Kamis, 31 Oktober 2013

RAHASIA KEAGUNGAN SHOLAWAT




Pada suatu ketika, di musim haji, Sufyan ats-Tsauri tengah melaksanakan thawaf di Baitullah. Ketika itu Sufyan melihat seorang lelaki yang selalu membaca shalawat setiap ia melangkahkan kaki. Sufyan lalu menghampiri laki-laki tersebut dan menegurnya, "Wah, kalau begini Anda telah meninggalkan bacaan tasbih dan tahlil. Anda hanya terfokus pada shalawat untuk Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam saja. Apa alasan Anda melakukan amalan ini?"

Laki-laki itu kemudian balik bertanya kepada Sufyan, "Siapakah Anda ini? Semoga Allah memberikan Anda karunia kesehatan dan keselamatan!" Sufyan menjawab, "Aku Sufyan ats-Tsauri." Laki-laki itu berkata, "Baiklah, akan saya ceritakan kisah saya. Andaikata tidak karena Anda adalah orang luar biasa dimasa ini, niscaya saya tidak akan menceritakan karunia yang dianugerahkan kepada saya dan niscaya saya tidak akan membuka rahasia yang diberikan Allah pada saya."

Kemudian laki-laki itu berkisah, "Pada suatu hari, saya dan ayahku pergi untuk menunaikan ibadah haji. Di tengah perjalanan, ayahku mengalami sakit, maka saya berhenti dulu untuk mengobatinya. Lalu disuatu malam yang memilukan, ayahku meninggal dunia dengan wajah yang menghitam legam. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, ayahku telah meninggal dengan wajah yang menghitam, ujarku dalam hati. Saya merasa sangat sedih sekali menyaksikan keadaannya.

Lalu saya mengambil selembar kain dan menutupi wajahnya. Saya begitu larut dalam kesedihan dan terus memikirkan, apa yang akan dikatakan orang-orang jika melihat wajah ayahku yang hitam legam. Dalam keadaan seperti itu, saya diserang kantuk dan jatuh tertidur. Tiba-tiba saya bermimpi melihat seorang laki-laki yang sangat tampan, belum pernah saya melihat laki-laki setampan itu, seumur hidupku. Pakaiannya begitu bersih dan dari tubuhnya tercium aroma yang sangat harum, bukan seperti wewangian biasa. Kemudian laki-laki itu melangkah menuju jasad ayahku dan membuka kain penutup wajahnya. Lalu laki-laki itu mengusapkan telapak tangannya ke wajah ayahku. Maka tiba-tiba saja wajah ayah saya menjadi putih bersinar-sinar.

Ketika laki-laki itu hendak beranjak pergi, saya memegang bajunya dan bertanya, 'Wahai hamba Allah, siapakah Anda, yang telah dikaruniai Allah untuk menyelamatkan ayahku dan melenyapkan kegundahan di hatiku?' Laki-laki itu lalu menjawab, "Tidakkah kamu mengenalku? Aku adalah Muhammad bin Abdullah, yang mendapat wahyu Al Quran. Ketahuilah, ayahmu semasa hidupnya adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya. Akan tetapi, ia banyak membaca shalawat untukku. Ketika kematian menghampirinya, ia meminta pertolonganku. Aku banyak menolong orang yang banyak membaca shalawat untukku." Kemudian saya bangun dan melihat wajah ayah saya yang telah menjadi putih bersinar.

Sumber:
Kitab Tanbihul Ghofilin hal. 216
Penerbit: Darul Kitab al-‘Arobi, Beirut-Lebanon


Rabu, 16 Oktober 2013

Penjelasan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab mengenai maksud ungkapan Imam Syafii


صح عن الشافعي - رحمه الله - أنه قال : إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا قولي

Telah shahih riwayat dari Imam Syafii –semoga Allah merahmati beliau- sesungguhnya beliau berkata: Jika kalian menemukan dalam kitabku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, maka katakanlah dengan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah perkataanku.

وروي عنه : إذا صح الحديث خلاف قولي فاعملوا بالحديث واتركوا قولي ، أو قال : فهو مذهبي ، وروي هذا المعنى بألفاظ مختلفة

Dan diriwayatkan dari beliau: Tatkala telah shahih suatu hadis yang menyelisihi perkataanku, maka beramallah kalian dengan hadis itu, dan tinggalkanlah perkataanku. Atau beliau berkata: Maka itulah madzhabku. Dan diriwayatkan makna-makna ini dengan redaksi yang berbeda.

وقد عمل بهذا أصحابنا في مسألة التثويب واشتراط التحلل من الإحرام بعذر المرض وغيرهما ، مما هو معروف في كتب المذهب .

Dan Ashab kami (Para Ulama Syafiiyah) sungguh telah beramal dengan perkataan ini dalam masalah tatswib dan syarat tahallul dari ihrom karena udzur sakit, dan sebagainya, dari apa yang diketahui dalam kitab-kitab madzhab.

وممن حكى عنه أنه أفتى بالحديث من أصحابنا أبو يعقوب البويطي وأبو القاسم الداركي ، وممن نص عليه أبو الحسن إلكيا الطبري في كتابه في أصول الفقه ، وممن استعمله من أصحابنا المحدثين الإمام أبو بكر البيهقي وآخرون ، وكان جماعة من متقدمي أصحابنا إذا رأوا مسألة فيها حديث ، ومذهب الشافعي خلافه عملوا بالحديث ، وأفتوا به قائلين : مذهب الشافعي ما وافق الحديث ، ولم يتفق ذلك إلا نادرا ، ومنه ما نقل عن الشافعي فيه قول على وفق الحديث .

Dan ada sebuah hikayat dari Ashab yang berfatwa dengan berdasarkan Madzhab Syafii dengan Hadits yang Nashnya ada pada Abu Ya’qub al Buwaythi dan Abu Qosim al Daroki dan juga Al Imam Abu Al Hasan Ilkiya ath-Thobary dalam kitab Ushul fiqh. Dan Para Sahabat Kami yang juga termasuk pakar hadis seperti al-Imam Abu Bakar al-Baihaqy dan selainnya memakai fatwa tersebut. Dan ada sekelompok pendahulu dari para sahabat kami ketika melihat suatu masalah yang terdapat hadis di dalamnya, namun Madzhab Syafii menyelisihinya, maka mereka beramal dengan hadis itu. Dan mereka berfatwa dengannya : Madzhab Syafii adalah apa yang bersesuaian Hadis, dan tidaklah hal itu terjadi kecuali memang jarang terjadi dalam masalah-masalah yg sedikit, dan yang termasuk di jadikan sandaran itu adalah apa yang bersumber dari Imam Syafii tentang wajibnya Mencocoki Hadits.


وهذا الذي قاله الشافعي ليس معناه أن كل واحد رأى حديثا صحيحا قال : هذا مذهب الشافعي وعمل بظاهره ، وإنما هذا فيمن له رتبة الاجتهاد في المذهب على ما تقدم من صفته أو قريب منه ، وشرطه : أن يغلب على ظنه أن الشافعي - رحمه الله - لم يقف على هذا الحديث أو لم يعلم صحته ، وهذا إنما يكون بعد مطالعة كتب الشافعي كلها ونحوها من كتب أصحابه الآخذين عنه وما أشبهها .

Dan perkataan Imam Syafii ini bukan berarti “KETIKA SESEORANG MENEMUKAN HADTS SAHIH MAKA DIA MENGATAKAN INILAH MADZHAB IMAM SYAFII DAN MENGAMALKAN DHAHIRNYA HADITS SAJA” , tetapi Perkataan Beliau ini tertuju kepada Orang yg telah mencapai Derajat “IJTIHAD MADZHAB”, atau yang sederajat, dan Syarathnya adalah seseorang itu telah melimpah kedalaman pengetahuannya dalam Hadits sehingga dia tidak menyangka bahwa Imam Syafii tidak melakukan pembandingan dg hadits yg menjadi Hujjah dia, dan agar dia tidak menyangka bahwa Imam Syafi,i tidak memahami atau tidak mengetahui kesahihan Hadits tersebut. Demikian ini bisa di tempuh setelah dia menelaah Kitab-kitab Imam Syafii semuanya dan Kitab-kitab serupa yang di sarikan dari Kitab Beliau dan Semua Ashhab-nya.

وهذا شرط صعب قل من يتصف به ، وإنما اشترطوا ما ذكرنا ; لأن الشافعي - رحمه الله - ترك العمل بظاهر أحاديث كثيرة رآها وعلمها ، لكن قام الدليل عنده على طعن فيها أو نسخها أو تخصيصها أو تأويلها أو نحو ذلك .

Dan ini semua adalah Syarat yg sulit di penuhi, sangat sedikit orang yg memenuhi kriteria tersebut”. Syarat ini kami sebutkan karena Imam Syafi’i tidak mengamalkan dhahir hadits yang telah beliau ketahui, akan tetapi ada dalil lain yang mencacatkan hadits itu, atau yang menaskh hadits itu, atau yang mentakhis atau yang menta’wilkan hadits itu”.

قال الشيخ أبو عمرو - رحمه الله - : ليس العمل بظاهر ما قاله الشافعي بالهين ، فليس كل فقيه يسوغ له أن يستقل بالعمل بما يراه حجة من الحديث ، وفيمن سلك هذا المسلك من الشافعيين من عمل بحديث تركه الشافعي - رحمه الله - عمدا ، مع علمه بصحته لمانع اطلع عليه وخفي على غيره ، كأبي الوليد موسى بن أبي الجارود ممن صحب الشافعي ، قال : صح حديث { أفطر الحاجم والمحجوم } ، فأقول : قال الشافعي : أفطر الحاجم والمحجوم ، فردا ذلك على أبي الوليد ; لأن الشافعي تركه مع علمه بصحته ، لكونه منسوخا عنده ، وبين الشافعي نسخه واستدل عليه ، وستراه في ( كتاب الصيام ) إن شاء الله تعالى

Asy-Syaikh Abu ‘Amru bin Shalih Rohimahullalh berkata: tidak boleh beramal dg dzahirnya perkataan Imam Syafii tersebut dg serampangan/mudah, bagi seorang Faqih tidaklah cukup mengamalkan dg Dzahirnya hadits yg dia lihat saja. Salah seorang yang menempuh metode seperti ini dari kalangan Ulama Madzhab Syafii seperti Abi Al Walid Musa bin Abi al Jarud sengaja mengamalkan amalan yg ditinggalkan Imam Syafii yang mana Beliau tahu kesahihan Hadits yang dipakai dalil oleh beliau. hal ini di tempuh karena Abil Walid mendapati sebuah alasan penolakan atas Hadits yg telah ia telaah dan tersamar atas hadits yang lainnya, seperti ketika dia mengatakan: Hadits Batallah orang yang membekam dan yang dibekam ini Sahih, tetapi Imam Syafii meninggalkannya (tidak di buat sebagai Hujjah batalnya Puasa) padahal Beliau tahu bahwa hadits tersebut sahih, tapi menurut pengetahuan Beliau hadits tersebut telah dinasakh, hal ini di jelaskan Oleh Beliau dan di jadikan sebagai dalil. Anda akan lihat dalam kitab Shiyaam, Insyaa Allahu Ta’ala.

وقد قدمنا عن ابن خزيمة أنه قال : لا أعلم سنة لرسول الله صلى الله عليه وسلم في الحلال والحرام لم يودعها الشافعي كتبه . وجلالة ابن خزيمة وإمامته في الحديث والفقه ، ومعرفته بنصوص الشافعي بالمحل المعروف .

Sungguh telah kami sebutkan riwayat dari Ibnu Khuzaimah, beliau berkata: Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Imam Syafii dalam kitab-kitabnya." Ia berkata, "Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Imam Syafii, sangat terkenal.”

قال الشيخ أبو عمرو : فمن وجد من الشافعية حديثا يخالف مذهبه نظر إن كملت آلات الاجتهاد فيه مطلقا ، أو في ذلك الباب أو المسألة كان له الاستقلال بالعمل به . وإن لم يكمل وشق عليه مخالفة الحديث بعد أن بحث . فلم يجد لمخالفته عنه جوابا شافيا ، فله العمل به إن كان عمل به إمام مستقل غير الشافعي ، ويكون هذا عذرا له في ترك مذهب إمامه هنا ، وهذا الذي قاله حسن متعين والله أعلم .

Syekh Abu Amru berkata, “Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan madzhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau masalah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu. Akan tetapi jika tidak sampai derajat itu dan mereka yang menentang tidak pula memiliki jawaban yang memuaskan, maka jika itu diamalkan oleh mujtahid madzhab lain, boleh ia melakukan, dan itu adalah sebuah udzur dimana ia meninggalkan salah satu pendapat madzhab Imamnya”. Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dikatakan Syeikh Abu Amru ini merupakan perkataan yang cukup baik. Wallahu a’lam.