seperti itu juga apa yg dipahami para Fuqoha (ahli fiqh) sepanjang masa.

Sungguh Ibnu Hazm menolak hujjah-hujjah Ulama Madzhab Maliky dan Madzhab Hanafy tentang kemakruhan sholat 2 rokaat sebelum maghrib dengan sebab Sayyidina Abu Bakr, sayyidina Umar, dan sayyidina 'Utsman tidak mengerjakannya, hingga beliau berkata apa yg di-nash-nya: Ini tidak apa-apa. Alasannya: Pertama, riwayat itu munqothi' (terputus). Ini karena Ibrahim tidak bertemu seorang pun dengan orang-orang yg kami sebutkan (Sayyidina Abu Bakr, sayyidina Umar, maupun sayyidina 'Utsman), dan beliau tidaklah lahir melainkan setelah terbunuhnya Sayyidina 'Utsman setelah beberapa tahun. Kemudian, seandainya riwayat ini shahih, tetap saja tak bisa dijadikan hujjah, karena tak ada di dalamnya bahwa mereka Rodhiyallahu 'anhum melarang melakukannya, juga tidak memakruhkannya, dan kami tidaklah menyelisihi mereka mengenai meninggalkan semua kesunatan itu mubah.  Maka Ibnu Hazm tidak bertawaquf pada banyak permasalahan mengenai  “Tarku” sahabat pada solat 2 rokaat. Beliau berkata, mereka meninggalkan sholat tsb itu tidak apa-apa selama mereka tidak menjelaskan kemakruhannya serta tidak menukil demikian.

وهذا مسلكه مع ترك الصحابة لعبادة، وكان ذلك عين موقفه من ترك النبي صلى الله عليه وسلم لعبادة أصلها مشروع حيث قال في الكلام على ركعتين بعد العصر : «وأما حديث علي بن أبي طالب فلا حجة فيه أصلا; لأنه ليس فيه إلا إخباره رضى الله عنه بما علم; من أنه لم ير رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاهما, وهو الصادق في قوله, وليس في هذا نهي عنهما, ولا كراهة لهما; [وما] صام عليه السلام قط شهرًا كاملًا غير رمضان; وليس هذا بموجب كراهية صوم [شهر كامل تطوعا]»( المحلى بالآثار)، فلقد فهم من ترك النبي صلى الله عليه وسلم صيام شهر كامل غير رمضان، لا يدل على حرمة ولا كراهة
صيام شهر كامل غير رمضان، حتى وإن كان النبي صلى الله عليه وسلم لم يفعله.

Ini adalah metode yg ditempuhnya mengenai “Tarku” Sahabat pada peribadatan. Dan pokok penempatannya adalah Tarku Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam pada ibadah yg asalnya adalah disyariatkan. Beliau berkata mengenai pembahasan solat 2 rokaat setelah Ashar : Hadis yg diriwayatkan Ali Bin Abi Tholib itu sama sekali tidak bisa digunakan hujjah mengenai hal ini. Karena beliau (Ali Bin Abi Tholib) hanya mengabarkan tentang keadaan Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan apa yg diketahuinya, sedangkan beliau (kebetulan) tidak/belum pernah melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam melakukannya (solat 2 rokaat setelah Ashar), dan beliau (Ali Bin Abi Tholib) adalah orang yg dibenarkan (bisa dipercaya) ucapannya. Dan riwayat ini bukanlah pelarangan untuk melakukannya serta bukan pula penghukuman makruh atasnya. Dan tidak pernahnya Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Romadhon, hal ini bukan berarti menunjukan wajibnya hukum Makruh pada puasa sunnah sebulan penuh. Sungguh dapat difahami dari “Tarku” Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam pada puasa sebulan penuh di selain bulan Romadhon pada perkara yg TIDAK MENUNJUKKAN ATAS KEHAROMAN DAN KEMAKRUHAN ATAS PUASA SEBULAN PENUH DI SELAIN BULAN ROMADHON, HINGGA MESKIPUN NABI SAW TIDAK PERNAH MELAKUKANNYA.

وقد ثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم ترك الخطبة على المنبر، وخطب على الجذع، ولم يفهم الصحابة أن الخطابة على المنبر بدعة ولا حرام، فقاموا بصنع منبر، له صلى الله عليه وسلم (أخرجه أحمد ، الترمذي ، والدارمي ، والبيهقي ، وابن أبي شيبة ، والطبراني ، وذكره الهيثمي في مجمع الزوائد، وعقبه ورجاله موثقون)، وما كانوا لهم أن يقدموا على فعل حرمه النبي صلى الله عليه وسلم ، فعلم أنهم كانوا لا يرون الترك بدعة.وقد ترك النبي صلى الله عليه وسلم في الصـلاة بعد رفع الرأس من الركوع : «ربنا ولك الحمد حمدًا كثيرًا ... إلى آخر الحديث، ولم يفهم الصحابي أن مجرد تركه للدعاء في الصلاة يوجب الحظر، وإلا كيف يقدم على شيء وهو يعتقد حرمته، ولم يعاتبه النبي صلى الله عليه وسلم على المسلك فلم يقل له مثلا: «أحسنت ولا تعد» أو نهاه عن إنشاء أدعية أخرى في الصلاة، وكما نعلم فإن تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز، والحديث رواه رفاعـة بن رافع الزرقي، قال : كنا يوما نصلى وراء النبي صلى الله عليه وسلم فلما رفع رأسه من الركعـة قال : « سمع الله لمن حمده ». قال رجل وراءه : ربنا ولك الحمـد، حمدًا كثيرًا طيبًا مباركًا فيه، فلما انصرف قال : «من المتكلم». قال : أنا. قال «رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول »( أخرجه أحمد ، والبخاري ، وأبو داود ، والنسائي ، ومالك في الموطأ، والبيهقي).ولم يفهم سيدنا بلال رضى الله عنه من ترك النبي صلى الله عليه وسلم لصلاة ركعتين بعد الوضوء عدم جواز ذلك، بل قام بذلك، ولم يخبر النبي صلى الله عليه وسلم ، وإنما لما سأله النبي صلى الله عليه وسلم قائلًا : « يا بلال حدثني بأرجى عمل عملته في الإسلام، فإني سمعت دف نعليك بين يدي في الجنة» . قال : ما عملت عملاً أرجى عندي، أنى لم أتطهر طهورًا في ساعة ليل أو نهار إلا صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلى» قال أبو عبد الله : دف نعليك يعنى تحريك»( أخرجه البخاري).فنحن نعلم أن الصلاة بعد الوضوء سارت سنة بعد إقرار النبي صلى الله عليه وسلم لها، ولكن نستدل بفهم الصحابة بجواز إنشاء أدعية وصلوات في أوقات تركها النبي صلى الله عليه وسلم ، ونستدل كذلك بعدم إنكار النبي صلى الله عليه وسلم على هذا المسلك والأسلوب، وعدم نهيهم عنه في المستقبل.فمما سبق نعلم أن مطلق الترك من النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة، وحتى القرون الثلاثة الخيرية، لا يفيد شيئًا، لا تحريم ولا كراهة ولا غيرهما، وهذا ما فهمه أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في حياته، ولم ينكر عليهم صلى الله عليه وسلم فهمهم، وفهمه العلماء من بعدهم، نسأل الله أن يفهمنا ديننا، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين، والله تعالى أعلى وأعلم.

Telah tsabit riwayat bahwa Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam “Tarku” Khutbah diatas mimbar dan beliau berkhutbah diatas batang pohon, sedangkan sahabat tidak memahami khutbah diatas mimbar itu sebagai BID’AH atau KEHAROMAN, maka kemudian mereka (para sahabat) berinisiatif untuk membuat mimbar  untuk Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam. Dan tiadalah Sahabat mendahului pada suatu perbuatan yg telah diharomkan Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam. Maka (dalam permasalhan ini) dapat diketahui bahwa sahabat tidak berpendapat bahwa “Tarku” (dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam) itu adalah PERBUATAN BID’AH. Dan “Tarku” Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam di dalam solat setelah mengangkat kepala dari Ruku’ pada bacaan : Robbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiron…… dst, sahabat tidak memahami bahwa murninya “Tarku” Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam pada doa tsb di dalam solat tidak mewajibkan timbulnya PELARANGAN, jika tidak difahami seperti itu, maka bagaimana bisa terjadi sahabat mendahului atas suatu perkara yg diyakini keharomannya ????? dan tiadalah Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam menegur tata cara tsb. Beliau tidak berkata semisal ucapan : “Kamu telah berbuat bagus namun Jangan Kamu ulangi !!!” atau beliau melarang untuk peciptaan doa2 lain di dalam solat. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa mengakhirkan penjelasan pada waktu hajat (diperlukan) adalah tidak diperbolehkan. Hadis (yg berkenaan dengan permasalahan diatas) adalah diriwayatkan oleh Rifa’ah Bin Rofi’ Az Zarqiy, beliau berkata : “Pada suatu hari kita sholat di belakang Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau berkata : “Sami’allohu liman hamidahu.” Seorang laki2 di belakang beliau berkata : “Robbanaa wa lakal hamdu, hamdan katsiiron thoyyiban mubaarokan fiihi.” Ketika sholat usai, beliau bertanya : “Siapa yg mengucapkan (demikian) ?” Laki2 tadi menjawab : “Saya.” Beliau berkata : “Aku menyaksikan tiga puluh lebih malaikat berebut mencatat pahala bacaaan itu.”. Al Hafidz Ibnu Hajar menyusuli hadis ini dengan ucapannya :

“HADIS TERSEBUT DIJADIKAN DALIL ATAS BOLEHNYA “IHDATS” (MEMBUAT KREASI BARU) DZIKIR YG TIDAK” MA’TSUR” (TIDAK DISEBUT/TERDAPAT DI DALAM HADIS) DALAM SHOLAT APABILA TIDAK MENYELISIHI/BERTENTANGAN DENGAN BACAAN YG “MA’TSUR”.” Maka apabila keadaan ini, yaitu mengenai penciptaan dzikir  tidak ma’tsur yg terjadi dalam sholat, maka urusan di luar sholat adalah lebih luas dalam bab “Aula” (lebih utama lagi untuk diperbolehkan).

 Dan sahabat Bilal Ra tidak memahami “Tarku” Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam pada sholat 2 rokaat setelah wudhu’ sebagai KETIDAKBOLEHAN hal tsb dilakukan. Bahkan beliau (Bilal) mengerjakannya tanpa memberitahukan kepada Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam. Dan ketika Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam menanyakan kepadanya denganberkata : “Wahai Bilal, ceritakan padaku tentang lebih diharapkannya amal yg kamu kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara dua buah sandalmu di hadapanku di dalam Surga.” Bilal menjawab : “Tiadalah Aku mengerjakan suatu amalan yg lebih Aku harapkan di sisiku. Hanya saja tiadalah Aku bersuci dengan suatu sucian baik di malam hari ataupun di siang hari kecuali Aku sholat dengan sebab sesuci tsb, yaitu perkara yg aku haruskan (untuk diriku sendiri) ketika akan melakukan sholat. Abu Abdillah berkata : “Yg dimaksud suara sandal yaitu yaitu gerakan (yg menimbulkan suara).”Kita mengetahui bahwa sholat setelah wudhu’ itu menjadi sunnah setelah adanya “Iqror “ (penetapan/persetujuan) dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam mengenainya, namun kita berdalil dengan kefahaman sahabat tentang kebolehan menciptakan doa2 dan sholat2 pada waktu Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam TIDAK PERNAH MELAKUKANNYA. Dan kita berdalil demikian dengan TIDAK ADANYA PENGINGKARAN NABI SAW ATAS METHODE DAN TATA CARA INI SERTA TIDAK ADANYA LARANGAN PARA SAHABAT PADA PERMASALAHAN INI DI MASA MENDATANG (SETELAHNYA).Maka dari keterangan yg telah lewat, kita mengetahui bahwa mutlaknya “Tarku” dari Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat bahkan sampai kurun abad ketiga yg disebut sebagai generasi terbaik, HAL INI TIDAK MEMBERIKAN FAIDAH/ KEFAHAMAN APAPUN, BUKAN  KEHARAMAN, BUKAN PEMAKRUHAN DAN BUKAN PULA PADA SELAIN KEDUANYA…. !!! Demikian ini adalah apa yg difahami oleh para sahabat Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam di masa hidupnya, dan Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengingkari kefahaman para sahabat, dan para ulama setelah merekapun memahami demikian. Kami memohon kepada Allah agar memberikan kefahaman kepada kita dalam masalah agama kita.

وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين، والله تعالى أعلى وأعلم.

DEFINISI BID'AH by Asy-Syekh Prof. Dr. 'Ali Jum'ah Muhammad [Mantan Mufti Agung Mesir]


ما هو معنى البدعة ؟ وكيف تعامل علماء الأمـة مع البدعة ؟ وما هو الفهم الصحيح لقضية البدعة ؟

لمعرفة معنى البدعة ومفهومها الصحيح، لابد أن نتعرف على معناها في اللغة، وكذلك معناها في الاصطلاح الشرعي، ونبدأ بالمعنى اللغوي.البدعة في اللغة :هي الـحَدَث وما ابْتُدِعَ من الدِّين بعد الإِكمال. ابن السكيت: البِدْعةُ كلُّ مُـحْدَثةٍ. وأَكثر ما يستعمل الـمُبْتَدِعُ عُرْفاً فـي الذمِّ. وقال أَبو عَدْنان: الـمبتَدِع الذي يأْتـي أَمْرًا علـى شبه لـم يكن ابتدأَه إِياه. وفلان بِدْعٌ فـي هذا الأَمر أَي أَوّل لـم يَسْبِقْه أَحد. ويقال: ما هو منّـي ببِدْعٍ و بَديعٍ... وأَبْدَعَ وابْتَدعَ وتَبَدَّع : أَتَـى بِبدْعةٍ، قال الله تعالـى: ورَهْبانِـيَّةً ابْتَدَعوها ... وبَدَّعه: نسَبه إِلـى البِدْعةِ. واسْتَبْدَعَه: عدَّه بَديعًا. والبَدِيعُ: الـمُـحْدَثُ العَجيب. والبَدِيعُ: و الـمُبْدِعُ. و أَبدعْتُ الشيء: اخْتَرَعْتُه لا علـى مِثال(لسان العرب، مادة (بدع)).البدعة في الشرع :هناك مسلكان للعلماء في تعريف البدعة في الشرع؛ المسلك الأول : وهو مسلك العز ابن عبد السلام؛ حيث اعتبر أن ما لم يفعله النبي صلى الله عليه وسلم بدعة وقسمها إلى أحكام حيث قال : «فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله صلى الله عليه وسلم. وهي منقسمة إلى : بدعة واجبة, وبدعة محرمة, وبدعة مندوبة, وبدعة مكروهة, وبدعة مباحة, والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة : فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة, وإن دخلت في قواعد التحريم فهي محرمة, وإن دخلت في قواعد المندوب فهي مندوبة, وإن دخلت في قواعد المكروه فهي مكروهة, وإن دخلت في قواعد المباح فهي مباحة»( قواعد الأحكام في مصالح الآنام).وأكد النووي على هذا المعنى؛ حيث قال : «وكل ما لم يكن في زمنه يسمى بدعة، لكن منها : ما يكون حسنا، ومنها : ما يكون بخلاف ذلك»( فتح الباري).والمسلك الثاني : جعل مفهوم البدعة في الشرع أخص منه في اللغة، فجعل البدعة هي المذمومة فقط، ولم يسم البدع الواجبة، والمندوبة، والمباحة، والمكروهة بدعًا كما فعل العز؛ وإنما اقتصر مفهوم البدعة عنده على المحرمة، وممن ذهب إلى ذلك ابن رجب الحنبلي - رحمه الله - ويوضح هذا المعنى فيقول « والمراد بالبدعة : ما أحدث مما ليس له أصل في الشريعة يدل عليه، وأما ما كان له أصل في الشرع يدل عليه فليس ببدعة، وإن كان بدعة لغة »( جامع العلوم والحكم).وفي الحقيقة فإن المسلكين اتفقا على حقيقة مفهوم البدعة، وإنما الاختلاف في المدخل للوصول إلى هذا المفهوم المتفق عليه وهو أن البدعة المذمومة التي يأثم فاعلها هي التي ليس لها أصل في الشريعة يدل عليها وهي المرادة من قوله صلى الله عليه وسلم : «كل بدعة ضلالة»( أخرجه أحمد ، ومسلم).وكان على هذا الفهم الواضح الصريح أئمة الفقهاء وعلماء الأمة المتبوعين، فهذا الإمام الشافعي رضى الله عنه فقد روى البيهقي عنه أنه قال : « المحدثات من الأمور ضربان، أحدهما : ما أحدث مما يخالف كتابًا، أو سنة، أو أثرًا، أو إجماعًا فهذه بدعة الضلالة، والثاني : ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهذه محدثة غير مذمومة»( رواه البيهقي بإسناده في كتاب " مناقب الشافعي " ، ورواه أيضا أبو نعيم في الحلية).وقال حجة الإسلام أبو حامد الغزالي رضى الله عنه : « ليس كل ما أبدع منهيا عنه، بل المنهي عنه بدعة تضاد سنة ثابتة، وترفع أمرا من الشرع »( الإحياء).وقد نقل الإمام النووي ـ رحمه الله ـ عن سلطان العلماء الإمام عز الدين ابن عبد السلام ـ حيث قال النووي : « قال الشيخ الإمام المجمع على جلالته وتمكنه من أنواع العلوم وبراعته، أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام - رحمه الله ورضي عنه - في آخر كتاب القواعد: «البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرمة ومندوبة ومباحة ... إلخ»( تهذيب الأسماء واللغات) وقال كذلك في مكان آخر في حديثه عن المصافحة عقب الصلاة: واعلم أن هذه المصافحة مستحبة عند كل لقاء, وأما ما اعتاده الناس من المصافحة بعد صلاتي الصبح والعصر، فلا أصل له في الشرع على هذا الوجه, ولكن لا بأس به, فإن أصل المصافحة سنة, وكونهم حافظوا عليها في بعض الأحوال، وفرطوا فيها في كثير من الأحوال أو أكثرها لا يخرج ذلك البعض عن كونه من المصافحة التي ورد الشرع بأصلها»( الأذكار).وقال ابن الأثير « البدعة بدعتان : بدعة هدى وبدعة ضلال، فما كان في خلاف ما أمر الله به رسوله صلى الله عليه وسلم فهو في حيز الذم والإنكار، وما كان واقعا تحت عموم ما ندب إليه وحض عليه فهو في حيز المدح .. ثم قال : « والبدعة الحسنة في الحقيقة سنة، وعلى هذا التأويل يحمل حديث : " كل محدثة بدعة " على ما خالف أصول الشريعة، ولم يخالف السنة»( النهاية).وكذلك لابن منظور كلام طيب في البدعة في الاصطلاح حيث قال - رحمه الله - «البِدْعةُ بدْعتان: بدعةُ هُدى، و بِدعة ضَلال، فما كان فـي خلاف ما أَمر الله به ورسوله، فهو فـي حَيِزّ الذّمِّ والإِنكار، وما كان واقعًا تـحت عُموم ما ندَب الله إِلـيه وحَضّ علـيه أَو رسولُه فهو فـي حيِّز الـمدح، وما لـم يكن له مِثال موجود كنَوْع من الـجُود والسّخاء وفِعْل الـمعروف فهو من الأَفعال الـمـحمودة.ولا يجوز أَن يكون ذلك فـي خلاف ما ورد الشرع به؛ لأَن النبـي صلى الله عليه وسلم قد جعل له فـي ذلك ثوابًا فقال: مَن سنّ سُنّة حسَنة كان له أَجرُها وأَجرُ مَن عَمِلَ بها، وقال فـي ضدّه: مَن سَنَّ سُنّة سيئة كان علـيه وِزْرها ووِزْر مَن عَمِلَ بها، وذلك إِذا كان فـي خلاف ما أَمر الله به ورسوله، قال : ومن هذا النوع قول عمر رضى الله عنه : نعمتِ البِدْعةُ هذه، لـمّا كانت من أَفعال الـخير وداخـلة فـي حيّز الـمدح سَماها بدعة ومدَحَها؛ لأَنَّ النبـي صلى الله عليه وسلم ، لـم يَسُنَّها لهم، وإِنما صلاَّها لَـيالِـيَ ثم تركها ولـم يحافظ علـيها ولا جمع الناس لها، ولا كانت فـي زمن أَبـي بكر؛ وإِنما عمر رضى الله عنه جمع الناسَ علـيها وندَبهم إِلـيها فبهذا سماها بدعة، وهي علـى الـحقـيقة سنَّة لقوله: علـيكم بسنّتـي وسنة الـخُـلفاء الراشدين من بعدي، وقوله: اقْتَدُوا باللذين من بعدي: أَبـي بكر وعمر، وعلـى هذا التأْويل يُحمل الـحديث الآخَر: كلُّ مُـحْدَثةٍ بدعة، إِنما يريد ما خالَف أُصولَ الشريعة ولـم يوافق السنة»( لسان العرب).كيف تعامل العلماء مع مفهوم البدعة :وتعامل جمهور الأمة من العلماء المتبوعين مع البدعة على أنها أقسام كما ظهر ذلك في كلام الإمام الشافعي، ومن أتباعه العز بن عبد السلام، والنووي، وأبو شامة. ومن المالكية : القرافي، والزرقاني. ومن الحنفية : ابن عابدين. ومن الحنابلة : ابن الجوزي. ومن الظاهرية : ابن حزم. ويتمثل هذا الاتجاه في تعريف العز بن عبد السلام للبدعة وهو : أنها فعل ما لم يعهد في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم. وهي منقسمة إلى بدعة واجبة ، وبدعة محرمة ، وبدعة مندوبة ، وبدعة مكروهة ، وبدعة مباحة(قواعد الأحكام في مصالح الآنام).وضربوا لذلك أمثلة : فالبدعة الواجبة : كالاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله ورسوله، وذلك واجب؛ لأنه لا بد منه لحفظ الشريعة، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. والبدعة المحرمة من أمثلتها : مذهب القدرية، والجبرية، والمرجئة، والخوارج. والبدعة المندوبة: مثل إحداث المدارس، وبناء القناطر، ومنها صلاة التراويح جماعة في المسجد بإمام واحد. والبدعة المكروهة : مثل زخرفة المساجد، وتزويق المصاحف. والبدعة المباحة: مثل المصافحة عقب الصلوات، ومنها التوسع في اللذيذ من المآكل والمشارب والملابس. واستدلوا لرأيهم في تقسيم البدعة إلى الأحكام الخمسة بأدلة منها :(أ) قول عمر رضى الله عنه في صلاة التراويح جماعة في المسجد في رمضان نعمت البدعة هذه. فقد روي عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال : خرجت مع عمر بن الخطاب رضى الله عنه ليلة في رمضان إلى المسجد، فإذا الناس أوزاع متفرقون، يصلي الرجل لنفسه، ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط. فقال عمر : إني أرى لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل، ثم عزم، فجمعهم على أبي بن كعب، ثم خرجت معه ليلة أخرى، والناس يصلون بصلاة قارئهم، قال عمر : نعم البدعة هذه، والتي ينامون عنها أفضل من التي يقومون. يريد آخر الليل. وكان الناس يقومون أوله. (أخرجه البخاري)(ب) تسمية ابن عمر صلاة الضحى جماعة في المسجد بدعة، وهي من الأمور الحسنة. روي عن مجاهد قال : دخلت أنا وعروة بن الزبير المسجد، فإذا عبد الله بن عمر جالس إلى حجرة عائشة، وإذا ناس يصلون في المسجد صلاة الضحى ، فسألناه عن صلاتهم، فقال : بدعة» (أخرجه البخاري ، ومسلم).(ج) الأحاديث التي تفيد انقسام البدعة إلى الحسنة والسيئة، ومنها ما روي مرفوعا : «من سن سنة حسنة، فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة، ومن سن سنة سيئة ، فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة » (أخرجه مسلم).ومما سبق يتضح أن هناك رؤيتين رؤية إجمالية: وهي التي ذهب إليها ابن رجب الحنبلي رضى الله عنه وغيره، وهو أن الأفعال التي يثاب المرء عليها ويشرع له فعلا لا تسمى بدعة شرعًا، وإن صدق عليها الاسم في اللغة، وهو يقصد أنها لا تسمى بدعة مذمومة شرعًا، والرؤية التفصيلية وهي ما ذكره العز بن عبد السلام رضى الله عنه وأوردناه تفصيلاً.ما ذُكر ينبغي للمسلم أن يحيط به في قضية باتت من أهم القضايا التي تؤثر في الفكر الإسلامي، وكيفية تناوله للمسائل الفقهية، وكذلك نظره لإخوانه من المسلمين، حيث يقع الجاهل في الحكم على الآخرين بأنهم مبتدعين وفساق والعياذ بالله بسبب جهله بهذه المبادئ التي كانت واضحة، وأصبحت في هذه الأيام في غاية الغموض والاستغراب، نسأل الله السلامة، والله تعالى أعلى وأعلم

Untuk mengetahui pengertian bid’ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid’ah, baik secara bahasa (etimologi) maupun secara istilah (terminologi).

Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologi):

Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid’ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid’ah (baca: mubtadi’) menurut kebiasaan terkesan tercela.

Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid’ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid’ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.

Bid’ah Menurut Istilah (Terminologi):

Ada dua metode yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid’ah menurut syara’:

Metode yang pertama: Metode yang dimotori oleh Al 'Izz bin Abdussalam (ulama madzhab Syafi’i), dia menganggap bahwa segala hal yang tidak pernah dilakukan Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam sebagai bid’ah. Bid’ah ini pun terbagi kepada hukum yang lima. Berikut perkataan Al Izz:

“Amal perbuataan yang belum pernah ada di zaman Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam atau tidak pernah dilakukan di zaman beliau terbagi lima macam: Bid’ah wajib, bid’ah haram, bid'ah sunah, bid'ah makruh, dan bid'ah mubah.

Adapun cara untuk mengetahui semua itu adalah dengan menghadapkan perkara yg dianggap bid’ah itu pada kaidah-kaidah syariat, jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip wajib maka perbuatan itupun menjadi wajib (bid’ah wajib), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip haram maka perbuatan itupun menjadi haram (bid’ah haram), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip sunah maka perbuatan itupun menjadi sunah (bid’ah sunah), jika ia masuk atau sesuai dengan kaidah atau prinsip mubah (boleh) maka perbuatan itupun menjadi mubah (bid’ah mubah). [Kitab Qowa'idul ahkam fii Mashoolihil Anam]

Makna tersebut juga dikatakan oleh Imam An-Nawawi yang berpendapat bahwa segala perbuatan yang tidak pernah ada di zaman Nabi dinamakan bid’ah, akan tetapi hal itu ada yang baik dan ada yang kebalikannya/buruk . [Kitab Fathul Bari]Cara kedua yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid’ah adalah: menjadikan pengertian bid’ah menurut syariat lebih khusus dari pada menurut bahasa. Sehingga istilah bid’ah hanya berlaku untuk suatu perkara yang tercela saja, dan tidak perlu ada penamaan bid’ah wajib, sunah, mubah dan seterusnya seperti yang diutarakan oleh Al Izz bin Abdussalam. Cara kedua ini membatasi istilah bid’ah pada suatu amal yang diharamkan saja. Cara kedua ini diusung oleh Ibnu Rajab Al Hambali, ia pun memjelaskan bahwa bid’ah adalah suatu perbuatan yang tidak memiliki dasar syariat yang menguatkannya, adapun jika suatu perbuatan ini memiliki dasar syariat yang menguatkannya maka tidak dinamakan bid’ah, sekalipun hal itu bid’ah menurut bahasa. [Kitab Jami’ Al Ulum Wa Al Hikam]

Sebenarnya kedua cara yang ditempuh para ulama ini sepakat mengenai hakikat pegertian bid’ah, perbedaan mereka terjadi pada pintu masuk yang akan mengantarkan pada pengertian yang disepakati ini, yaitu bahwa bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah yang berdosa jika megerjakannya, dimana perbuatan itu tidak memiliki dasar syar’i yang menguatkannya, inilah makna yang dimaksud dari sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Seitap perbuatan bid’ah itu sesat.”

Definisi yang jelas inilah yang dipegang oleh para ulama, ahli fikih dan imam yang diikuti. Imam Syafi’i —sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi— bahwa beliau berkata, “Perkara baru yang tidak ada di zaman nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dua ketagori, pertama, perkara baru yang bertolak belakang dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka itu termasuk bid’ah yang sesat (bid’ah dhalalah). Kedua, perkara baru yang termasuk baik (hasanah), tidak bertentangan dengan Al Qur`an, Sunnah, pendapat sahabat atau Ijma, maka perkara baru ini tidak tercela.” (Riwayat Al Baihaqi. Lih. kitab Manaqib Asy-Syafi’i, juga oleh Abu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Auliya`)

Sementara hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali berpendapat bahwa tidak semua perkara baru yang tidak dilakukan di zaman nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang, akan tetapi yang dilarang adalah perkara bid’ah yang bertolak belakang dengan Sunnah dan menghilangkan apa yang sudah ditetapkan syari’at. (Kitab Ihya` Ulumuddin)

Imam An-Nawawi telah menukil dari Sulthanul ulama, Imam Izzuddin bin Abdussalam, dia berkata di akhir kitab Qawa’id Al Ahkam (kaidah-kaidah hukum), “Bid’ah itu tebagi kepada wajib, sunah, mubah, haram dan makruh…” di kesempatan lain, dalam pembicaraan tentang hukum bersalaman usai shalat, dia juga berkata, “Ketahuilah bahwa bersalaman ini disunahkan pada setiap pertemuan, adapun orang-orang membiasakan bersalaman pada setiap kali usai shalat maka ini tidak ada dasarnya sama sekali, akan tetapi hal itu tidak mengapa dilakukan, karena dasar bersalaman itu adalah Sunnah. Adapun mereka yang membiasakannya pada kondisi tertentu seperti usai shalat maka hal ini tidak keluar dari keberadaan bersalaman yang disinggung oleh dasar syariat (Sunnah). (Kitab Al Adzkar)

Adapun Ibnu Al Atsir berkata, “Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah huda (yang berpetunjuk) dan bid’ah dhalal (sesat), jika perkaranya bertolak belakang dengan apa yang diperintahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam maka itu termasuk tercela dan dikecam. Jika perkara itu termasuk yang disunahkan dan dianjurkan maka perkara itu terpuji… dia pun menambahkan: bid’ah yang baik pada dasarnya adalah sunah. Karena itu hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwa setiap perkara baru itu bid’ah.” Dipahami jika perkara baru itu bertentangan dengan dasar-dasar syariat dan bertolak belakang dengan Sunnah.” (Kitab An-Nihayah, karangan Ibnu Al Atsir)

Ibnu Al Manzhur juga memiliki pendapat yang bagus mengenai definisi bid’ah secara istilah syar’i, menurutnya: Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah berpetunjuk (huda) dan bid’ah yang sesat (dhalal). Jika perkara itu bertolak belakang dengan perintah Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk tercela dan dikecam. Adapun jika perkaranya termasuk atau sesuai dengan apa yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya maka itu termasuk perkara terpuji. Adapun perkara yang tidak ada contohnya di zaman nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam seperti macam-macam jenis kebaikan dan kedermawanan serta perbuatan baik lainnya maka itu termasuk perbuatan yang terpuji.Perkara baru ini tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar syariat, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam telah menilai perbuatan ini (yang sesuai dengan dasar-dasar syari’at) berhak mendapatkan pahala: beliau bersabda, “Siapa yang memulai perbuatan baik maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya.” Pada perbuatan kebalikannya beliau bersabda pula, “Siapa yang memulai suatu kebiasaan buruk, maka dia mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengamalkannya.” Hal itu terjadi jika perbuatannya bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Begitupula dengan yang dikatakan Umar, “Ini (shalat Tarawih berjama’ah) bid’ah yang baik”. Jika perbuatan itu termasuk katagori kebaikan dan terpuji maka dinamakannya dengan bid’ah yang baik dan terpuji, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyunahkan shalat Tarawih secara berjamaah kepada mereka, Rasulullah hanya melakukannya beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak lagi mengumpulkan jamaah untuk melakukan shalat Tarawih. Praktik shalat Tarawih berjamaah ini juga tidak dilakukan pada masa Abu Bakar. Namun hal itu dipraktikkan di masa Umar bin Al Khaththab, belia menganjurkannya serta membiasakannya, sehingga Umar menamakannya dengan bid’ah pula, namun pada hakikatnya praktik tersebut adalah sunah, berdasarkan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Ikutilah Sunnahku, dan sunah khulafa rasyidun setelahku.” Juga sabda beliau lainnya, “Ikuti orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali…” Adapun hadits nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap perkara baru adalah bid’ah” dipahami jika perkara itu bertolak belakang dengan dasar-dasar syariat dan tidak sesuai dengan Sunnah. (Kamus Lisanul ‘Arab)

Sikap Para Ulama terhadap Definisi Bid’ah:

Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa bid’ah terbagi beberapa macam, hal ini nampak pada pendapat imam Syafi’i dan para pengikutnya seperti, Al Izzu bin Abdussalam, An-Nawawi dan Abu Syamah. Dari Madzhab Maliki seperti, Al Qarafi dan Az-Zarqani. Dari Madzhab Hanafi, seperti Ibnu Abidin. Dari Madzhab Hambali, seperti Ibnu Al Jauzi. Dari madzhab Zhahiriyah, seperti Ibnu Hazm.

Semua ini tercermin dalam definisi yang diberikan Al Izz bin Abdussalam mengenai bid’ah, yaitu perbuatan atau amal yang tidak pernah ada di zaman Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, dan hal ini tebagi pada bid’ah wajib, sunah, haram, makruh dan mubah.

Para ulama ini memberikan contoh-contoh mengenai pembagian bid’ah ini:

a. Bid’ah wajib: seperti mempelajari ilmu nahwu dan sharaf (gramatika bahasa Arab) yang dengannya dapat memahami kalam Ilahi dan sabda Rasulullah. Ini termasuk bid’ah wajib, karena ilmu ini berfungsi untuk menjaga kemurnian syariat, sebagaimana dijelaskan dalam kaidah fikih,

مَا لاَيَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Sesuatu yang tanpanya kewajiban tidak akan berjalan sempurna maka sesuatu itu pun menjadi wajib hukumnya.”

b. Bid’ah haram: seperti pemikiran sekte Al Qadariyah, sekte Al Jabariyah, sekte Al Murji`ah dan sekte Al Khawarij, paham bahwa Al Qur`an adalah produk budaya, dan paham bahwa zamant ini masih jahiliyah shingga hukum-hukum Islam belum bisa diterapkan, dan lain sebagainya.

c. Bid’ah sunah: seperti merenovasi sekolah, membangun jembatan, shalat tarawih secara bejamaah dengan satu imam, dan adzan dua kali pada shalat Jum’at.

d. Bid’ah makruh: seperti menghiasi atau memperindah Masjid dan Kitab Al Qur`an.

e. Bid’ah mubah: seperti, bersalaman usai shalat jamaah, tahlil, memperingati Maulid Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa dan membaca Al Qur`an di kuburan, dzikir secara berjamaah dengan dipimpin imam usai shalat, dzikir dengan suara keras secara berjamaah, dan keanekaragaman bentuk pakaian dan makanan.

Mengenai bid’ah mubah ini diperlukan sikap toleransi yang tinggi di kalangan umat Islam untuk menjaga persatuan dan persaudaraan yang hukumnya wajib, artinya siapa saja boleh melakukan dan meninggalkannya, jangan sampai ada pemaksaan sedikitpun dalam melakukannya apalagi saling merasa benar atau menyalahkan kelompok lainnya.

Adaun dalil yang menjadi dasar pembagian bid’ah ini menjadi lima adalah:

1. Perkataan Sayyidina Umar tentang shalat tarawih berjamaah di masjid pada bulan Ramadhan dengan mengatakan,  نعمت البدعة هذه

(Sebaik-baik bid'ah adalah ini).

Diriwayatkan dari Abdurrahaman bin Abdul Qari, dia berkata: aku keluar rumah bersama Umar bin Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Kami menyaksikan orang-orang terbagi-bagi, masing masing melakukan shalat sendirian. Kemudian Umar berkata, “Aku berpandangan andai saja aku bisa mengumpulkan mereka pada satu imam maka ini lebih baik dan ideal.” Beliaupun bertekad mengumpulkan mereka dengan imamnya Ubai bin Ka’ab. Kemudian aku keluar ke masjid pada hari berikutnya bersama beliau, kamipun melihat orang-orang sedang shalat dibelakang satu imam. Umar lalu berkata, “Ni’matil bid’atu hadzihi (inilah sebaik-baik bid’ah). Adapun melakukannya di akhir malam maka itu lebih afdhal daripada melakukannya di awal malam.” (HR. Bukhari)

2. Abdullah bin Umar menilai shalat Dhuha yang dilakukan secara berjamaah di masjid adalah bid’ah, padahal itu merupakan perkara baik.

Diriwayatkan dari Mujahid, dia berkata: aku dan Urwah bin Zubair masuk masjid, ternyata ada Abdullah bin Umar sedang duduk di samping serambi rumah Aisyah, lalu ada sekelompok orang melakukan shalat Dhuha secara berjamaah, kamipun menanyakan hukum shalat mereka ini kepadanya, diapun menjawab, “Bid’ah”. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Hadits-hadits yang menunjukkan pembagian bid’ah menjadi bid’ah baik dan buruk diantaranya adalah yang diriwayatkan secara marfu’ (shahih dan sampai pada nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam):

“Siapa yang memulai suatu perbuatan baik maka ia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Siapa yang memulai suatu perbuatan buruk maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)

Dari apa yang disampaikan dapat kita simpulkan bahwa mengenai bid’ah ini ada dua pandangan para ulama: pertama, seperti yang dikemukan oleh Ibnu Rajab Al Hambali dan selainnya, bahwa semua perbuatan yang diberi pahala dan disyariatkan melakukannya tidak dinamakan bid’ah, sekalipun hal itu pantas dinamakan bid’ah dari segi bahasa, yaitu perbuatan baru yang belum pernah ada yang melakukannya, akan tetapi penamaan bid’ah terhadap perbuatan ini tidak dimaksudkan sebagai bid’ah yang tercela apalagi sesat.

Kedua, pandangan perincian macam-macam bid’ah seperti yang dikemukakan oleh Al Izz bin Abdissalam sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.

Sementara sikap kita sebagai muslim terhadap masalah yang cukup penting ini yang mempengaruhi pemikiran Islam, masalah-masalah fikih, juga pandangan atau sikap kita terhadap saudara-saudara semuslim kita lainnya, sehingga janganlah dengan mudah kita mengklaim mereka yang melakukan bid’ah hasanah (yang baik) itu sebagai pelaku bid’ah yang sesat dan fasiq (wal ‘iyadzu billah/kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal itu), hal ini terjadi karena ketidaktahuan dengan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang telah jelas tersebut, sehingga masalah inipun menjadi samar dan aneh di kalangan umat Islam. Wallahu a’lam.

Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=599565036735402&set=a.368370173188224.88854.218877084804201&type=1&theater

MUSLIMAH YANG TIDAK MEMAKAI JILBAB, APAKAH SHOLAT DAN PUASANYA DITERIMA?


الزي الشرعي للمرأة المسلمة هو أمر فرضه الله تعالى عليها، وحرم عليها أن تُظهِر ما أمرها بستره عن الرجال الأجانب، والزي الشرعي هو ما كان ساترًا لكل جسمها ما عدا وجهها وكفيها؛ بحيث لا يكشف ولا يصف ولا يشف.
والواجبات الشرعية المختلفة لا تنوب عن بعضها في الأداء؛ فمن صلى مثلًا فإن ذلك ليس مسوِّغًا له أن يترك الصوم، ومن صلت وصامت فإن ذلك لا يبرر لها ترك ارتداء الزي الشرعي.
والمسلمة التي تصلي وتصوم ولا تلتزم بالزِّيِّ الذي أمرها الله تعالى به شرعًا هي محسنةٌ بصلاتها وصيامها، ولكنها مُسيئةٌ بتركها لحجابها الواجب عليها، ومسألة القبول هذه أمرها إلى الله تعالى، غير أن المسلم مكلَّفٌ أن يُحسِنَ الظن بربه سبحانه حتى ولو قارف ذنبًا أو معصية، وعليه أن يعلم أنَّ من رحمة ربِّه سبحانه به أنْ جعل الحسنات يُذهِبْنَ السيئات، وليس العكس، وأن يفتح مع ربه صفحة بيضاء يتوب فيها من ذنوبه، ويجعل شهر رمضان منطَلَقًا للأعمال الصالحات التي تسلك به الطريق إلى الله تعالى، وتجعله في محل رضاه. وعلى المسلمة التي أكرمها الله تعالى بطاعته والالتزام بالصلاة والصيام في شهر رمضان أن تشكر ربها على ذلك بأداء الواجبات التي قصَّرَت فيها؛ فإنّ من علامة قبول الحسنة التوفيقَ إلى الحسنة بعدها. والله سبحانه وتعالى أعلم.

Memakai pakaian islami bagi seorang muslimah merupakan suatu kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah. Seorang muslimah diharamkan menampakkan bagian anggota tubuhnya yang oleh syarak diperintahkan untuk ditutup dari pandangan lelaki asing. Pakaian islami adalah sebuah pakaian yang menutup semua bagian tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan, dengan memenuhi tiga syarat, yaitu tidak menampakkan bagian tubuh, tidak membentuk lekuk tubuh dan tidak transparan.

Adapun kewajiban-kewajiban di dalam agama Islam maka ia tidak bisa saling menggantikan. Oleh karena itu, orang yang melakukan shalat misalnya, tetap tidak boleh meninggalkan puasa. Begitu pula, seorang muslimah yang berpuasa tidak diizinkan meninggalkan pakaian islami.

Seorang muslimah yang melakukan shalat dan puasa namun tidak memakai pakaian islami yang diperintahkan oleh Allah, maka dia telah berbuat baik dengan puasa dan shalatnya itu, namun dalam waktu yang sama dia telah berdosa karena tidak memakai jilbab yang wajib ia pakai. Adapun mengenai diterima atau tidaknya sebuah ibadah yang dilakukan oleh seseorang maka Allah-lah yang menentukannya. Namun, walau bagaimanapun, seorang muslim harus berprasangka baik kepada Allah meski dia telah melakukan dosa atau perbuatan maksiat. Dia juga hendaknya mengetahui bahwa merupakan rahmat dan kasih sayang Allah Ta'ala terhadap hamba-Nya, Allah berkenan menghapuskan perbuatan buruk hamba-Nya dengan perbuatan baik yang dia lakukan, bukan sebaliknya. Hendaknya dia membuka lembaran baru dengan Tuhannya serta menjadikan bulan Ramadhan sebagai starting point untuk melakukan amal-amal saleh yang merupakan jalan menuju Allah dan memperoleh ridha-Nya.

Seorang muslimah yang dianugerahi Allah dengan dapat menunaikan ketaatan berupa kesinambungan dalam melaksanakan shalat dan puasa di bulan Ramadhan, hendaknya bersyukur kepada Allah dengan menunaikan kewajiban-kewajiban lain yang dia tinggalkan. Karena, diantara tanda diterimanya kebaikan adalah mendapatkan kemudahan dan pertolongan untuk melakukan kebaikan-kebaikan lain setelah itu.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

[Darul Ifta al-Mishriyyah]