Rabu, 27 November 2013

ISTILAH KITAB-KITAB KLASIK (KHAZANAH INTELEKTUALITAS ULAMA)



Ketika mempelajari karakteristik kitab-kitab klasik, kita akan mendapatkan banyak istilah yang ber­ke­na­an dengannya. Adanya istilah-isti­lah itu merupakan salah satu bukti tradisi il­miah yang berkembang dalam khaza­nah pengetahuan Islam.



Matan
Berasal dari kata matn, yang ber­mak­­na keras (salb, sinonimnya). Bila kata matn disandingkan dengan kata lughah (matn al-lughah), berarti asal-usul, kosa­kata, dan lafal suatu bahasa. Bila dihu­bungkan dengan kata kitab (matn al-kitab), berarti teks asli kitab. Contoh kitab matan ini seperti kitab fiqih Al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Abu Syuja, Az-Zubad, karya Ibn Ruslan, dan kitab tata bahasa Arab, seperti Al-Bina wa al-Asas serta Al-Ajurumiyyah.
Kitab matan ini terkadang juga di­susun dalam bentuk nazham (syair), se­perti kitab Az-Zubad, Alfiyyah Ibn Malik, Al-‘Imrithi, Manzhumah al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, Aqidah al-‘Awam, karya Syaikh Ahmad Al-Marzuqi.
Dalam wacana keilmuan Islam pada perkembangan berikutnya, istilah matan atau bentuk jamaknya, mutun, bermakna kitab-kitab pokok yang menjadi pegang­an madzhab dan rujukan utama bagi madz­hab tersebut. Istilah matn yang spesifik ini berkembang terutama dalam Madzhab Hanafi, seperti kitab Al-Mukhtashar, karya Abu Al-Husain bin Ahmad bin Muham­mad Al-Kuduri, kitab Bidayah al-Mubtadi, Ad-Durr al-Mukhtar, dan Multaqa al-Abhur.

Syarah
Sebagai kata, memiliki arti yang ba­nyak, di antaranya memotong (qatha’a), menyingkap (kasyafa), membuka (fata­ha), memahami (fahima), menjelaskan (bayyana), menafsirkan (fassara), dan memperluas (wassa’a).
Dalam istilah fiqih, syarah bisa berarti penjelasan suatu istilah atau suatu kitab secara keseluruhan. Kitab syarah selalu dibarengi dengan teks asli (matan) dari kitab yang diulasnya. Contohnya, kitab Al-Majmu’, karya An-Nawawi, yang mensya­rah kitab Al-Muhadzdzab, karya Abu Ishaq Asy-Syirazi, dan kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupakan syarah kitab Al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Syaikh Abu Syuja‘. Ada juga kitab Al-Kharit ‘ala Manzhumah al-Yawaqit oleh Sayyid Muhammad bin Hasyim Bin Thahir atas Manzhumah al-Yawaqit, karya Sayyid Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri. Begitu pula dengan Al-Muwaththa‘, karya Imam Malik, yang disyarah oleh Ibnu Salamah Al-Ahfasyi da­lam karyanya Tafsir Gharib al-Mu­wath­tha‘, kitab Kifayah al-‘Awam, yang disya­rah Al-Bantani dengan karya ber­judul ‘Aqidah al-‘Awam, kitab ar-Risalah, karya Al-Qairawani Al-Maliki, yang di­syarah Ibn Al-Fakhkhar Al-Judzami de­ngan karya berjudul Nash al-Maqalah fi Syarh ar-Risalah, kitab Al-Kharraj, karya Imam Abu Yusuf Al-Hanafi, yang disya­rah oleh Ibnu Muhammad Ar-Rahibi de­ngan karya berjudul Fiqh al-Muluk ‘ala Khizanah Kitab al-Kharaj.
Munculnya syarah atas suatu kitab matan adalah bukti aktivitas ilmiah dan akademis di kalangan ulama masa lam­pau. Upaya syarah sangat dibutuhkan un­tuk menerjemahkan maksud penulis kitab matan bagi para pembacanya, sehingga mereka dapat memahami teks-teks ter­sebut.
Tradisi syarah ini berkembang pesat setelah mapannya pembentukan madz­hab fiqih (tadwin al-madzahib) sekitar abad ke-3 H/8 M, bahkan kegiatan sya­rah telah muncul di masa tabi’in, ketika mereka melakukan syarah atas warisan karya yang ditinggalkan masa sahabat. Abu Zinad Abdullah bin Zakwan (w. 131 H/748 M), misalnya, mensyarah kitab Al-Fara‘idh, yang ditulis Zaid bin Tsabit (w. 45 H/665 M). Matan dan syarah bidang ilmu waris ini dinukil oleh Abu Bakar Ahmad Al-Baihaqi dalam kitabnya As-Sunan al-Kubra, sebuah kitab induk dalam hadits.

Hasyiyah
Sebagai kata, hasyiyah berarti ang­gota badan yang berada di dalam perut, seperti limpa dan jantung. Juga dapat ber­arti bagian pinggir baju. Jika artinya di­gabungkan dengan kitab (hasyiyah al-kitab), berarti catatan yang ditulis me­nyangkut isi kitab tersebut.
Dalam konteks fiqih, istilah hasyiyah merupakan penjelasan yang lebih luas dari syarah. Pada umumnya, hasyiyah merupakan tangga penjelasan ilmiah kedua atas karya matan setelah syarah. Contohnya, kitab Fath al-Qarib, karya Ibn Al-Qasim Al-Ghuzzi, yang merupa­kan syarah kitab Al-Ghayah wa at-Taq­rib, yang diberikan catatan tambahan dan perluasan oleh Ibrahim Al-Bajuri dalam karyanya Hasyiyah Al-Bajuri. Ada juga hasyiyah di bidang tafsir, seperti hasyiyah Syaikh Ahmad Ash-Shawi Al-Maliki atas kitab tafsir karya dua ulama agung, As-Suyuthi dan Al-Mahalli, yang dikenal dengan Hasyiyah Ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn.
Namun ada juga kitab hasyiyah, se­bagaimana yang dinamakan sendiri oleh penulisnya, yang mensyarah kitab ma­tan, langsung tanpa melalui syarahnya. Salah satu contohnya adalah karya Syaikh Abdullah bin Fadhl Asy-Syaikh Al-Asy­mawi atas kitab Matn al-Ajrumiy­yah yang berjudul Hasyiyah al-Asymawi.
Hasyiyah digunakan untuk menjelas­kan lebih jauh materi yang terdapat di kitab matan dan kitab syarah. Biasanya persoalan-persoalan yang kurang trans­paran dalam matan dan syarah diper­jelas lagi dalam karya yang disebut hasyiyah ini.

Mukhtashar
Sebagai kata mukhtashar berarti ringkasan, intisari. Istilah ini sepadan dengan kata khulashah dan mujaz.
Mukhtashar merupakan salah satu bentuk kreativitas ilmiah dalam sejarah intelektual Islam, karena tujuan penulis­an karya-karya ini untuk menyusun isi suatu kitab secara ringkas, sistematis, dan tematis, sehingga memudahkan ge­nerasi pelajar berikutnya untuk mema­hami dan menyelami pemikiran-pemikir­an pokok sang penulis.
Banyak kitab matan yang diringkas, seperti kitab Ihya ‘Ulum ad-Din, yang diringkas oleh pengarangnya sendiri, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muham­mad Al-Ghazali, yang disebut Mukh­tashar al-Ihya. Al-Musnad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, yang diringkas oleh putranya, Abdullah bin Ahmad, dengan judul Tsulatsiyyat. Contoh lainnya, kitab Mukhtashar al-Mudawwanah, karya Al-Qairawani, yang merupakan ringkasan kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, karya Abdussalam bin Said At-Tanukhi, kitab Asy-Syafi fi Ikhtishar al-Kafi, karya Abu Al-Baqa Al-Qurasyi, yang merupakan ringkasan kitab Al-Kafi fi al-Fiqh, karya Abu al-Fadhl Muhammad Al-Marwazi.

Hawamisy
Sebagai kata, hawamisy adalah ben­tuk jamak hamisy, yang artinya uraian pan­jang lebar atau kumpulan. Jika dikait­kan dengan kata kitab (hamisy al-kitab), artinya memberi penjelasan atas syarah atau hasyiyah, maupun ta’liqat (catatan-catatan berupa penilaian, sikap, kritik ter­hadap matan kitab atau hasil studi ter­hadap dalil/nash yang ada dalam kitab matan tersebut).
Dalam tradisi literatur, hamisy atau hawamisy ini adalah tulisan yang biasa­nya berada di luar margin kitab sumber­nya, baik berbentuk syarah, hasyiyah, maupun lain­nya. Contoh, Hasyiyah Al-Qalyubi wa Al-Umairah, yang berada di luar margin kitab Minhaj ath-Thalibin, karya Imam An-Nawawi. Artinya, hasyi­yah ini posisinya sebagai hamisy. Tapi ada juga yang di dalam margin.
Ada pula yang matannya diletakkan di luar margin, sehingga matan kitab itu disebut hamisy, seperti kitab Faydh al-Ilah al-Malik, karya Umar bin Muham­mad Al-Barakat, yang di luar margin kitab ma­tannya, ‘Umdah as-Salik wa ‘Uddah as-Salik, karya Syihabuddin Ahmad Al-Mishri. Maka karya yang disebut terakhir adalah sebagai hamisy-nya.




Minggu, 17 November 2013

Hukum Penambahan Nama Suami di Belakang Nama Istri


اطلعنا على البريد الإلكتروني المقيد برقم 1835 لسنة 2008م المتضمن:
الزواج في فرنسا يجعل الزوجة تحمل اسم زوجها. فما رأي الدين في ذلك؟ وهل يعيب المسلم أن يفعل ذلك؟

Memperhatikan permohonan fatwa No. 1835 tahun 2008 yang berisi:
    Di Prancis, pernikahan membuat seorang istri menambahkan nama suaminya di belakang namanya. Apa hukum masalah ini? Apakah seorang muslim tercela kalau melakukannya?

الـجـــواب : أمانة الفتوى 

 العرف الغربي قائم على أن البنت إذا لم تكن متزوجةً فإنها تُذكَر باسم أبيها وعائلتها، أما إذا كانت المرأة متزوجة فإنه يُضاف إلى اسمها لقب عائلة زوجها، وذلك بعد وصفها بكونها متزوجة بالمصطلح المفهوم من ذلك عندهم وهو: "مسز" أو "مدام" أو نحو ذلك، فتصير إضافة لقب عائلة الزوج حينئذ إلى اسم الزوجة في مثل هذا العرف قائمةً مقام قولنا: "فلانة متزوجة من عائلة فلان"، وهو نوع من التعريف الذي لا يوهم النسبة عندهم بحال، وباب التعريف واسع؛ فقد يكون بالولاء كما في: عكرمة مولى ابن عباس، وقد يكون بالحرفة كما في: الغزالي، وقد يكون باللقب أو الكنية، كالأعرج والجاحظ وأبي محمد الأعمش، وقد يُنسَب إلى أمه مع معرفة أبيه كما في: إسماعيل ابن عُلَيَّة، وقد يكون بالزوجية كما ورد في القرآن من تعريف المرأة بإضافتها إلى زوجها في مثل قوله تعالى: ﴿امْرَأَةَ نُوحٍ وَامْرَأَةَ لُوطٍ﴾ [التحريم: 10]، ﴿امْرَأَةَ فِرْعَوْنَ﴾ [التحريم: 11].
وقد روى البخاري ومسلم من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه «أَنَّ زَيْنَبَ امْرَأَةَ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَاءَتْ تَسْتَأْذِنُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْكَ، فَقَالَ: أَيُّ الزَّيَانِِبِ؟ فَقِيَلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: نَعَمْ؛ ائْذَنُوا لَهَا, فَأُذِنَ لَهَا».
والمحظور في الشرع إنما هو انتساب الإنسان إلى غير أبيه بلفظ البنوة أو ما يدل عليها، لا مطلق النسبة والتعريف، وقد يشيع بعض هذه الأشكال من التعريف في بعض الأماكن أو في بعض الأحوال ويغلب في الإطلاق حتى يصير عُرفًا، ولا حَرج في ذلك ما دام لا يوهم الانتساب الذي يأباه الشرع، وهو الانتساب بلفظ البنوة أو معناها إلى غير الأب، كما أن ذلك لايُعَدُّ من التشبه المذموم شرعًا؛ إذ التشبه إنما يكون حرامًا بشرطين: أن يكون الفعل المتشبَّه به منهيًّا عنه في نفسه، وأن يكون المتشبِّه يقصد التشبه، فإذا انتفى أحد الشرطين لم يُذَمَّ الفاعل شرعًا؛ ومما يدل على ذلك ما رواه الإمام مسلم في صحيحه 624 عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: «اشْتَكَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ وَهُوَ قَاعِدٌ، فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا فَرَآنَا قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْنَا فَقَعَدْنَا، فَلَمَّا سَلَّمَ قَالَ: إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ؛ يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُمْ قُعُودٌ فَلَا تَفْعَلُوا، ائْتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ؛ إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا».
و"كاد" تدل في الإثبات على انتفاء خبرها مع مقاربة وقوعه، وفعل فارس والروم وقع منهم فعلا لكن الصحابة لَمّا لم يقصدوا التشبه انتفى ذلك الوصف عنهم شرعًا.
ولذلك قال العلامة ابن نُجَيم الحنفي في (البحر الرائق 2/ 11): "اعلم أن التَّشَبُّهَ بأهل الكتاب لا يُكرَه في كل شيء، وإنا نأكل ونشرب كما يفعلون، إنما الحرام هو التشبه فيما كان مذمومًا وفيما يقصد به التشبه". اهـ. وليس في إضافة لقب عائلة الزوج إلى اسم زوجته ما ينفي نسبَها إلى أبيها، بل هو من باب التعريف كما سبق. وإنما أتى اشتباه التحريم مِن غلبة حذف كلمة ابن في الاسم بين الابن وأبيه، وهذا وإن كان قد يمكن توجيهه بالحذف لكثرة الاستعمال تخفيفًا إلا أنه أَورث اللَّبس في الأسماء المركبة وغيرها مما لا يُقصَد به النسب، وهذا ما دعا بعضَ الجهات الرسمية إلى إلغاء الأسماء المركبة؛ لإيهامها النسب بين جزأي المركَّب؛ لأن حذف كلمة ابن بين المنتسبين صار أشبهَ بالعرف العام، فقد يتجه حينئذ منعُ إضافة لقب عائلة الزوج لاسم الزوجة بين أصحاب هذا العرف؛ لإيهامه النسب الشرعي، لكنَّ الأمر يختلف عند وجود العرف بإضافة لقب عائلة الزوج لاسم الزوجة مع وضوح القرينة التي تنفي كونَ هذا نسبًا شرعيًّا -وهي هنا وصفها بكونها امرأة متزوجة: "مسز" أو "مدام" أو نحوهما-، وطالما أن هذا العرف لا يخالف الشرع فالأخذ به جائز لا حرج فيه إن شاء الله تعالى، والشرع الشريف قد اعتبر الأعراف -ما لم تخالفه- وجعلها مُحَكَّمةً؛ حتى صار مِن قواعد الفقهاء الكلية أن: "العادة مُحَكَّمة"، ولم يَدعُ المسلمين إلى التَّمَرُّد عليها أو تَقَصُّدِ مخالفتها؛ وذلك سعيًا وراء اندماجهم في مجتمعاتهم وعدم انعزالهم عنها، مما يمكنهم من التعايش والدعوة إلى صحيح الدين من غير صدام ولا نزاع مفتعل، وذلك كله فيما لا تعارض فيه مع أصل من الأصول الشرعية.

والله سبحانه وتعالى أعلم.

Jawaban : Dewan Fatwa 

    Dalam tradisi masyarakat Barat, seorang anak perempuan jika belum menikah maka di belakang namanya disebutkan nama ayah dan keluarganya. Namun, setelah menikah maka ia harus menambahkan nama keluarga suaminya setelah namanya. Selain itu, perempuan yang telah menikah juga harus memberikan penjelasan di depan namanya bahwa ia telah menikah, yaitu dengan meletakkan kata Mrs., Madam, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam kebiasaan masyarakat Barat ini, penambahan nama keluarga suami di belakang nama istri adalah seperti sebuah penjelasan bahwa perempuan itu telah menikah dengan seseorang dari keluarga suaminya. Menurut mereka, penggunaan model penjelasan seperti ini sama sekali tidak memunculkan kesalahpahaman adanya hubungan darah.

    Pemberian identitas bersifat lapang dan fleksibel sehingga dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Contohnya penjelasan identitas dengan hak wala` --misalnya: Ikrimah maula Ibnu Abbas--, dengan pekerjaan –misalnya: al-Ghazzali (tukang tenun)—dan dengan gelar –seperti al-A'raj (si pincang), al-Jahizh (yang matanya melotot), Abu Muhammad--. Terkadang seseorang juga dinisbatkan kepada ibunya meskipun nama ayahnya diketahui, seperti Ismail ibnu Ulayyah. Dapat pula dengan hubungan pernikahan, seperti dalam ayat: "imra`atu Nuh dan imra`atu Luth" (at-Tahrîm: 10) dan ayat: "imra`atu Fir'aun" (at-Tahrîm: 11). Makna asli imra`ah adalah perempuan, sehingga makna asli dari kata-kata tersebut adalah "perempuan Nuh", "perempuan Luth" dan "perempuan Fir'aun". Namun ketika kata "perempuan" ini disandingkan dengan nama lelaki yang merupakan suaminya, maka maksudnya adalah istrinya.

    Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri rodhiyallahu ‘anhu bahwa Zainab istri Ibnu Mas'ud rodhiyallau ‘anhumaa datang kepada beliau dan meminta izin untuk bertemu. Lalu salah seorang yang ada di rumah berkata, "Wahai Rasulullah, Zainab meminta izin untuk bertemu." "Zainab siapa?" tanya beliau. "Istri Ibnu Mas'ud." Lalu beliau berkata, "Ya, persilahkan dia masuk."

    Yang dilarang dalam Islam adalah menisbatkan diri kepada orang yang bukan ayahnya dengan menggunakan kata-kata yang menunjukkan sebagai anak, seperti kata: anak, bin, binti dan lain sebagainya. Jadi yang dilarang bukan seluruh penisbatan atau penyebutan identitas. Penggunaan kata-kata tertentu untuk menjelaskan identitas seseorang sehingga menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat atau waktu tertentu adalah tidak apa-apa selama tidak menyeret pada kesalahpahaman adanya hubungan kekerabatan yang dilarang oleh syariat Islam. Hal itu pun tidak dapat dikategorikan dalam perbuatan menyerupai orang kafir yang dicela dalam pandangan syarak, karena penyerupaan yang dilarang adalah yang memenuhi dua syarat, yaitu perbuatan yang ditiru itu adalah perbuatan yang diharamkan dan adanya maksud untuk menyerupai. Jika salah satu syarat ini tidak ditemukan maka pelakunya tidak dapat dicela. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Pada suatu ketika Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sakit. Lalu kami salat di belakang beliau yang melakukan salat dalam keadaan duduk. Lalu beliau menoleh ke arah kami dan melihat kami dalam keadaan bediri semua, maka beliau pun memberi isyarat kepada kami agar kami duduk, sehingga kami semua pun duduk. Setelah salam, beliau bersabda,

إِنْ كِدْتُمْ آنِفاً لَتَفْعَلُوْنَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّوْمِ، يَقُوْمُوْنَ عَلَى مُلُوْكِهِمْ وَهُمْ قَعُوْدٌ، فَلاَ تَفْعَلُوْا، اِئْتَمُّوْا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِماً فَصَلُّوْا قِيَاماً وَإِنْ صَلَّى قَاعِداً فَصَلُّوْا قُعُوْداً

"Sesungguhnya kalian tadi hampir saja melakukan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan para raja mereka yang sedang duduk. Janganlah kalian melakukan itu. Ikutilah imam kalian. Jika ia melakukan salat dalam keadaan duduk maka salatlah dalam keadaan duduk juga dan jika ia salat dalam keadaan berdiri maka salatlah dalam keadaan berdiri juga."

    Kata kidtum berasal dari akar kata kâda (hampir). Kata ini ketika berada dalam kalimat positif menunjukkan tidak terjadinya sesuatu yang menjadi khabarnya (predikatnya), meskipun ia hampir saja terjadi. Perbuatan orang-orang Persia dan Romawi telah benar-benar terjadi dan dilakukan oleh para sahabat, tapi karena mereka tidak bermaksud untuk mengikuti atau menyerupai perbuatan tersebut maka mereka tidak dianggap telah menyerupai orang-orang Persia dan Romawi.

    Ibnu Nujaim, salah seorang ulama Hanafi, berkata dalam kitabnya al-Bahr ar-Râiq, "Ketahuilah bahwa perbuatan menyerupai Ahlul Kitab tidak diharamkan secara mutlak. Kita makan dan minum seperti mereka. Yang diharamkan adalah menyerupai tindakan yang tercela dan dengan maksud mengikuti mereka."

    Menambahkan nama keluarga suami di belakang nama istri tidaklah menafikan hubungan nasab dengan ayah sang istri, karena hal ini hanya merupakan penjelas identitas saja. Munculnya kekhawatiran terhadap haramnya hal tersebut adalah karena terdapat kebiasan umum berupa penghapusan kata "bin" atau "binti" yang menghubungkan antara nama seseorang dengan nama orang tuanya.

    Meskipun penghapusan ini telah menjadi kebiasaan umum untuk mempersingkat nama atau memudahkan penyebutan, hanya saja penghapusan tersebut mengakibatkan kerancuan dalam nama-nama yang tersusun dari dua kata atau lebih. Hal inilah yang membuat berbagai instansi resmi di Mesir menolak penggunaan nama yang tersusun dari dua kata atau lebih, karena memberikan kesan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu disebabkan tradisi penghapusan kata "bin" atau "binti" telah menjadi fenomena umum dalam masyarakat. Semua ini dapat saja dijadikan alasan bagi pelarangan penambahan nama keluarga suami di belakang nama istri di kalangan masyarakat tersebut.

    Akan tetapi, masalah ini akan berbeda dalam masyarakat yang mempunyai kebiasaan tersebut namun terdapat tanda yang menafikan adanya hubungan kekerabatan antar nama-nama itu, yaitu penyebutan perempuan yang bersuami dengan Mrs., Madam dan lain sebagainya.

    Selama kebiasaan ini tidak bertentangan dengan syariat maka insyaallah penggunaannya dibolehkan. Syariat Islam sendiri menjadikan kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat sebagai salah satu dalil. Dalam salah satu kaidah fikih dinyatakan bahwa al-'âdah muhakkamah (adat kebiasaan dapat menjadi sumber hukum).

    Syariat tidaklah menyerukan kaum muslimin untuk keluar dari kebiasaan masyarakat mereka. Hal ini sebagai upaya untuk membuat mereka dapat berasosiasi dengan masyarakat mereka dan tidak terisolasi dari dunia luar. Sehingga, mereka dapat hidup berdampingan dengan masyarakatnya dan dapat berdakwah kepada mereka untuk mengikut agama yang benar tanpa terjadi bentrokan dan persinggungan yang berefek negatif. Semua itu tentu saja selama kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama.

Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam.

Darul Ifta al-Mishriyyah

Selasa, 12 November 2013

Kenapa Disebut 'Asyuro?

Kenapa disebut 'Asyuro?
Para Ulama berbeda pendapat.
Sebagian mengatakan: Dinamakan 'Asyuro karena ia adalah hari ke-10 di bulan Muharram.
Sebagian lagi ada yg berpendapat: Karena Allah memuliakan 10 Nabi di hari itu dengan 10 kemuliaan, yaitu:
(1) Allah menerima taubat Nabi Adam
(2) Allah mengangkat Nabi Idris ke tempat yang luhur (Makaanan 'Aliya)
(3) Berlabuhnya kapal Nabi Nuh di bukit Judiy
(4) Nabi Ibrahim dilahirkan, diambil, dan diselamatkan dari api
(5) Allah menerima taubat Nabi Dawud
(6) Allah mengangkat Nabi Isa
(7) Allah menyelamatkan Nabi Musa dari Laut dan menenggelamkan Fir'aun
(8) Keluarnya Nabi Yunus dari perut Ikan Hut
(9) Kembalinya kekuasaan Nabi Sulaiman
(10) Rasulullah shollalahu 'alaihi wa sallam dilahirkan
Dan sebagian lagi ada yang berpendapat:
Karena ke-10 dari 10 kemuliaan, Allah memuliakan umat Islam, yaitu:
(1) Bulan Rajab adalah bulan Allah al-Ashom (yg tuli krena tak ada perang). Dan Allah menjadikan kemuliaan ini hanya bagi umat Islam, dan keutamaanya melebihi bulan-bulan laib sebagaimana keutamaan umat ini melebihi seluruh umat.
(2) Bulan Sya'ban yang keutamaanya melebihi bulan-bulan lain sebagaimana keutamaan Kanjeng Nabi Shollalalahu 'alaihi wa sallam melebihi para Nabi.
(3) Bulan Ramadhan yang keutamaannya melebihi bulan-bulan lain sebagaimana keutamaan Allah melebihi para makhluk-Nya.
(4) Lailatul Qodar yang lebih baik dari seribu bulan.
(5) Hari raya Idul Fithri yang merupakan hari pembalasan.
(6) Hari-hari 10 Dzulhijjah yang merupakan Hari-hari mengingat Allah Ta'ala.
(7) Hari 'Arofah yang puasanya melebur dosa dua tahun.
(8) Hari Nahr yang merupakan Hari raya Qurban.
(9) Hari Jum'at yang merupakan Sayyidul ayyam (Penghulu Hari).
(10) Hari 'Asyura yang puasanya melebur dosa setahun.
Maka untuk setiapa waktu dari waktu-waktu ini adalah kemuliaan. Allah menjadikannya untuk Umat ini untuk menghapus dosa-dosanya dan membersihkan kesalahan-kesalahannya.

Disarikan dari Kitab Tanbihul Ghafilin hal. 180
Penerbit: Darul Kitab al-'Arobi, Beirut - Lebanon

Qatar, 12 Nopember 2013